Oleh : dr. Adi Tucunan M.Kes
Sulawei Utara telah selesai merayakan pesta demokrasi bagi seluruh rakyatnya. Berbagai upaya dilakukan oleh setiap komponen masyarakat, pemerintah dan partai politik untuk menyukseskan acara yang selalu melibatkan agenda-agenda besar pada setiap isi kampanye sebagai konsep yang dijanjikan untuk dilakukan, entah itu dengan tujuan menarik dukungan lebih besar, menutupi kegagalan partai politik yang berkuasa atau bahkan menjurus pada penipuan terhadap kerangka berpikir rakyat yang menjurus pada pembentukan opini publik yang kebablasan. Sungguh disayangkan opini publik yang berkembang di masyarakat kita, hanyalah suatu kedangkalan dari berpikir kritis dalam memilih pemimpinnya. Memang, rakyat saat ini bisa dikatakan sudah melek politik karena sudah (katanya) kritis dalam memilih pemimpin mana yang harus dipilih, alias mana yang pantas dan tidak, mana yang mampu atau tidak. Tapi sayangnya, sekali lagi masyarakat sering tertipu oleh pemimpin yang dipilihnya. Janji-janji yang diutarakan saat kampanye jarang direalisasikan, fasilitas-fasilitas publik yang ingin dibangun dalam pernyataan kampanyenya urung dibangun dan masih banyak hal lain seperti itu. Masyarakat masih sering dibuai dengan jargon-jargon politik tanpa menyadari bahwa dalam setiap kesempatan pesta demokrasi terlalu sering ditemukan ketidakcerdasan karakter yang sesungguhnya bisa menipu khalayak ramai. Inikah yang dinamakan melek politik atau kritis dalam perpolitikan kita dewasa ini? Saya ragu, apakah masih cukup banyak masyarakat kita yang peduli dengan kekritisan dalam berpikir dan bertindak. Tidak untuk menimbulkan sikap pesimisme berlebihan, tapi saya mengkuatirkan kita sedang bergerak ke arah sana.
Ekonom politik sekaligus sosiolog William Graham Summer memberikan definisi sebagai berikut terhadap pemikiran kritis: “Pemikiran Kritis adalah pengujian dan terhadap proporsi dari apa pun yang minta diterima, untuk menemukan apakah berhubungan dengan realitas atau tidak. Pemikiran kritis merupakan satu-satunya jaminan melawan delusi, desepsi, takhayul, dan kesalahpahaman atas diri kita dan lingkungan kita.” Kita sekarang telah menjadi sebuah masyarakat yang begitu , sudut pandang yang memberikan kredibilitas instan. Pencarian pengetahuan terdalam masih sulit dilakukan di zaman masyarakat yang memuja materialisme sebagai ideologi baru mereka. Pencarian pengetahuan ini bukan hanya demi kepentingan pengetahuan itu sendiri, tetapi juga demi tercapainya sebuah solusi yang diterima semua orang, sebuah “egalitarian intelligence”. Egalitarian Intelligence sendiri adalah pembentukan pengetahuan dan pendidikan untuk sesuai dengan benak seseorang, dan bukannya membentuk otak seseorang untuk belajar berbagai metode formal dari pemecahan masalah, nalar induktif dan pengetahuan faktual. Tidak ada yang bisa dikesampingkan, tidak ada orang yang dinomorduakan dan tidak ada seorangpun yang bisa didiskriminasikan.
Melihat situasi yang terjadi sekarang, nampaknya kita sedang memasuki era dimana segala sesuatu diakomodir berdasarkan kerangka berpikir yang dangkal. Kita tidak pernah benar-benar melibatkan nurani dalam setiap pandangan politik kita, tapi lebih pada pengutamaan jargon politik, kekuatan yang dimiliki, kekuasaan dalam menguasai orang lain yang pada akhirnya proses ini telah merampas kepedulian rakyat dan berusaha mengkotak-kotakan status di tengah masyarakat kita.
Dalam pandangan saya, belum ada figur yang benar-benar mengayomi masyarakat madani kita. Para pemimpin sekarang terjebak dengan euforia kenikmatan klasik yaitu keinginan memiliki kekuasaan, uang dan popularitas. Tidak bisa dipungkiri, setiap pemimpin yang ingin berkuasa tergerak dengan ketiga kriteria klasik yang ingin mereka genggam. Slogan ingin membangun dan mensejahterakan rakyat hanyalah pernyataan kelas kedua dalam konsep mereka di samping kepentingan pribadi. Sebagai orang yang awam politik, saya tidak tahu apakah ini teori politik yang mereka anut berdasarkan konsep politik seperti yang dicanangkan mula-mula oleh Aristoteles bahkan Plato, ataukah teori politik yang dianomalikan mereka? Sehingga seharusnya tidak ada yang mengistilahkan politik itu kotor. Bahkan yang sangat disayangkan juga, demokrasi sepertinya menjadi jualan dan dibeli atau dibayar oleh oknum-oknum yang tidak mengerti sama sekali berdemokrasi tapi menjadikan demokrasi sebagai tunggangan untuk berkuasa.
Ini terlihat dalam money politic yang selalu disertakan dalam setiap pesta demokrasi, padahal sudah ada undang-undang yang mengatur ini sebagai suatu pelanggaran, tapi nampaknya para politisi dan birokrat kita bebas berekspresi dengan kekeliruan dan kejahatan mereka. Bagi saya, seorang figur pemimpin dan calon pemimpin masyarakat yang memainkan money politic tidak layak dipilih dan harusnya masyarakat tidak memilih mereka karena mereka tidak sama sekali memberikan pendidikan politik dalam berdemokrasi yang baik. Seorang pemimpin yang baik tidak harus mengkampanyekan dirinya (walau memang diijinkan) di setiap spanduk atau baliho yang ada di tengah kota atau setiap jalan sebagai bagian kampanye popularitasnya. Tapi seharusnya mereka harus lebih mampu memperlihatkan kebijaksanaan mereka dengan pernyataan-pernyataan dan tindakan yang lebih fundamental yang dapat membangun karakter masyarakatnya, dalam arti: sebagai panutan, dia harus tetap rendah hati dengan tidak merendahkan martabatnya dengan popularitas kosong tapi bergerak hanya dengan kinerja yang memukau dan bukan sebagai politisi karbitan. Dan juga segala tindakan yang dilakukannya benar-benar untuk kepentingan kemaslahatan masyarakat banyak, bukan untuk memperkaya diri sendiri.
Dalam beberapa tahun berkuasa, seorang pemimpin yang sudah memiliki harta yang cukup banyak dengan bertebaran di setiap tempat (padahal sebelumnya dia tidak memiliki banyak harta), tidak layak disebut seorang pemimpin karena mereka menumpuk kekayaan mereka untuk lebih haus berkuasa dan ini harus dicegah oleh rakyat jika tidak apa yang dimiliki oleh mereka akan dirampok oleh pemimpinnya. Mahatma Gandhi pada saat menjadi Perdana Menteri India adalah seorang yang luar biasa sederha. Ketika ditanyakan pada waktu itu mengapa dia hanya makan sehari sekali dan itu pun hanya dengan sedikit jeruk nipis dan madu. Dia menjawab “saya ingin merasakan solidaritas dengan rakyat saya yang kelaparan”. Apakah jawaban ini adalah salah satu ciri gaya kepemimpinan seorang pemimpin besar? Kalau demikian halnya, kita tidak akan pernah menemukan lagi seorang pemimpin yang berpikir seperti itu di Sulut atau di mana saja karena mereka tidak pernah solidaritas dengan rakyat karena hidup mereka berkelimpahan harta selalu ingin dilayani bukannya melayani. Para pemimpin daerah hanya selalu berlomba ingin berkuasa dan memperkaya diri mereka sendiri dengan cara-cara yang tidak halal tanpa melihat rakyatnya menderita di luar sana. Maka, jangan heran kalau pemimpin seperti Gandhi akan dikenang seluruh dunia sebagai pemimpin hebat sepanjang masa dan para pemimpin sekarang hanyalah bagian dari sejarah yang lewat sambil lalu dan tidak akan pernah dikenang, kalau dikenang hanyalah dalam konteks lokal saja itupun hanya bagi sebagian rakyat.
Mudah-mudahan pemilukada yang baru saja berakhir boleh mendapat pemimpin yang tidak haus akan kekuasaan tapi benar-benar memimpin dengan nurani dan tanggungjawab terhadap rakyatnya. “Walaupun sulit untuk mendapatkan pemimpin seperti itu”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar