Seorang pasien Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) yang datang untuk melakukan perawatan atas penyakit yang dialaminya memperoleh perlakuan yang kurang mengenakkan saat masuk rumah sakit. Dia diperlakukan sebagai warga kelas dua dalam birokrasi rumah sakit dalam pengurusan berkas-berkas yang ada dan membutuhkan waktu yang sangat lama. Sebaliknya seorang Ibu yang berpakaian rapih dan nampaknya orang berduit mendapat perlakuan yang ramah dan proses pengurusan berkasnya sangat cepat.
Ada juga kasus dimana seorang pasien Jamkesmas yang mendapat perawatan medis harus dibebankan untuk menebus resep yang disodorkan oleh seorang dokter ahli untuk mengambil obat di apotik, yang notabene pasien tersebut mengalami kesulitan membayar resep tersebut karena tidak punya uang, padahal Menteri Kesehatan sudah menginstruksikan agar rumah sakit-rumah sakit wajib menggunakan obat generik untuk dikonsumsi oleh pasien dan biayanya terjangkau bahkan gratis.
Kasus lain lagi yang saya baca, seorang pasien miskin harus diusir oleh salah satu Rumah Sakit rujukan terkenal di Indonesia karena tidak mampu memenuhi syarat administratif, yang mengakibatkan puluhan anggota keluarga dan orang-orang yang bersimpati dengannya harus melakukan demonstrasi di kantor Kementerian Kesehatan dan membentuk Forum Pengawasan masyarakat terhadap Rumah Sakit.
Kasus-kasus di atas adalah fakta kongkrit yang kita hadapi yang merepresentasikan sebagian besar kasus yang mengemuka di depan publik akan fenomena yang terjadi dalam dunia medis kita. Persoalan-persoalan di atas adalah kisruh dari betapa rapuhnya penanganan masalah-masalah medis yang terkadang tidak berhubungan dengan persoalan teknis pelayanan, tapi lebih pada persoalan sosiologis antropologis yang sulit dipahami oleh sebagian besar praktisi medis kita, sehingga menghasilkan jangkauan mutu pelayanan kesehatan yang dari waktu ke waktu terus mendapat sorotan publik dan penilaian yang buruk.
Tidak dapat dipungkiri ada persoalan besar yang tengah mengancam keutuhan dan integritas dunia medis kita, karena terlalu sering kita diperhadapkan dengan banyaknya kompleksitas yang tidak mampu dibendung dari waktu ke waktu, sehingga belum teratasi masalah yang satu kini muncul masalah baru lagi. Integritas kita perlahan-lahan mulai memudar karena kita sedang diperlihatkan oleh begitu kuatnya pendekatan “teori konspirasi” yang kita anut sekarang dengan mengeluarkan ‘nilai-nilai luhur’ ke luar dari jalur yang sebelumnya dijunjung tinggi, masuk pada hukum pasar yang mendominasi hampir semua lini kesehatan yang kita miliki.
Kecenderungan diarahkannya dunia medis kita pada kepentingan bisnis sangat menakutkan dan mencekam kita sebagai individu, masyarakat dan negara. Hal ini dikarenakan karena industri medis khususnya industri farmasi ke depan nantinya akan mengambil alih posisi terdepan dalam bisnis global di seluruh dunia, menguasai pangsa pasar baik di negara dengan tingkat kesehatan yang tinggi maupun negara-negara dengan tingkat kesehatan yang rendah. Hal ini akan lebih sulit diterima oleh negara-negara dengan pendapatan perkapita yang rendah karena negara-negara tersebut seperti Indonesia tidak mampu membiayai kesehatan masyarakatnya karena terlalu didominasi oleh industri-industri besar yang memiliki kapital yang besar pula. Kita nampaknya didesain secara sistematis oleh korporat-korporat besar untuk mengalami ketergantungan yang sangat besar terhadap industri ini, sehingga dampaknya sudah kita ketahui yaitu banyaknya komplikasi penyakit yang muncul sebagai akibat dari efek samping industri-industri ini. Majalah Lancet sebagai majalah ternama kedokteran di Inggris suatu ketika pernah memuat dalam jurnalnya mengenai situasi ini. Artikel yang dimuat menyebutkan bahwa keracunan obat terbesar di dunia, bukan karena narkoba-narkoba yang dikonsumsi di pinggir-pinggir jalan tapi lebih disebabkan karena obat dari para dokter yang diresepkan secara legal dan berdasarkan pertimbangan medis.
Hal yang sulit dipahami dari dunia medis adalah mereka mengetahui bahaya dari efek samping terapi konvensional produk farmasi, tapi pertimbangan medis terkadang dikalahkan oleh ‘teori konspirasi’ yang mengharuskan para dokter dan kolega-koleganya menerima klausul yang disodorkan oleh industri farmasi untuk “melariskan” produknya, demi profit dan kemewahan yang ditawarkan oleh industri tersebut sehingga mengenyampingkan publik sebagai konsumen. Pertimbangan hukum pasar ini kian mendominasi cara berpikir para praktisi medis kita saat ini, sehingga tanpa disengaja kita memperlakukan pasien atau publik penerima layanan medis sebagai objek ‘perahan’ untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Para dokter mendapat keuntungan dengan layanan VIP yang disiapkan perusahaan ke luar negeri sebagai bonus. Akibat dari ini semua, kita sering mendistorsi tujuan utama pelayanan kita yaitu nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri yang menjadi fokus utama dunia medis. Kita diperlihatkan secara gamblang betapa jangkauan pelayanan kita perlu diredefinisikan untuk mengembalikannya pada tempat terhormat sebagaimana layaknya.
Semua perilaku praktisi medis kita yang lebih mendahulukan ‘conflict of interest’ dengan tidak mempertimbangkan kesehatan publik di atas segala-galanya, seharusnya mampu dieliminir agar tidak mereduksi sistem nilai yang telah mengakar kuat di tengah komunitas medis dan masyarakat sejak dulu, sehingga kita seharusnya tidak terlibat lebih jauh dalam ‘teori konspirasi’ yang bisa menciderai sistem kesehatan kita yang berparadigma sehat dan mengutamakan pola-pola preventif bukannya kuratif. Semoga.
Mungkin sistem seperti ini apalagi yang terjadi seperti kasus-kasus pelayanan kesehatan di Indonesia, sepertinya dapat dikatakan sebagai suatu yang "turun-temurun".
BalasHapusJika saja kita bisa mengubah jalan pikiran kita seperti kata William James, pasti akan ada suatu perubahan,
Namun saya pikir kalau hanya 1 atau 2 orang saja yang bisa seperti itu, susah juga untuk melakukan suatu perubahan dalam pelayanan kesehatan kita di Indonesia.
Kadang saya berpikir, jika nantinya saya telah berada dalam lingkungan profesi di bidang kesehatan masyarakat, banyak hal yang harus saya lakukan untuk mengubah kondisi ini.
namun apa artinya jika hanya saya yang bertindak sedangkan yang lainnya masih tetap dengan sistem yang lama.
Jika saja ada banyak orang yang memiliki jalan pikiran,tujuan yang sama, dan mau berjuang bersama, demi berjalannya pelayanan kesehatan
yang sebenarnya di Indonesia,
saya akan bangga menjadi bagian Public Health.
(Nathaniel Khodjojo)
hal ini sama seperti yang kita bahas sebelumnya dok, kembali ke penyimpangan-penyimpangan yang ada di Indonesia, umumnya hanya untuk tujuan provit dari beberapa oknum terkait,dan untuk menghentikan "konspirasi" tersebut sangat dibutuhkan usaha yang luar biasa dari orang-orang yang mempunyai kerinduan untuk mengubah konspirasi tersebut menjadi sesuatu hal yang lebih baik bahkan lebih berguna bagi banyak orang.
BalasHapus(Septya Kaunang)
Penyimpangan-penyimpangan tersebut memang selalu ada dari dulu sampai sekarang .Untuk merubah semua itu memang susah skali , dok . Tujuan untuk mendapatkan derajat kesehatan yang maksimal perlu usaha-usaha dari para medis sendiri . Namun , kalau Etika dan Hukum Kesehatan tidak pernah direalisasikan tidak akan pernah berubah sistem pelayanan kesehatan terutama di Indonesia ..
BalasHapus(Ridzka Cristina)
Kasus, yang disampaikan diatas, dialami juga waktu 3 tahun lalu. Dari keluarga saya (opa). DI RS .... Manado.
BalasHapussedikit ceritanya..!!
Kejadian pada waktu di UGD, pada pukul 09.00 malam (kalau tidak salah) perawat2 dan tim medis lama untuk mendatangi / menangani pasien. Mereka sengaja meminta pengisian formulir dan meminta inform consent. Padahal opa saya yang mengalami penyakit jantung koroner sudah kurang lebih 6 tauhn segera harus ditangani dengan cepat, oleh karena pada bagian sebelah kiri dadanya terasa tertusuk dengan jarum. Katanya opa. Jadi kita langsung mencari pertolongan kepada tim medis lain. (terlalu lama pertolongan). ketika sudah di tangani dahulu dengan memakai infus dan lain sebagainya, mereka sekedar bertanya kalau statusnya memakai pembiayaan melalui apa? jawabnya ASKES. Nah ketika hendak mengatakan itu, kelihatan mereka seperti tidak ikhlas ingin membantu dan mimik mukanya tampak kurang senang. Bahkan sempat kedengaran kata perawat "Beking siksa Leh ini Opa ini" saya pun menjadi emosi dan nafsu mendengar hal itu. Tapi mengingat sikon sudah malam.
Lanjut. Singkat cerita, kita disuruh untuk menukar resep obat dari dokter ke apotik bersama dengan anak bersaudara saya. Hendak mengatakan obat ini katanya gratis sesuai dengan yang tercantum dalam obat di resep ke ASKES. Tapi tidak tahunya di bayar ratusan ribu, kami juga karena tidak tahu dengan pasti langsung kemabli ke rawat inap, seketika itu juga mereka hendak meminta dan menahan kartu ASKES tersebut. Akhirnya, ketika di mintai obatnya tidak ada dan harus dibayar, tante saya yang langsung turun tangan untuk mengkomplein masalah ini oleh karena tidak konsisten. Lama kelamaan akhirnya obat yang di berikan oleh resep dokter dibawa setengah harga. Disini kita bisa lihat dari hubungan dokter dalam memberikan obat kepada pasien sesuai dengan jalur pembiayaan ASKES harus sama dengan obat ketika hendak menukarnya di apotik. Dalam hal ini tidak ada komunikasi yang baik, serta pendataan obat-obat yang mana dalam pembiayaan ASKES atau tidak.
Jadi saya dapat mengambil kesimpulan dengan masalah yang dihadapi pada waktu itu. Di mana pelayanan kesehatan di indonesia khusunya di manado boleh menjadi perhatian dari pihak RS atau dinas kesehatan yang membawahi. Oleh karena sia-sia pembanguan infrastruktur dari RS2 yang ada, dengan fasilitas yang lengkap dan tim medis (dokter, dokter ahli, perawat,dll) yang jumlahnya banyak tetapi, yang satu ini ditekankan. Pelayanan yang sangat mengecewakan dari pihak RS. Hanya bermodalkan pengetahuan dan keterampilan, tetapi tidak adanya moral atau etika dalam RS (dalam diri masing-masing tenanga kesehatan). Tidak melihat dari segi EMEREGENCY dan IMPORTANT. Di mana tidak selamanya Important adalah emergency tetapi Emergency itu adalah salah satu hal yang terpenting / Important.
Jadi saya mendapat 3 pokok / poin utama dalam hal pelkes di indonesia (manado)
1. Penanganan yang serius dan dengan ikhlas dalam menangani pasien jika tidak perlu adanya pelatihan khusus dalam menangani masalah dalam pelkes.
2. Dokter, perawat, dan pasien harus adanya hubungan komunikasi yang baik agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam : mengambil tindakan, memberikan resep obat, dan surat rawat jalan yang harus diberikan dengan hati-hati. Harus dengan kesepakatan dari keluarga dari pasien. dan yang terakhir
3. harus ada pengawasan dari pihak dinas kesehatan atau badan yang tertinggi untuk memantau dan melihat kondisi-kondisi dari pelkes. Ataupun jika "ada" SK dari KEMKES tentang pelatihan dan pengawasan dari institusi2 RS untuk memberikan pelkes yang efektif dan efisien.
Dengan hal ini, diharapkan adanya perubahan2 sedikit demi sedikit dirasakan oleh pasien (yang kurang mampu). Agar kesehatan kita di manado baik pelayanannya menjadi terbaik di Indonesia khusnya..!! Demikian dok, atas komentar. Harap maklum kalo terlalu panjang komentarnya.. Hehe..^^
(Seftian Seyha Welong)
Seyha'12