Oleh : dr. Adi Tucunan, M.Kes
Gangguan kesehatan merupakan kenyataan konsekuensi perilaku yang berwujud tindakan yang disadari (diketahui) atau tidak disadari (tidak diketahui) merugikan kesehatan atau menurunkan derajat kesehatan si pelaku sendiri atau orang-orang lain atau suatu kelompok. Gangguan kesehatan yang dimaksud di sini tidak hanya terbatas pada kategori penyakit fisik dan mental secara individual dan kelompok tetapi juga kategori kesejahteraan sosial. Berbeda dari rumusan WHO (Badan Kesehatan Dunia) mengenai konsep sehat (“a state of complete physical, mental and social wellbeing, and not merely the absence of disease and infirmity) yang utopis, statis dan mutlak menurut ukuran-ukuran yang dianggap universal, di sini konsep sehat merupakan kondisi individu dan kelompok sosial yang bersifat dinamis, selalu dalam keadaan berubah.
Sifat berubah-ubah ini tidak hanya dapat diamati dan dirasakan dalam suatu masa tertentu yang relatif panjang, seperti masa anak balita atau masa usia lanjut, tetapi juga dalam periode singkat seperti sehari atau seminggu. Kondisi ini menunjukkan adanya kenyataan-kenyataan keragaman atau perbedaan, serta secara budaya kondisi sehat atau sakit tertentu bagi suatu kelompok sosial tidak selalu dianggap demikian oleh kelompok sosial lainnya. Bahkan, di kalangan anggota suatu kelompok sosial, seperti suatu komunitas desa, dapat dijumpai keragaman yang dimaksud. Pandangan tersebut menekankan pada gagasan bahwa tingkat kesehatan dalam waktu tertentu dapat berubah dari suatu titik kondisi ke titik yang lain, dan bahwa kuantitas dan kualitas kesehatan turut berubah mengikuti perubahan pada tingkat ini.
Masalah-masalah Perilaku Kesehatan
Perilaku merupakan tindakan atau kegiatan yang dilakukan seseorang dan sekelompok orang untuk kepentingan atau pemenuhan kebutuhan tertentu berdasarkan pengetahuan, kepercayaan, nilai dan norma kelompok yang bersangkutan. Sekalipun pada umumnya perilaku terbentuk dalam proses enkulturasi dan sosialisasi, namun tidak jarang seseorang menunjukkan perilaku menyimpang. Hal yang sama berlaku juga dalam segi kehidupan kesehatan. Sehubungan dengan kesenjangan ini (antara perilaku ideal/normatif dengan perilaku menyimpang) ada dua dimensi yang perlu dikemukakan, yaitu kebudayaan kesehatan dalam konteks kebudayaan suatu masyarakat, dan kebudayaan kesehatan formal dalam konteks profesional biomedis atau kedokteran.
Kebudayaan kesehatan masyarakat membentuk, mengatur dan mempengaruhi tindakan atau kegiatan individu-individu suatu kelompok sosial dalam memenuhi berbagai kebutuhan kesehatan baik yang berupa upaya mencegah penyakit maupun menyembuhkan diri dari penyakit. Tentu saja, di samping itu, kita menyadari adanya kenyataan-kenyataan perilaku menyimpang seperti dikemukakan di atas. Masalah utama, sehubungan dengan ini adalah bahwa tidak semua unsur dalam suatu sistem budaya kesehatan (pribumi atau tradisional) cukup ampuh serta dapat memenuhi semua kebutuhan kesehatan masyarakat yang terus meningkat akibat perubahan-perubahan budaya yang terus menerus berlangsung; sedangkan pada pihak lain tidak semua makna unsur-unsur pengetahuan dan praktek sistem biomedis yang diperlukan masyarakat telah sepenuhnya dipahami maupun dilaksanakan oleh sebagian terbesar anggota suatu masyarakat. Tambahan pula, dari segi perawatan dan pelayanan biomedis belum sepenuhnya berhasil memenuhi kebutuhan dan harapan suatu masyarakat karena adanya berbagai masalah keprofesionalan, seperti perilaku medis yang belum sesuai dengan kode etik, pengutamaan kepentingan pribadi dan birokrasi, keterbatasan dana dan tenaga, keterbatasan pemahaman dan komunikasi yang berwawasan budaya.
Konsep Sosiologi dalam Praktek Medis
Beberapa konsep sosiologi yang diuraikan David Tuckett dalam bukunya Introduction to medical Sociology, tampaknya cukup jelas untuk menggambarkan penerapan konsep sosiologi dalam praktek medis. Ia mengemukakan bahwa perspektif sosiologi utama yang dirasakan bermanfaat untuk diterapkan dalam bidang medis ialah apa yang dinamakan dengan konsep ‘struktur’, suatu konsep yang menunjukkan adanya unsur-unsur umum yang terdapat pada setiap situasi atau interaksi.
Dengan membayangkan sikap umum yang biasa terjadi dalam interaksi antara dokter dan pasien maka akan didapat suatu model atau gambaran mengenai segala sesuatu yang terjadi dan dapat dimengerti mengenai apa yang keliru dan bagaimana penyebabnya. Dengan cara yang sama dapat pula dianalisis pekerjaan dokter yang di dalam pendekatan struktur ini dinamakan ‘teori tentang peranan’ (role theory). Meskipun dokter terlibat dalam kegiatan-kegiatan tertentu, mempunyai tujuan tertentu, menghadapi masalah-masalah yang umumnya dialami semua dokter, namun masyarakat memainkan peranan dan perbuatan yang berkaitan dengan peranan dokter tersebut. Dokter yang bertindak di luar peranan yang sesungguhnya bukan berarti bahwa ia bukan dokter sejati. Dari segi sosiologi setiap individu memainkan peranan di dalam semua situasi sosial. Hal ini mengingatkan kita pada sifat-sifat umum dari peranan seorang dokter, pasien, istri, anak dan sebagainya. Dengan membayangkan sifat-sifat umum dari peranan tersebut, dan dengan mengenyampingkan sifat-sifat perseorangan, akan dapat digambarkan dengan jelas mengenai apa yang sedang terjadi sehingga kita dapat mengerti dan memahaminya.
Salah satu contoh, dengan memperhatikan sifat umum dari peranan dokter atau peranan pasien tampak betapa di dalam situasi yang sama terdapat perbedaan-perbedaan di mata para pelaku yang ikut berperan di dalamnya. Seorang dokter mungkin menyesalkan pasiennya diperiksa oleh mahasiswa walaupun memang hal itu diperlukan. Sebaliknya bagi pasien, pemeriksaan oleh mahasiswa mungkin dianggap tidak meyakinkan. Sama halnya, bila diperhatikan sifat-sifat umum dari peranan antara konsultan atau dokter spesialis di rumah sakit dengan direktur rumah sakit, antara spesialis dengan dokter umum, antara dokter dengan mahasiswa, semuanya mengingatkan kita bahwa perbedaan peranan tersebut menghasilkan perspektif yang berbeda pula di mata para pelaku. Seringkali perilaku seseorang mengesankan di mata yang satu tetapi tidak berarti bagi yang lainnya. Sebagai contoh, banyak spesialis di rumah sakit melihat peraturan-peraturan rumah sakit sebagai suatu hambatan yang tidak dapat ditoleransi karena mengurangi kebebasan mereka melakukan sesuatu.
Dalam praktek medis, interaksi yang terjadi antara dokter dan pasien, pasien dan perawat, perawat dan dokter, perawat dengan dokter, dokter dan pekerja sosial, semuanya itu merupakan ‘tindakan sosial’. Konsultasi antara dokter dengan pasien, bangsal, pertemuan dengan pengurus rumah sakit, kuliah-kuliah, semuanya adalah situasi sosial. Interaksi dan situasi sosial tersebut tidak akan dapat dipahami dengan baik tanpa memperhatikan dimensi yang terdapat di dalam pergaulan hidup bersama.
Nilai dan Norma dalam Medis
Dua faktor sosial yang dianggap berpengaruh besar terhadap ‘tindakan sosial’ ialah nilai dan norma. Nilai adalah sesuatu yang abstrak mengenai sesuatu yang dipercayai bersama. Nilai dalam keluarga mungkin berupa hak anggota mengenai privasi, rahasia perkawinan, kerja keras atau kasih sayang terhadap anak. Norma, meskipun dalam beberapa hal sukar dibedakan dengan nilai, akan tetapi lebih nyata terlihat pada cara berpikir dan bertindak sebagai pencerminan adanya sejumlah kepercayaan yang diakui bersama. Norma dan nilai sosial jelas dibutuhkan, namun norma dan nilai tersebut dapat diubah oleh orang-orang atau kelompok individu dengan melakukannya secara bersama-sama. Norma dan nilai berkuasa dalam kehidupan manusia oleh karena orang mempercayainya. Karena itu norma dan nilai merupakan unsur pokok dalam pemikiran sosiologi. Bayangkan, seseorang yang menderita kanker, sepanjang kita ketahui telah terjadi perubahan fisiologis yang mungkin disadari atau tidak disadari pasien. Akan tetapi, bila ia harus berbuat sesuatu misalnya meminta pertolongan dokter, maka ia harus mengenal gejala-gejala penyakit yang dinamakan ‘perilaku sakit’ dipengaruhi oleh keyakinan-keyakinannya terhadap gejala-gejala penyakit tersebut dan keyakinan terhadap apa yang harus diperbuat untuk menghadapinya. Di samping itu, ada norma dan nilai yang menyangkut pengertian seseorang tentang sakit, yang menyertai kunjungannya ke dokter. Suatu kunjungan ke dokter merupakan bagian dari tindakan sosial yang harus dipahami hubungannya dengan pengaruh sosial.
Dari segi pandangan pelakunya, kunjungan ke dokter mempunyai makna yang berbeda-beda. Demikian pula mengenai makna dari gejala-gejala penyakit. Banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa interpretasi terhadap tanda-tanda dan gejala-gejala penyakit berbeda antara masing-masing kelompok, namun dokter menganggapnya sebagai indikator penting dari penyakit.
Aspek Kebudayaan
Kausalitas penyakit sebagai konsep kebudayaan yang menjadi dasar pengobatan, seringkali merupakan persoalan yang dihadapi oleh petugas-petugas kesehatan di daerah pedesaan. Masih merupakan kepercayaan yang umum bahwa ada penyakit-penyakit yang dianggap disebabkan oleh makhluk-makhluk dan kekuatan gaib, seperti guna-guna (dengan berbagai alasan), gangguan makhluk halus, pelanggaran taboo, hukuman Tuhan dan sebagainya. Sekalipun pada masyarakat di mana perawatan kesehatan modern sudah tidak asing lagi, kepercayaan terhadap ideologi seperti ini masih dianut. Kenyataan ini merupakan cermin dari pengkategorian penyakit-penyakit yang dapat disembuhkan oleh dokter dan yang hanya dapat disembuhkan oleh dukun. Dalam kenyataannya, penyakit seseorang yang diduga disebabkan oleh sesuatu yang bersifat supranatural tidak hanya dimintakan perawatan kepada dukun tetapi juga kepada dokter atau perawat, atau yang disebut mantra.
Pada komunitas-komunitas rumpun (tribal communities), kepercayaan terhadap sebab penyakit yang bersifat magi-keagamaan seperti ini mendominasi isi konsep teori penyakit dan praktek penyembuhan, sedangkan pada komunitas-komunitas pedesaan (peasant communities), kepercayaan ini telah berkurang dan tidak menjadi satu-satunya yang dipegang, akibat perkembangan sistem etiologi lain yang bersifat naturalistis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar