Senin, 14 Maret 2011

Paradoks Sebuah Gelar

Oleh: dr. A. Tucunan, M.Kes


“Satu-satunya hal yang mengambat pembelajaran saya adalah pendidikan saya” (Albert Einstein)
            Pada saat baru memasuki program pascasarjana untuk studi lanjut pada program Magister Kesehatan beberapa tahun lalu, saya mengetahui adanya kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Talaud dan Unsrat untuk mendidik putra asli daerah menyelesaikan pendidikan strata dua mereka. Diperkirakan ada sejumlah puluhan orang yang mengambil pendidikan magister di berbagai program studi yang ada. Namun yang menggelitik saya adalah ketika banyak mahasiswa pascasarjana yang mengambil kuliah regular, mahasiswa-mahasiswa kandidat magister dari utusan kabupaten tersebut hanya menjalankan separuh (atau mungkin kurang) perkuliahan dari waktu yang ditetapkan untuk menyelesaikan studi. Bukannya mempolemikkan sistem pendidikannya, tapi motivasi di balik perutusan mahasiswa untuk belajar S-2 hanya untuk mengejar gelar adalah sesuatu yang patut dipertanyakan keabsahannya. Apalagi yang diutus untuk studi lanjut ini adalah para abdi negara dan masyarakat yang nantinya dipersiapkan untuk menjadi pelayan publik. Selain di universitas di Sulut, ada juga universitas di luar daerah bahkan luar negeri yang menjalin kerjasama dengan pemerintah seperti IPB dan Unpad. Pada waktu lalu ada salah satu kandidat doktor dari kabupaten tersebut memperlihatkan profilnya di surat kabar terbesar di Sulut dengan begitu bangga karena memakai satu halaman penuh dari surat kabar tersebut (layaknya seorang yang mengiklankan diri dalam kampanye). Saya merasa ada sesuatu yang hilang dari seorang calon cendekiawan seperti ini dan meragukan kapasitas dan integritasnya sebagai seorang yang memilii karakter ‘ilmuan’ atas ‘pengiklanan’ dirinya. Bagaimana tidak? Ingin meraih gelar doktor saja sudah begitu angkuhnya (padahal orang berilmu itu harusnya seperti ilmu padi yang makin berisi makin merunduk), apalagi kalau menjadi pemimpin. Semakin tinggi ilmu yang diraih orang itu, apalagi kalau sudah bergelar doktor (atau lulusan luar negeri bergelar Ph.D) bahkan profesor, diharapkan ia mampu memandang sesuatu secara komprehensif dari berbagai sudut pandang, sehingga ia akan mengerti kompleksitas dari suatu permasalahan dan semakin hati-hati ia mengeluarkan suatu pernyataan; akhirnya semakin bijak ia berkata dan bertindak. Karena hakikat seorang pemikir atau philosopher, menurut Socrates adalah seorang yang mencintai dan mencari kebenaran.
Tapi sayangnya, demokratisasi pendidikan tinggi sekarang lebih menjerumuskan lagi karena menciptakan “elit missal” (suatu contradiction in terminis), sejumlah orang dengan berbagai gelar tidak mempunyai keahlian dan berpikir dangkal. Mungkin negara kita ini akan lebih banyak mendapat masalah jika ada banyak sarjana atau doktor tak bermutu dan sombong karena gelarnya. Dengan berbagai dalih ingin mencetak tenaga dan sumber daya manusia yang mumpuni, pemerintah nampaknya melakukan pembodohan terhadap aparat dan masyarakatnya. Bagaimana tidak? Proses pendidikan yang seharusnya bersifat individu dijadikan tanpa kualitas karena proses mendapat gelar ini seperti sudah di ‘massalisasi’. Masalahnya, menurut Ratna Megawangi (Direktur Eksekutif Indonesian Heritage Foundation), kalau kita sudah berbicara massal, maka tentunya ada satu hal penting yang harus dikorbankan yaitu kualitas. Padahal kalau kita kembali lagi pada hakikat fungsi pendidikan, universitas adalah tempat untuk mendidik manusia untuk dapat berpikir abstrak dan komprehensif. Pemahaman dan penguasaan hal-hal yang teknis dan kongkrit memang diperlukan, tetapi ini bukan tujuan utama melainkan by products. Artinya, fungsi pendidikan tinggi bukan semata-mata untuk menciptakan manusia-manusia pekerja yang ahli dalam bidang-bidang teknis dan kongkrit, tapi jauh lebih daripada itu.
Menurut hemat saya, ini adalah tragedi pendidikan berkelanjutan, karena kita begitu mengidentikkan gelar seseorang dengan kapasitas dan kemampuan yang dimilikinya, padahal tidak sama sekali. Yang lebih parah lagi, pendidikan yang ditujukan untuk mencerdaskan manusianya tapi ternyata digunakan oleh para birokrat maupun pejabat di sana untuk memperkuat jabatan dan status kepemimpinannya. Pembaca yang terhormat, pasti mengerti maksud saya, karena sudah tentunya kejahatan para birokrat yang ada sekarang itu bukanlah hasil dari pendidikan yang didapatnya karena tujuan pendidikan di manapun adalah sama yaitu mencetak manusia-manusia yang berbudi luhur, bukan menjadi koruptor dan penjarah harta rakyat dan tidak kapabel melayani rakyat, bukan? Apalagi pada saat Pilkada, berapa banyak pembohongan yang harus diterima rakyat dari para kandidat baik itu eksekutif maupun legislatif. Sejak lama saya sudah mendengar adanya para mafia pendidikan yang berusaha memperjualbelikan status keilmuan seseorang. Bahkan ditengarai ada juga para public figure bahkan tokoh politik dan pemimpin masyarakat yang terbuai dengan gelar yang ingin dimiliki tanpa melalui proses pendidikan. Kita tidak perlu heran dengan kenyataan bahwa masyarakat kita gagal memilih dan mengetahui kapasitas pemimpinnya yang sebenarnya. Betapa tidak? Instansi yang seharusnya dipimpin oleh orang yang tepat tapi justru kecolongan dengan diduduki oleh orang-orang yang tidak kompeten baik dari segi skill yang mumpuni ataupun yang lebih parah tidak mempunyai karakter dan jiwa seorang pemimpin dan pekerja yang bertanggungjawab. Mungkin para pemimpin kita di sana berasumsi bahwa dengan gelar magister dan doktor yang didapat oleh bawahannya akan lebih memajukan kualitas pembangunan daerah. Tapi lihat saja hasilnya, negara kita yang begitu penuh dengan para sarjana mulai dari strata satu sampai strata tiga bahkan banyak juga yang bergelar profesor, tapi nyatanya kita tidak maju-maju sejak dulu. Mengapa? Orang-orang seperti ini cenderung degree-snoberry, merasa mempunyai gelar biasanya akan bersifat sombong, ingin terlihat pintar sehingga tidak prudence (bijaksana).
Semua masalah jadi gampang, sampai urusan negara pun digampangkan. Kita lihat negara tetangga kita seperti Malaysia dan Singapura, jumlah universitas dan sekolah tinggi di sana bisa dihitung dengan jari dan tidak sebanyak kita di Indonesia. Demikian pula dengan lulusan sarjananya lebih sedikit dibandingkan kita, tapi mengapa bangsa kita tidak merangkak maju malahan makin merosot? Forum Rektor baru-baru ini mengemukakan bahwa bangsa kita ‘nyaris gagal’. Tahun 2008 lalu, pernah ada  salah seorang wisudawan di salah satu fakultas di Unsrat menyelesaikan pendidikannya hanya butuh waktu 3 tahun saja dan diberitakan di salah satu media cetak serta diberi label mahasiswa jenius. Ini salah kaprah yang mendasar karena kita menilai standar kejeniusan dari prestasi akademik seseorang, padahal tidaklah seperti itu. Bukan berarti dengan predikat cum laude dan akselerasi pendidikan, lalu dianggap lulusan itu hebat dan akan berhasil di dunia kerja. Jangan-jangan reputasi sebagai mahasiswa hebat hanya sampai disitu dan dia tidak memiliki partisipasi yang lebih besar bagi kemajuan kehidupannya. Menurut Daniel Goleman (dalam buku larisnya Emotional Intelligence), kecerdasan akademik sedikit saja kaitannya dengan kehidupan emosional, sehingga praktis kecerdasan akademik (IQ) hanya menyumbang kira-kira 20 persen bagi faktor-faktor yang menentukan sukses dalam hidup. Taufik Pasiak juga dalam salah satu bukunya yang menjadi bestseller menceritakan bagaimana banyak rekan sejawat dokter yang lulus dengan tepat waktu dan malah ada yang lulus cum laude, tapi tidak terlalu berhasil dalam karirnya, dibandingkan dengan dokter-dokter yang lulus paling lama dan bahkan ada yang hampir drop out. Ini artinya ada proses pembelajaran di luar konteks pendidikan formal yang sering kita dewa-dewakan itu yang lebih berperan dalam menciptakan manusia yang lebih unggul. Bukankah Bill Gates, orang terkaya di dunia adalah produk drop out universitas? Begitu pula dengan Mark Zuckeberg sang pemilik jejaring sosial facebook adalah drop out dari universitas yang sama? Tapi kenapa mereka begitu sukses?
Bukannya mendiskreditkan pendidikan formal (dimana saya juga adalah produk di dalamnya), tapi seperti pernyataan Albert Einstein bahwa pendidikan menghambat proses pembelajaran, saya percaya bahwa kita seharusnya membuka diri  terhadap pembelajaran yang jauh lebih penting daripada pendidikan formal, misalnya dengan pendidikan karakter. Sehingga kita tidak akan mendapati diri kita terjebak dengan perilaku degree-snoberry yang hanya bangga dengan gelar kita tapi kita tidak mampu membangun nilai-nilai luhur daripada pendidikan itu sendiri. Kalau kita hanya mengidentikkan pendidikan formal itu dengan meraih gelar dan menguasai sains lalu dengan itu kita dapat memajukan suatu bangsa, maka disitulah letak kekeliruan kita. Menurut Howard Gardner (dalam bukunya Five Minds for the Future), yang tidak kalah berbahayanya, banyak orang mengira bahwa bidang-bidang pengetahuan yang lain harus dipelajari dengan metode dan pembatasan yang sama dengan sains. Pakar fisika agung Niels Bohr pernah mengatakan hal ironis ini: “ada dua macam kebenaran, kebenaran yang dalam dan kebenaran yang dangkal, dan fungsi dari sains adalah menghapuskan kebenaran yang dalam”.
Ketika suatu daerah berlomba-lomba mengirim para sarjananya mendapat gelar setinggi mungkin, itu tidak berarti adanya jaminan bahwa daerah tersebut akan mengalami kemajuan ke depan. Alasannya sederhana, orang-orang kita tidak terbiasa dengan good will sehingga apa pun jabatan yang dia pegang saat dia kembali ke daerah, ilmu yang dia dapatkan hanya dipakai untuk menguatkan jabatan politisnya, sekalian menjadi kaki tangan penguasa apalagi yang otoriter. Saya menyangsikan pendidikan yang kita tempuh dapat benar-benar dipakai untuk kemaslahatan masyarakat banyak apalagi dikatakan sebagai ‘pelayan masyarakat’, karena semua itu ditempuh hanyalah sebatas untuk meraih gelar dan memuaskan hegemoni kekuasaan. Dan kalau sudah begini jadinya, maka tujuan pendidikan itu tidak tercapai karena hanya seperti memenuhi quota kerja dan hanya sebuah narsisme kontemporer. Karena rakyat melihat tindak tanduk aparat pemerintah berdasarkan tingkah lakunya dan kinerjanya. Dan di saat seorang pejabat publik terlibat skandal (khususnya korupsi), maka tidak ada satu masyarakat pun yang akan membela dia karena status dan gelarnya, tapi akan jadi mendapat celaan dari masyarakat sebagai figur yang tidak bertanggungjawab.
Seorang yang meraih gelar dari sebuah universitas, seharusnya dia dapat mempertanggungjawabkan gelar tersebut secara moral, berlandaskan pada kebajikan hati nuraninya. Karena tidak ada satu pun yang ada di dunia ini dapat dipertahankan dalam keabadian kecuali nurani yang luhur itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar