Senin, 14 Maret 2011

“PENDEKATAN HOLISTIK YANG TERABAIKAN”

Oleh : dr. Adi Tucunan, M.Kes


(Sesuatu yang kita tolak membuat kita lemah, sehingga
kita menemukan ternyata yang kita tolak adalah
diri kita sendiri _ Robert Frost)
            Pernahkah Anda menonton film berjudul Patch Adam yang dibintangi oleh Robbin Williams? Film ini berdasarkan kisah nyata yang menceritakan bagaimana seorang dokter (Henry Adam) yang kemudian dipanggil Patch Adam berusaha memberikan nuansa baru atau kalau boleh dibilang mendobrak tradisi lama dunia kedokteran yang dianggap terlalu mekanistik, instrumental dan sistematis, sehingga sering menciptakan suasana rumah sakit yang kurang bersahabat bahkan tampak dingin dan kaku. Patch Adam seperti dalam film itu digambarkan memiliki karakter yang jauh berbeda dengan dokter-dokter sejawatnya yang bertampang serius, melalui pendekatan humor yang dipakainya. Kekonyolan yang ditampakkan Adam lewat gaya badutnya sangat membuat pasien merasa diterima dan terhibur. Misinya hanyalah satu yaitu menyembuhkan pasien lewat humor. Dan ini sangat ditentang oleh institusi medis saat itu, sehingga hal ini hampir membahayakan karirnya karena dia hampir dipecat dari sekolah kedokteran atas kehancuran yang dibuatnya terhadap sistim yang berlaku. Saya tidak dapat membayangkan bagaimana kalau ini terjadi pada mahasiswa kedokteran di sini yang menggunakan ini sebagai terapi alternatifnya sekarang, mungkin juga dia akan diperlakukan sama dengan Adam dan malah diusir. Tapi tahukah Anda, bahwa karena kedekatannya dengan pasien dan staf medis lain, Patch berhasil lolos dari jeratan pelanggaran kode etik medis karena mendapat pembelaan dari orang-orang yang mengasihinya, sebagai hasil dari pendekatan yang dia lakukan terhadap mereka?
            Ketika di bangsal anak sewaktu menjalani pendidikan profesi, saya merasa begitu senang karena boleh bersenda gurau dengan anak-anak (bahkan ada yang sekarat karena penyakitnya), saya juga merasa terhibur dengan kehadiran mereka (padahal saat itu begitu tegang kala berhadapan dengan residen bahkan supervisor). Kelucuan mereka membuat saya tersenyum dan semangat, bahkan walau hanya dengan menggelitik mereka dan main kejut-kejutan sudah merasa diri saya nyaman dan melupakan sejenak stress yang melanda akibat situasi rumah sakit yang begitu kaku. Kedengarannya memang klise bagi mahasiswa kedokteran tingkat akhir yang menghabiskan waktunya di klinik. Tapi itu, pengalaman yang dialami sendiri, bagaimana konsep medis konvensional terkadang berlaku kejam bagi pikiran dan jiwa orang-orang yang berada di dalamnya.
            Sebenarnya, apa yang dilakukan oleh Patch Adam adalah sesuai dengan pendekatan holistik, sebuah konsep yang melihat manusia sebagai sebuah kesatuan yang utuh terdiri dari tubuh, jiwa dan roh. Bukan dipilah-pilah sebagai tubuh sendiri atau pikiran sendiri atau roh sendiri. Kenyataan yang nampak di rumah sakit kita, puskesmas, klinik, praktek dokter atau bahkan institusi kesehatan lainnya memperlihatkan betapa praktisi kesehatan lebih cenderung menganggap persoalan hanya berada pada tingkatan sel, jaringan dan organ, bahkan lebih buruk lagi diperlakukan hanya sekedar masalah sains. Sehingga tidaklah mengherankan kalau penanganan medis kita lebih cenderung memberikan terapi pada fisik yang utama dan melupakan apa yang namanya individu pasien sebagai manusia yang utuh terdiri dari tubuh, jiwa dan roh. Mungkin semua orang yang terlibat dalam pemeliharaan kesehatan cepat atau lambat menghadapi fakta bahwa semua terapi medis, terlepas dari kuasa dan popularitasnya bisa membuat frustasi karena berubah-ubah dan terkadang membahayakan. Studi-studi ilmiah yang mendemonstrasikan keefektivan suatu terapi seringkali memberikan hasil-hasil yang bertentangan. Studi-studi tersebut terkadang menunjukkan bahwa suatu terapi yang sebelumnya dianggap membantu ternyata malah membahayakan, dan sebaliknya. Barangkali publik akan dibuat terhenyak, bagaimana ini bisa terjadi? Lalu kepada siapa kami harus percaya? Sedangkan kedokteran sendiri berubah-ubah. Disebutkan pula bahwa kedokteran kurang ilmiah dibandingkan yang selalu kita bayangkan. Artikel New York Times pernah menyatakan dengan jelas bahwa asumsi masyarakat bahwa kedokteran didukung oleh bukti yang tidak dapat ditolak “jauh dari ciri-cirinya sehingga ilmu kedokteran praktis seperti orang pander.” Salah seorang peneliti, Dr. David Eddy dari Jackson Hole Group, memperkirakan bahwa tidak lebih dari 15 persen terapi medis yang berdasarkan pada “bukti ilmiah yang dapat diandalkan.” Bukti, dalam kenyataannya sangat dipengaruhi oleh kultur, bias dan pengalaman personal dan emosi. Ini semua artinya, kita membutuhkan pendekatan holistik untuk dapat mencapai pada taraf kesempurnaan dari penyembuhan suatu penyakit.
Daniel Goleman, dalam bukunya yang sangta provokatif ‘Emotional Intelligence’ menyebutkan bahwa perawatan medis modern terlampau sering kehilangan kecerdasan emosional. Tiadanya kepedulian pada realitas emosi si pasien akan penyakitnya berarti tak menghiraukan bukti-bukti yang semakin menumpuk yang menunjukkan bahwa keadaan emosi dapat memainkan peran yang kadang-kadang amat berarti dalam mengatasi kekwatiran terhadap penyakit dan dalam arah menuju kesembuhan. Menurut Goleman, dalam keadaan stress, kelenjar-kelenjar kita akan memproduksi adrenalin dan kortisol yang dapat meningkatkan tekanan darah, mempercepat pernapasan dan detak jantung, serta melepaskan kadar gula dan lemak dalam tubuh. Beberapa studi menunjukkan bahwa keadaan suasana emosi yang menyentuh seperti cinta dan rasa peduli, bisa menyeimbangkan sistem saraf kita dan merupakan obat yang ampuh untuk mengurangi stress.
            Dunia medis kita sudah lama kehilangan sentuhan pandangan holistik ini sejak diabaikan oleh paradigm dualism ala Descartes, yang menganggap makhluk hidup sebagai sebuah mesin yang dibangun oleh bagian-bagian terpisah. Paradigma ini telah mendominasi sains modern (positivism) yang mengharuskan seorang saintis atau ilmuwan bersikap objektif, bersikap rasional, sehingga tidak memberikan peluang bagi keberadaan fenomena yang tidak bisa diukur, dilihat atau diraba (termasuk faktor emosi dan spiritual). Padahal menurut Bapak Psikologi modern Amerika William james (yang juga seorang dokter), psikologi manusia sebenarnya memiliki lahan untuk diteliti secara objektif. Pandangan Descartes di atas mendapat tantangan serius dari Fritjof Capra, yang mengatakan bahwa paradigma Descartes merupakan sebuah eksperimen yang gagal dalam memberikan solusi terhadap berbagai masalah kehidupan modern. Termasuk dalam dunia kedokteran yang gagal memberlakukan pasien sebagai manusia yang utuh, sehingga banyak penyakit utama seperti kanker dan AIDS masih sulit disembuhkan , karena memang tidak ada obatnya. Akibat dari pandangan Descartes yang kita anut sekarang, maka pengembangan dan penerapan Iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) didekati secara parsial atau terpisah (fragmented), sehingga manusia modern cenderung berpikir fragmented pula.
            Akibat sering mengabaikan pendekatan holistik ini, banyak pasien atau mereka yang berobat ke praktisi medis mengalami kekecewaan, sehingga muncullah ungkapan-ungkapan seperti ‘saya cocok berobat ke dokter A’, tapi tidak cocok dengan dokter B, atau juga keluhan dari pasien bahwa sang dokter hanya bertanya sedikit dan langsung memberikan resep tanpa basa basi, disertai dengan ekspresi yang datar. Pernah ketika sedang berada dalam mobil angkot, saya mendengar pembicaraan seorang sopir yang mengatakan bahwa saudaranya yang berobat ke dokter spesialis yang kedua sembuh setelah minum obat yang tidak terlalu mahal harganya. Padahal ketika dia berobat ke dokter spesialis yang pertama (bergelar professor pula), dia mendapat obat yang harganya mahal tapi tidak sembuh-sembuh. Kejadian seperti ini barangkali pernah Anda alami. Sebuah studi terhadap pasien-pasien yang sedang menunggu diperiksa menemukan bahwa masing-masing pasien rata-rata mempunyai tiga atau empat pertanyaan yang ingin diajukannya kepada dokter yang akan mereka temui. Tetapi, rata-rata hanya satu setengah pertanyaan tersebut yang terjawab dalam ruang praktek dokter. Temuan ini menyingkap kenyataan bahwa ada kebutuhan-kebutuhan emosional pasien yang tidak terpuaskan oleh ilmu kedokteran dewasa ini. Saatnya bagi kita tidak menolak sesuatu di luar apa yang kita pelajari karena keterbatasan sudut pandang kita, padahal banyak hal di luar sana yang memiliki manfaat bagi kesehatan kita termasuk kebutuhan-kebutuhan emosional di atas. Larry Dossey, yang disebut-sebut sebagai pengganti Lewis Thomas sebagai dokter yang paling didengarkan di Amerika mengatakan bahwa seorang dokter yang baik haruslah mengijinkan metode-metode lain bekerja dalam mengobati pasiennya. Sehingga yang menjadi fokus utama perhatiannya adalah individu pasien dan kesembuhannya dan bukan pada cara atau dokter itu sendiri.
            Sebagai institusi dan masyarakat kita sebenarnya merasa prihatin dengan terabaikannya konsep holistik yang sebenarnya sudah ada sejak jaman Hipocrates. Kita tidak bisa mengharapkan tanggungjawab kesehatan kita dilemparkan pada teknologi kedokteran yang rapuh (walaupun itu bermanfaat) dalam penanganan medis sekarang ini. Sekarang saatnya, sebagai masyarakat, pasien dan praktisi medis, kita harus bergandeng tangan untuk menggunakan cara-cara yang lebih manusiawi dalam mengatasi berbagai persoalan kesehatan kita. Karena hanya dengan pemahaman terhadap pendekatan holistik kita dapat melihat buah keberhasilan dari penanganan medis kita. Karena dengan kesehatan yang prima kita dapat menyongsong masa depan kita, keluarga dan bangsa yang lebih cerah sehingga dengan demikian kita bertanggungjawab terhadap seluruh kehidupan ini dan kepada Sang Khalik Pencipta dan Pemberi kesehatan yang seutuhnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar