Jumat, 08 April 2011

Resistensi Antibiotik Yang Menakutkan

Pasien yang datang ke praktek dokter dengan gejala flu ringan akibat mekanisme tubuh yang mulai rapuh, peralihan musim yang ekstrim, stres akibat banyaknya beban kerja yang harus ditangani dan kelelahan fisik yang mendera, sering mendapat resep antibiotik dari dokter yang menanganinya. Dari antibiotik level generik yang murahan sampai pada yang berlabel paten dengan harga yang menguras kantung pasien karena diresepkan oleh seorang spesialis.
Keadaan seperti ini banyak kita temui dalam praktek medis yang dilakukan oleh para dokter, padahal pendekatan seperti itu terkadang tidak berdasarkan rasionalisasi yang tepat. Alasannya sederhana, karena gejala flu apalagi yang ringan sebenarnya masih bisa diatasi dengan minum air putih saja, istirahat yang cukup dan konsumsi vitamin C yang adekuat serta memanajemen stres yang baik, tanpa perlu mengkonsumsi antibiotik.
Seorang mahasiswa pernah konsultasi kepada saya dengan menanyakan terapi yang harus diberikan dengan gejala yang menurut saya hanya berada pada level infeksi (virus) pada umumnya. Saya memberikan dua alternatif kepada dia, yaitu pertama, kalau menggunakan cara berpikir preventif (konsep orang public health) dan penyembuhan jangka panjang maka dia hanya perlu istirahat yang cukup saja, minum teh manis hangat, suplai vit.C dan minum air putih banyak kemudian bersabar menanti penyembuhan yang sebenarnya sudah Tuhan taruh di sana. Alternatif kedua, kalau dia mau menggunakan pola pikir kuratif dan penyembuhan jangka pendek, maka dia perlu mengkonsumsi obat berdasarkan simptom atau gejala yang dia alami. Sekarang pilihan tergantung pada mahasiswa tersebut, keputusan apa yang perlu dia ambil.
Hal ini juga sering saya terapkan pada pasien-pasien saya di tempat praktek sebagai tanggungjawab sosial saya untuk memberikan edukasi pada pasien tentang kenyataan sebenarnya yang mereka alami dan tindakan rasionalitas yang harus dia ambil. Saya sangat menyayangkan kalau antibiotik masih sering dipakai begitu luas di kalangan masyarakat tanpa mengetahui apa sebenarnya yang terjadi dengan fisiknya, sehingga antibiotik ini sering dikonsumsi seperti membeli permen di pinggir jalan dan dikonsumsi tanpa batas. Tidak tahukah kita bahwa dalam tubuh kita ini tersimpan begitu banyak obat-obat alamiah yang sering membombardir para agen-agen invasi seperti bakteri dan virus yang kerap menyerang kita? Menurut Deepak Chopra, seorang Internis, penulis buku-buku bestseller dan ilmuan medis; tubuh kita ini adalah apotik terbesar yang pernah ada. Saking hebatnya, tak satupun obat yang diproduksi oleh industri farmasi dan pabrik-pabrik obat di seluruh dunia yang bisa menyamai ketepatan penyembuhannya seperti cara kerja tubuh kita.
Akhir-akhir ini, banyak kasus di seluruh dunia di mana infeksi-infeksi sudah tidak dapat diatasi lagi dengan antibiotik. Ini sudah mencapai taraf yang mengkuatirkan. Setiap tahun di Uni Eropa lebih dari 25.000 orang meninggal setiap tahunnya akibat infeksi bakteri yang mampu melawan bahkan oleh antibiotik-antibiotik generasi terbaru sekalipun. Badan Kesehatan Dunia WHO mengatakan bahwa situasi ini sudah mencapai titik kritis.
Tanpa adanya upaya lebih jauh, masyarakat dunia akan menghadapi 'skenario mimpi buruk" akibat penyebaran infeksi yang tidak dapat diobati lagi, demikian menurut WHO.
Saya sering membiarkan tubuh saya melakukan upaya autorecovery artinya menyembuhkan dirinya sendiri pada saat saya sakit. Jarang sekali saya menggunakan obat-obatan medis kalau sakit hanya karena infeksi umum. Dan memang hanya dalam hitungan jam, penyakit yang saya alami hilang dengan sendirinya tanpa konsumsi obat. Mungkin terasa aneh pendekatan ini dipakai oleh seorang dokter yang selalu berbaur dengan obat-obatan. Hal ini saya lakukan karena konsep berpikir dan paradigma yang saya anut, sedikitnya keluar dari jalur berpikir kolega-kolega saya. Tak peduli apakah tindakan saya ini mendapat kecaman dan kritikan, menurut hemat saya ini adalah langkah urgen untuk menghindari dampak dari efek samping yang saya takutkan kalau menggunakan terapi yang tidak rasional, seperti yang sudah dikuatirkan oleh WHO di atas. Kenyataannya, hal tersebut sudah menjadi bumerang bagi dunia medis kita saat ini, karena resistensi antibiotik sudah mencapai titik kritis.
Pernah suatu ketika, saya mendapat respons yang kurang menyenangkan dari pasien saya, karena pada waktu itu menurut pertimbangan medis saya dia belum layak membutuhkan obat (khususnya antibiotik). Saya menjelaskan kepada pasien  (dan keluarganya) semua dampak akibat dari penggunaan antibiotik yang tidak rasional, tapi kelihatannya pasien ini tidak mau peduli dengan pendapat medis saya. Dia lebih menginginkan obat tersebut karena sering mengkonsumsi obat tersebut setiap kali datang ke dokter lain. Paradigma yang tertanam secara mendalam pada pikiran pasien bahwa setiap datang ke dokter akan mendapat antibiotik akan menjadi kerugian tersendiri bagi pasien tersebut. Zsuzsanna Jakab, WHO direktur wilayah Eropa mengatakan: "Antibiotik merupakan penemuan berharga, namun kita menggunakannya secara berlebihan dan menyalahgunakannya: saat ini banyak bakteri yang tidak berespon terhadap obat-obat tersebut.
Akibat dari penggunaan yang tidak bertanggungjawab ini akan mengacaukan keseluruhan tatanan kesehatan kita. Semoga kita sebagai praktisi medis dan kesehatan serta masyarakat cepat menyadari keadaan ini dan berupaya untuk mengejar penyembuhan alamiah tanpa merusak sistem biologimolekuler sel yang sudah tertata rapih dengan antibiotik.

Senin, 21 Maret 2011

Bahaya Egosentrisme

Profesor Howard Gardner, seorang jenius dari Harvard University yang dikenal juga sebagai Bapak Kecerdasan Majemuk pernah suatu saat mengemukakan dalam bukunya "Five Minds for the Future" bahwa orang yang terlalu mendewa-dewakan sains dan teknologi sama seperti burung onta yang menyembunyikan kepalanya di padang pasir yang mengira dirinya aman dari bahaya karena sudah menyembunyikan kepalanya, padahal badannya masih kelihatan.
Menurut Gardner, sains dan teknologi tidak mempunyai sistim nilai, karenanya dia sangat berbahaya jika tidak diseimbangkan dengan nilai-nilai dalam ranah sosial sebagai filter untuk mengakomodir respons positif dari sains yang tanpa nilai itu.
Para pelajar yang terus belajar siang dan malam dengan mengandalkan kekuatan Intelligence Quotient tanpa diperkuat dengan kapasitas moral dan tindakan kongkrit yang beretika, akan kalah dalam pertarungan hidup yang begitu keras, karena dunia tidak bisa dihadapi oleh orang-orang berotak encer tapi oleh mereka-mereka yang berpikiran terbuka dengan kekuatan etika dan moral yang baik. Karena pembelajaran terbaik adalah yang menggunakan Emotional Quotient.
Masalah-masalah yang terjadi di lingkungan sekitar kita sangat banyak berhubungan dengan sistim nilai yang berkembang dalam komunitas dan tatanan budaya masyarakat kita. Tanpa rasa hormat yang memadai terhadap sistim nilai tersebut, dapat dipastikan kita akan terjungkal ke dalam wilayah tanpa makna yang hanya akan merugikan banyak pihak. Seorang dosen, pelajar, birokrat atau individu yang cerdas secara akademik tapi kecerdasan emosionalnya rendah hanya akan menjadi batu sandungan bagi orang-orang sekitarnya. Mereka tidak bisa menangkap suasana hati dan perasaan orang lain yang merasa tertekan dengan pola-pola tindakan mereka dalam melayani. Asumsi yang dibangun selama ini adalah apa yang saya lakukan adalah benar dan secara arogan menolak kebebasan berekspresi orang lain, khususnya mereka yang berada pada posisi inferior. Banyak sekali orang-orang yang sombong secara akademis dan tindakannya, tanpa menyadari bahwa kekeliruannya itu dilihat oleh banyak pihak, sehingga reputasi yang sebelumnya dia peroleh sebagai orang terhormat, akan jatuh dengan sendirinya karena arogansi ilmiah dan benteng kesombongan yang dia bangun di sekelilingnya.
Orang-orang yang terlalu berambisi mendapatkan kekuasaan dalam bidang manapun dan status apa pun seringkali terperangkap dalam superioritas ego-nya. Orang-orang seperti ini cerdas secara akademis dan sangat menonjol dalam lingkungannya, tapi semuanya itu hanyalah upaya untuk membangun hegemoni kekuasaan diri yang akan menghalangi orang lain untuk mengembangkan dirinya karena dia merasa inferior ketika melihat ada orang yang lebih superior darinya.
Solusi mengatasi egosentrisme seperti ini adalah memiliki pikiran terbuka, menganggap dirinya tidak lebih daripada orang lain dan dengan rendah hati menganggap di atas langit masih ada langit.

Jumat, 18 Maret 2011

Hambatan Mental dalam Dunia Pendidikan

diringkas dari tulisan karya Bertrand Russel dkk
(penulis: Morton Hunt)

Pendidikan dapat menjadi sumber hambatan mental, terutama jika para siswa/mahasiswa diajar untuk menyelesaikan setiap masalah dengan gaya penyelesaian buku panduan yang kaku. Hal ini terjadi bukan hanya pada pembelajaran formal namun juga dalam belajar kita tentang urusan sehari-hari. 
Seorang Profesor dari Swarthmore pernah meminta mahasiswa-mahasiswanya di fakultas psikologi untuk mengambil sebuah bola pingpong dari dasar sebuah pipa berkarat yang tegak lurus. Di ruangan itu terdapat palu, beberapa tang, penggaris, penghisap soda, peniti dan satu ember air kotor. Mahasiswa-mahasiswa itu memulainya dengan mengail bola tersebut dengan berbagai benda dan gagal, namun akhirnya kurang lebih setengah dari mereka tahu bahwa penyelesaiannya adalah dengan cara menumpahkan air kotor ke dalam silinder tersebut dan mengapungkan bola itu ke atas.
Setelah itu, sang Profesor mengulangi percobaannya terhadap beberapa mahasiswa lain, namun dengan satu pertbedaan, ia mengganti satu ember air kotor tersebut dengan satu teko air es, yang diletakkan di atas alas meja yang kering dan dikelilingi gelas-gelas yang mengkilat. Tak satu mahasiswa pun yang mampu mengatasi masalah tersebut. Mengapa? Karena mereka paham bahwa air dingin dalam teko tersebut adalah untuk minum, bukan untuk dituangkan ke dalam pipa karat untuk mengatasi masalah.
Jelas, jawabannya bukan untuk menghindari pendidikan, namun untuk menghindari pendidikan yang kaku dan sempit. Jika para guru/dosen dan orang tua mendoktrin seorang anak bahwa ada cara yang salah dan yang benar dalam melakukan segala sesuatu, anak tersebut cenderung akan menjadi kaku dalam cara berpikirnya. Jika mereka mendorongnya untuk menyelesaikan segala sesuatu sekehendak dirinya, secara alamiah cara berpikirnya akan menjadi lebih fleksibel. Ketika ia tumbuh dewasa dan mencoba mendesain mobil agar lebih baik, atau menyelesaikan suatu perselisihan, ia tidak akan terbatas hanya pada pendekatan-pendekatan yang telah ia miliki.
Salah satu metode paling sukses dalam mengatasi hambatan mental adalah teknik konferensi yang disebut "brainstorming". Aturannya yaitu: 1) apapun boleh, 2) semakin aneh suatu gagasan semakin baik, dan 3) tak seorang pun mengkritik suatu gagasan. 
Sebab lain hambatan emosional adalah tekanan. Hampir mahasiswa manapun dapat mengatakan kepada Anda bagaimana fakta-fakta yang telah dikuasai hilang dari ingatannya di bawah tekanan menghadapi sebuah ujian akhir. Kita sering menyangka bahwa di bawah rangsangan yang kuat atau sebuah kompetisi, orang menghasilkan yang terbaik. Itu mungkin benar dalam lomba lari, namun saat Anda sedang mencari ide-ide baru atau sedang memecahkan suatu masalah yang rumit, tekanan yang terus meningkat cenderung lebih menyebabkan adanya hambatan mental.

Selasa, 15 Maret 2011

‘TEORI KONSPIRASI’ DALAM INDUSTRI MEDIS

Seorang pasien Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) yang datang untuk melakukan perawatan atas penyakit yang dialaminya memperoleh perlakuan yang kurang mengenakkan saat masuk rumah sakit. Dia diperlakukan sebagai warga kelas dua dalam birokrasi rumah sakit dalam pengurusan berkas-berkas yang ada dan membutuhkan waktu yang sangat lama. Sebaliknya seorang Ibu yang berpakaian rapih dan nampaknya orang berduit mendapat perlakuan yang ramah dan proses pengurusan berkasnya sangat cepat.
Ada juga kasus dimana seorang pasien Jamkesmas yang mendapat perawatan medis harus dibebankan untuk menebus resep yang disodorkan oleh seorang dokter ahli untuk mengambil obat di apotik, yang notabene pasien tersebut mengalami kesulitan membayar resep tersebut karena tidak punya uang, padahal Menteri Kesehatan sudah menginstruksikan agar rumah sakit-rumah sakit wajib menggunakan obat generik untuk dikonsumsi oleh pasien dan biayanya terjangkau bahkan gratis.
Kasus lain lagi yang saya baca, seorang pasien miskin harus diusir oleh salah satu Rumah Sakit rujukan terkenal di Indonesia karena tidak mampu memenuhi syarat administratif, yang mengakibatkan puluhan anggota keluarga dan orang-orang yang bersimpati dengannya harus melakukan demonstrasi di kantor Kementerian Kesehatan dan membentuk Forum Pengawasan masyarakat terhadap Rumah Sakit.
Kasus-kasus di atas adalah fakta kongkrit yang kita hadapi yang merepresentasikan sebagian besar kasus yang mengemuka di depan publik akan fenomena yang terjadi dalam dunia medis kita. Persoalan-persoalan di atas adalah kisruh dari betapa rapuhnya penanganan masalah-masalah medis yang terkadang tidak berhubungan dengan persoalan teknis pelayanan, tapi lebih pada persoalan sosiologis antropologis yang sulit dipahami oleh sebagian besar praktisi medis kita, sehingga menghasilkan jangkauan mutu pelayanan kesehatan yang dari waktu ke waktu terus mendapat sorotan publik dan penilaian yang buruk.
Tidak dapat dipungkiri ada persoalan besar yang tengah mengancam keutuhan dan integritas dunia medis kita, karena terlalu sering kita diperhadapkan dengan banyaknya kompleksitas yang tidak mampu dibendung dari waktu ke waktu, sehingga belum teratasi masalah yang satu kini muncul masalah baru lagi. Integritas kita perlahan-lahan mulai memudar karena kita sedang diperlihatkan oleh begitu kuatnya pendekatan “teori konspirasi” yang kita anut sekarang dengan mengeluarkan ‘nilai-nilai luhur’ ke luar dari jalur yang sebelumnya dijunjung tinggi, masuk pada hukum pasar yang mendominasi hampir semua lini kesehatan yang kita miliki.
Kecenderungan diarahkannya dunia medis kita pada kepentingan bisnis sangat menakutkan dan mencekam kita sebagai individu, masyarakat dan negara. Hal ini dikarenakan karena industri medis khususnya industri farmasi ke depan nantinya akan mengambil alih posisi terdepan dalam bisnis global di seluruh dunia, menguasai pangsa pasar baik di negara dengan tingkat kesehatan yang tinggi maupun negara-negara dengan tingkat kesehatan yang rendah. Hal ini akan lebih sulit diterima oleh negara-negara dengan pendapatan perkapita yang rendah karena negara-negara tersebut seperti Indonesia tidak mampu membiayai kesehatan masyarakatnya karena terlalu didominasi oleh industri-industri besar yang memiliki kapital yang besar pula. Kita nampaknya didesain secara sistematis oleh korporat-korporat besar untuk mengalami ketergantungan yang sangat besar terhadap industri ini, sehingga dampaknya sudah kita ketahui yaitu  banyaknya komplikasi penyakit yang muncul sebagai akibat dari efek samping industri-industri ini. Majalah Lancet sebagai majalah ternama kedokteran di Inggris suatu ketika pernah memuat dalam jurnalnya mengenai situasi ini. Artikel yang dimuat menyebutkan bahwa keracunan obat terbesar di dunia, bukan karena narkoba-narkoba yang dikonsumsi di pinggir-pinggir jalan tapi lebih disebabkan karena obat dari para dokter yang diresepkan secara legal dan berdasarkan pertimbangan medis.
Hal yang sulit dipahami dari dunia medis adalah mereka mengetahui bahaya dari efek samping terapi konvensional produk farmasi, tapi pertimbangan medis terkadang dikalahkan oleh ‘teori konspirasi’ yang mengharuskan para dokter dan kolega-koleganya menerima klausul yang disodorkan oleh industri farmasi untuk “melariskan” produknya, demi profit dan kemewahan yang ditawarkan oleh industri tersebut sehingga mengenyampingkan publik sebagai konsumen. Pertimbangan hukum pasar ini kian mendominasi cara berpikir para praktisi medis kita saat ini, sehingga tanpa disengaja kita memperlakukan pasien atau publik penerima layanan medis sebagai objek ‘perahan’ untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Para dokter mendapat keuntungan dengan layanan VIP yang disiapkan perusahaan ke luar negeri sebagai bonus. Akibat dari ini semua, kita sering mendistorsi tujuan utama pelayanan kita yaitu nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri yang menjadi fokus utama dunia medis. Kita diperlihatkan secara gamblang betapa jangkauan pelayanan kita perlu diredefinisikan untuk mengembalikannya pada tempat terhormat sebagaimana layaknya.
Semua perilaku praktisi medis kita yang lebih mendahulukan ‘conflict of interest’ dengan tidak mempertimbangkan kesehatan publik di atas segala-galanya, seharusnya mampu dieliminir agar tidak mereduksi sistem nilai yang telah mengakar kuat di tengah komunitas medis dan masyarakat sejak dulu, sehingga kita seharusnya tidak terlibat lebih jauh dalam ‘teori konspirasi’ yang bisa menciderai sistem kesehatan kita yang berparadigma sehat dan mengutamakan pola-pola preventif bukannya kuratif. Semoga.

Senin, 14 Maret 2011

PENDEKATAN SOSIOBUDAYA DALAM DUNIA KESEHATAN

Oleh : dr. Adi Tucunan, M.Kes


Gangguan kesehatan merupakan kenyataan konsekuensi perilaku yang berwujud tindakan yang disadari (diketahui) atau tidak disadari (tidak diketahui) merugikan kesehatan atau menurunkan derajat kesehatan si pelaku sendiri atau orang-orang lain atau suatu kelompok. Gangguan kesehatan yang dimaksud di sini tidak hanya terbatas pada kategori penyakit fisik dan mental secara individual dan kelompok tetapi juga kategori kesejahteraan sosial. Berbeda dari rumusan WHO (Badan Kesehatan Dunia) mengenai konsep sehat (“a state of complete physical, mental and social wellbeing, and not merely the absence of disease and infirmity) yang utopis, statis dan mutlak menurut ukuran-ukuran yang dianggap universal, di sini konsep sehat merupakan kondisi individu dan kelompok sosial yang bersifat dinamis, selalu dalam keadaan berubah.
            Sifat berubah-ubah ini tidak hanya dapat diamati dan dirasakan dalam suatu masa tertentu yang relatif panjang, seperti masa anak balita atau masa usia lanjut, tetapi juga dalam periode singkat seperti sehari atau seminggu. Kondisi ini menunjukkan adanya kenyataan-kenyataan keragaman atau perbedaan, serta secara budaya kondisi sehat atau sakit tertentu bagi suatu kelompok sosial tidak selalu dianggap demikian oleh kelompok sosial lainnya. Bahkan, di kalangan anggota suatu kelompok sosial, seperti suatu komunitas desa, dapat dijumpai keragaman yang dimaksud. Pandangan tersebut menekankan pada gagasan bahwa tingkat kesehatan dalam waktu tertentu dapat berubah dari suatu titik kondisi ke titik yang lain, dan bahwa kuantitas dan kualitas kesehatan turut berubah mengikuti perubahan pada tingkat ini.
Masalah-masalah Perilaku Kesehatan
            Perilaku merupakan tindakan atau kegiatan yang dilakukan seseorang dan sekelompok orang untuk kepentingan atau pemenuhan kebutuhan tertentu berdasarkan pengetahuan, kepercayaan, nilai dan norma kelompok yang bersangkutan. Sekalipun pada umumnya perilaku terbentuk dalam proses enkulturasi dan sosialisasi, namun tidak jarang seseorang menunjukkan perilaku menyimpang. Hal yang sama berlaku juga dalam segi kehidupan kesehatan. Sehubungan dengan kesenjangan ini (antara perilaku ideal/normatif dengan perilaku menyimpang) ada dua dimensi yang perlu dikemukakan, yaitu kebudayaan kesehatan dalam konteks kebudayaan suatu masyarakat, dan kebudayaan kesehatan formal dalam konteks profesional biomedis atau kedokteran.
            Kebudayaan kesehatan masyarakat membentuk, mengatur dan mempengaruhi tindakan atau kegiatan individu-individu suatu kelompok sosial dalam memenuhi berbagai kebutuhan kesehatan baik yang berupa upaya mencegah penyakit maupun menyembuhkan diri dari penyakit. Tentu saja, di samping itu, kita menyadari adanya kenyataan-kenyataan perilaku menyimpang seperti dikemukakan di atas. Masalah utama, sehubungan dengan ini adalah bahwa tidak semua unsur dalam suatu sistem budaya kesehatan (pribumi atau tradisional) cukup ampuh serta dapat memenuhi semua kebutuhan kesehatan masyarakat yang terus meningkat akibat perubahan-perubahan budaya yang terus menerus berlangsung; sedangkan pada pihak lain tidak semua makna unsur-unsur pengetahuan dan praktek sistem biomedis yang diperlukan masyarakat telah sepenuhnya dipahami maupun dilaksanakan oleh sebagian terbesar anggota suatu masyarakat. Tambahan pula, dari segi perawatan dan pelayanan biomedis belum sepenuhnya berhasil memenuhi kebutuhan dan harapan suatu masyarakat karena adanya berbagai masalah keprofesionalan, seperti perilaku medis yang belum sesuai dengan kode etik, pengutamaan kepentingan pribadi dan birokrasi, keterbatasan dana dan tenaga, keterbatasan pemahaman dan komunikasi yang berwawasan budaya.
Konsep Sosiologi dalam Praktek Medis
            Beberapa konsep sosiologi yang diuraikan David Tuckett dalam bukunya Introduction to medical Sociology, tampaknya cukup jelas untuk menggambarkan penerapan konsep sosiologi dalam praktek medis. Ia mengemukakan bahwa perspektif sosiologi utama yang dirasakan bermanfaat untuk diterapkan dalam bidang medis ialah apa yang dinamakan dengan konsep ‘struktur’, suatu konsep yang menunjukkan adanya unsur-unsur umum yang terdapat pada setiap situasi atau interaksi.
            Dengan membayangkan sikap umum yang biasa terjadi dalam interaksi antara dokter dan pasien maka akan didapat suatu model atau gambaran mengenai segala sesuatu yang terjadi dan dapat dimengerti mengenai apa yang keliru dan bagaimana penyebabnya. Dengan cara yang sama dapat pula dianalisis pekerjaan dokter yang di dalam pendekatan struktur ini dinamakan ‘teori tentang peranan’ (role theory). Meskipun dokter terlibat dalam kegiatan-kegiatan tertentu, mempunyai tujuan tertentu, menghadapi masalah-masalah yang umumnya dialami semua dokter, namun masyarakat memainkan peranan dan perbuatan yang berkaitan dengan peranan dokter tersebut. Dokter yang bertindak di luar peranan yang sesungguhnya bukan berarti bahwa ia bukan dokter sejati. Dari segi sosiologi setiap individu memainkan peranan di dalam semua situasi sosial. Hal ini mengingatkan kita pada sifat-sifat umum dari peranan seorang dokter, pasien, istri, anak dan sebagainya. Dengan membayangkan sifat-sifat umum dari peranan tersebut, dan dengan mengenyampingkan sifat-sifat perseorangan, akan dapat digambarkan dengan jelas mengenai apa yang sedang terjadi sehingga kita dapat mengerti dan memahaminya.
            Salah satu contoh, dengan memperhatikan sifat umum dari peranan dokter atau peranan pasien tampak betapa di dalam situasi yang sama terdapat perbedaan-perbedaan di mata para pelaku yang ikut berperan di dalamnya. Seorang dokter mungkin menyesalkan pasiennya diperiksa oleh mahasiswa walaupun memang hal itu diperlukan. Sebaliknya bagi pasien, pemeriksaan oleh mahasiswa mungkin dianggap tidak meyakinkan. Sama halnya, bila diperhatikan sifat-sifat umum dari peranan antara konsultan atau dokter spesialis di rumah sakit dengan direktur rumah sakit, antara spesialis dengan dokter umum, antara dokter dengan mahasiswa, semuanya mengingatkan kita bahwa perbedaan peranan tersebut menghasilkan perspektif yang berbeda pula di mata para pelaku. Seringkali perilaku seseorang mengesankan di mata yang satu tetapi tidak berarti bagi yang lainnya. Sebagai contoh, banyak spesialis di rumah sakit melihat peraturan-peraturan rumah sakit sebagai suatu hambatan yang tidak dapat ditoleransi karena mengurangi kebebasan mereka melakukan sesuatu.
            Dalam praktek medis, interaksi yang terjadi antara dokter dan pasien, pasien dan perawat, perawat dan dokter, perawat dengan dokter, dokter dan pekerja sosial, semuanya itu merupakan ‘tindakan sosial’. Konsultasi antara dokter dengan pasien, bangsal, pertemuan dengan pengurus rumah sakit, kuliah-kuliah, semuanya adalah situasi sosial. Interaksi dan situasi sosial tersebut tidak akan dapat dipahami dengan baik tanpa memperhatikan dimensi yang terdapat di dalam pergaulan hidup bersama.
Nilai dan Norma dalam Medis
            Dua faktor sosial yang dianggap berpengaruh besar terhadap ‘tindakan sosial’ ialah nilai dan norma. Nilai adalah sesuatu yang abstrak mengenai sesuatu yang dipercayai bersama. Nilai dalam keluarga mungkin berupa hak anggota mengenai privasi, rahasia perkawinan, kerja keras atau kasih sayang terhadap anak. Norma, meskipun dalam beberapa hal sukar dibedakan dengan nilai, akan tetapi lebih nyata terlihat pada cara berpikir dan bertindak sebagai pencerminan adanya sejumlah kepercayaan yang diakui bersama. Norma dan nilai sosial jelas dibutuhkan, namun norma dan nilai tersebut dapat diubah oleh orang-orang atau kelompok individu dengan melakukannya secara bersama-sama. Norma dan nilai berkuasa dalam kehidupan manusia oleh karena orang mempercayainya. Karena itu norma dan nilai merupakan unsur pokok dalam pemikiran sosiologi. Bayangkan, seseorang yang menderita kanker, sepanjang kita ketahui telah terjadi perubahan fisiologis yang mungkin disadari atau tidak disadari pasien. Akan tetapi, bila ia harus berbuat sesuatu misalnya meminta pertolongan dokter, maka ia harus mengenal gejala-gejala penyakit yang dinamakan ‘perilaku sakit’ dipengaruhi oleh keyakinan-keyakinannya terhadap gejala-gejala penyakit tersebut dan keyakinan terhadap apa yang harus diperbuat untuk menghadapinya. Di samping itu, ada norma dan nilai yang menyangkut pengertian seseorang tentang sakit, yang menyertai kunjungannya ke dokter. Suatu kunjungan ke dokter merupakan bagian dari tindakan sosial yang harus dipahami hubungannya dengan pengaruh sosial.
            Dari segi pandangan pelakunya, kunjungan ke dokter mempunyai makna yang berbeda-beda. Demikian pula mengenai makna dari gejala-gejala penyakit. Banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa interpretasi terhadap tanda-tanda dan gejala-gejala penyakit berbeda antara masing-masing kelompok, namun dokter menganggapnya sebagai indikator penting dari penyakit.

Aspek Kebudayaan
            Kausalitas penyakit sebagai konsep kebudayaan yang menjadi dasar pengobatan, seringkali merupakan persoalan yang dihadapi oleh petugas-petugas kesehatan di daerah pedesaan. Masih merupakan kepercayaan yang umum bahwa ada penyakit-penyakit yang dianggap disebabkan oleh makhluk-makhluk dan kekuatan gaib, seperti guna-guna (dengan berbagai alasan), gangguan makhluk halus, pelanggaran taboo, hukuman Tuhan  dan sebagainya. Sekalipun pada masyarakat di mana perawatan kesehatan modern sudah tidak asing lagi, kepercayaan terhadap ideologi seperti ini masih dianut. Kenyataan ini merupakan cermin dari pengkategorian penyakit-penyakit yang dapat disembuhkan oleh dokter dan yang hanya dapat disembuhkan oleh dukun. Dalam kenyataannya, penyakit seseorang yang diduga disebabkan oleh sesuatu yang bersifat supranatural tidak hanya dimintakan perawatan kepada dukun tetapi juga kepada dokter atau perawat, atau yang disebut mantra.
            Pada komunitas-komunitas rumpun (tribal communities), kepercayaan terhadap sebab penyakit yang bersifat magi-keagamaan seperti ini mendominasi isi konsep teori penyakit dan praktek penyembuhan, sedangkan pada komunitas-komunitas pedesaan (peasant communities), kepercayaan ini telah berkurang dan tidak menjadi satu-satunya yang dipegang, akibat perkembangan sistem etiologi lain yang bersifat naturalistis.

“PENDEKATAN HOLISTIK YANG TERABAIKAN”

Oleh : dr. Adi Tucunan, M.Kes


(Sesuatu yang kita tolak membuat kita lemah, sehingga
kita menemukan ternyata yang kita tolak adalah
diri kita sendiri _ Robert Frost)
            Pernahkah Anda menonton film berjudul Patch Adam yang dibintangi oleh Robbin Williams? Film ini berdasarkan kisah nyata yang menceritakan bagaimana seorang dokter (Henry Adam) yang kemudian dipanggil Patch Adam berusaha memberikan nuansa baru atau kalau boleh dibilang mendobrak tradisi lama dunia kedokteran yang dianggap terlalu mekanistik, instrumental dan sistematis, sehingga sering menciptakan suasana rumah sakit yang kurang bersahabat bahkan tampak dingin dan kaku. Patch Adam seperti dalam film itu digambarkan memiliki karakter yang jauh berbeda dengan dokter-dokter sejawatnya yang bertampang serius, melalui pendekatan humor yang dipakainya. Kekonyolan yang ditampakkan Adam lewat gaya badutnya sangat membuat pasien merasa diterima dan terhibur. Misinya hanyalah satu yaitu menyembuhkan pasien lewat humor. Dan ini sangat ditentang oleh institusi medis saat itu, sehingga hal ini hampir membahayakan karirnya karena dia hampir dipecat dari sekolah kedokteran atas kehancuran yang dibuatnya terhadap sistim yang berlaku. Saya tidak dapat membayangkan bagaimana kalau ini terjadi pada mahasiswa kedokteran di sini yang menggunakan ini sebagai terapi alternatifnya sekarang, mungkin juga dia akan diperlakukan sama dengan Adam dan malah diusir. Tapi tahukah Anda, bahwa karena kedekatannya dengan pasien dan staf medis lain, Patch berhasil lolos dari jeratan pelanggaran kode etik medis karena mendapat pembelaan dari orang-orang yang mengasihinya, sebagai hasil dari pendekatan yang dia lakukan terhadap mereka?
            Ketika di bangsal anak sewaktu menjalani pendidikan profesi, saya merasa begitu senang karena boleh bersenda gurau dengan anak-anak (bahkan ada yang sekarat karena penyakitnya), saya juga merasa terhibur dengan kehadiran mereka (padahal saat itu begitu tegang kala berhadapan dengan residen bahkan supervisor). Kelucuan mereka membuat saya tersenyum dan semangat, bahkan walau hanya dengan menggelitik mereka dan main kejut-kejutan sudah merasa diri saya nyaman dan melupakan sejenak stress yang melanda akibat situasi rumah sakit yang begitu kaku. Kedengarannya memang klise bagi mahasiswa kedokteran tingkat akhir yang menghabiskan waktunya di klinik. Tapi itu, pengalaman yang dialami sendiri, bagaimana konsep medis konvensional terkadang berlaku kejam bagi pikiran dan jiwa orang-orang yang berada di dalamnya.
            Sebenarnya, apa yang dilakukan oleh Patch Adam adalah sesuai dengan pendekatan holistik, sebuah konsep yang melihat manusia sebagai sebuah kesatuan yang utuh terdiri dari tubuh, jiwa dan roh. Bukan dipilah-pilah sebagai tubuh sendiri atau pikiran sendiri atau roh sendiri. Kenyataan yang nampak di rumah sakit kita, puskesmas, klinik, praktek dokter atau bahkan institusi kesehatan lainnya memperlihatkan betapa praktisi kesehatan lebih cenderung menganggap persoalan hanya berada pada tingkatan sel, jaringan dan organ, bahkan lebih buruk lagi diperlakukan hanya sekedar masalah sains. Sehingga tidaklah mengherankan kalau penanganan medis kita lebih cenderung memberikan terapi pada fisik yang utama dan melupakan apa yang namanya individu pasien sebagai manusia yang utuh terdiri dari tubuh, jiwa dan roh. Mungkin semua orang yang terlibat dalam pemeliharaan kesehatan cepat atau lambat menghadapi fakta bahwa semua terapi medis, terlepas dari kuasa dan popularitasnya bisa membuat frustasi karena berubah-ubah dan terkadang membahayakan. Studi-studi ilmiah yang mendemonstrasikan keefektivan suatu terapi seringkali memberikan hasil-hasil yang bertentangan. Studi-studi tersebut terkadang menunjukkan bahwa suatu terapi yang sebelumnya dianggap membantu ternyata malah membahayakan, dan sebaliknya. Barangkali publik akan dibuat terhenyak, bagaimana ini bisa terjadi? Lalu kepada siapa kami harus percaya? Sedangkan kedokteran sendiri berubah-ubah. Disebutkan pula bahwa kedokteran kurang ilmiah dibandingkan yang selalu kita bayangkan. Artikel New York Times pernah menyatakan dengan jelas bahwa asumsi masyarakat bahwa kedokteran didukung oleh bukti yang tidak dapat ditolak “jauh dari ciri-cirinya sehingga ilmu kedokteran praktis seperti orang pander.” Salah seorang peneliti, Dr. David Eddy dari Jackson Hole Group, memperkirakan bahwa tidak lebih dari 15 persen terapi medis yang berdasarkan pada “bukti ilmiah yang dapat diandalkan.” Bukti, dalam kenyataannya sangat dipengaruhi oleh kultur, bias dan pengalaman personal dan emosi. Ini semua artinya, kita membutuhkan pendekatan holistik untuk dapat mencapai pada taraf kesempurnaan dari penyembuhan suatu penyakit.
Daniel Goleman, dalam bukunya yang sangta provokatif ‘Emotional Intelligence’ menyebutkan bahwa perawatan medis modern terlampau sering kehilangan kecerdasan emosional. Tiadanya kepedulian pada realitas emosi si pasien akan penyakitnya berarti tak menghiraukan bukti-bukti yang semakin menumpuk yang menunjukkan bahwa keadaan emosi dapat memainkan peran yang kadang-kadang amat berarti dalam mengatasi kekwatiran terhadap penyakit dan dalam arah menuju kesembuhan. Menurut Goleman, dalam keadaan stress, kelenjar-kelenjar kita akan memproduksi adrenalin dan kortisol yang dapat meningkatkan tekanan darah, mempercepat pernapasan dan detak jantung, serta melepaskan kadar gula dan lemak dalam tubuh. Beberapa studi menunjukkan bahwa keadaan suasana emosi yang menyentuh seperti cinta dan rasa peduli, bisa menyeimbangkan sistem saraf kita dan merupakan obat yang ampuh untuk mengurangi stress.
            Dunia medis kita sudah lama kehilangan sentuhan pandangan holistik ini sejak diabaikan oleh paradigm dualism ala Descartes, yang menganggap makhluk hidup sebagai sebuah mesin yang dibangun oleh bagian-bagian terpisah. Paradigma ini telah mendominasi sains modern (positivism) yang mengharuskan seorang saintis atau ilmuwan bersikap objektif, bersikap rasional, sehingga tidak memberikan peluang bagi keberadaan fenomena yang tidak bisa diukur, dilihat atau diraba (termasuk faktor emosi dan spiritual). Padahal menurut Bapak Psikologi modern Amerika William james (yang juga seorang dokter), psikologi manusia sebenarnya memiliki lahan untuk diteliti secara objektif. Pandangan Descartes di atas mendapat tantangan serius dari Fritjof Capra, yang mengatakan bahwa paradigma Descartes merupakan sebuah eksperimen yang gagal dalam memberikan solusi terhadap berbagai masalah kehidupan modern. Termasuk dalam dunia kedokteran yang gagal memberlakukan pasien sebagai manusia yang utuh, sehingga banyak penyakit utama seperti kanker dan AIDS masih sulit disembuhkan , karena memang tidak ada obatnya. Akibat dari pandangan Descartes yang kita anut sekarang, maka pengembangan dan penerapan Iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) didekati secara parsial atau terpisah (fragmented), sehingga manusia modern cenderung berpikir fragmented pula.
            Akibat sering mengabaikan pendekatan holistik ini, banyak pasien atau mereka yang berobat ke praktisi medis mengalami kekecewaan, sehingga muncullah ungkapan-ungkapan seperti ‘saya cocok berobat ke dokter A’, tapi tidak cocok dengan dokter B, atau juga keluhan dari pasien bahwa sang dokter hanya bertanya sedikit dan langsung memberikan resep tanpa basa basi, disertai dengan ekspresi yang datar. Pernah ketika sedang berada dalam mobil angkot, saya mendengar pembicaraan seorang sopir yang mengatakan bahwa saudaranya yang berobat ke dokter spesialis yang kedua sembuh setelah minum obat yang tidak terlalu mahal harganya. Padahal ketika dia berobat ke dokter spesialis yang pertama (bergelar professor pula), dia mendapat obat yang harganya mahal tapi tidak sembuh-sembuh. Kejadian seperti ini barangkali pernah Anda alami. Sebuah studi terhadap pasien-pasien yang sedang menunggu diperiksa menemukan bahwa masing-masing pasien rata-rata mempunyai tiga atau empat pertanyaan yang ingin diajukannya kepada dokter yang akan mereka temui. Tetapi, rata-rata hanya satu setengah pertanyaan tersebut yang terjawab dalam ruang praktek dokter. Temuan ini menyingkap kenyataan bahwa ada kebutuhan-kebutuhan emosional pasien yang tidak terpuaskan oleh ilmu kedokteran dewasa ini. Saatnya bagi kita tidak menolak sesuatu di luar apa yang kita pelajari karena keterbatasan sudut pandang kita, padahal banyak hal di luar sana yang memiliki manfaat bagi kesehatan kita termasuk kebutuhan-kebutuhan emosional di atas. Larry Dossey, yang disebut-sebut sebagai pengganti Lewis Thomas sebagai dokter yang paling didengarkan di Amerika mengatakan bahwa seorang dokter yang baik haruslah mengijinkan metode-metode lain bekerja dalam mengobati pasiennya. Sehingga yang menjadi fokus utama perhatiannya adalah individu pasien dan kesembuhannya dan bukan pada cara atau dokter itu sendiri.
            Sebagai institusi dan masyarakat kita sebenarnya merasa prihatin dengan terabaikannya konsep holistik yang sebenarnya sudah ada sejak jaman Hipocrates. Kita tidak bisa mengharapkan tanggungjawab kesehatan kita dilemparkan pada teknologi kedokteran yang rapuh (walaupun itu bermanfaat) dalam penanganan medis sekarang ini. Sekarang saatnya, sebagai masyarakat, pasien dan praktisi medis, kita harus bergandeng tangan untuk menggunakan cara-cara yang lebih manusiawi dalam mengatasi berbagai persoalan kesehatan kita. Karena hanya dengan pemahaman terhadap pendekatan holistik kita dapat melihat buah keberhasilan dari penanganan medis kita. Karena dengan kesehatan yang prima kita dapat menyongsong masa depan kita, keluarga dan bangsa yang lebih cerah sehingga dengan demikian kita bertanggungjawab terhadap seluruh kehidupan ini dan kepada Sang Khalik Pencipta dan Pemberi kesehatan yang seutuhnya.

“Pelajaran Karakter dari Adipura”

Oleh: dr. Adi Tucunan, M.Kes


Jika ada waktu luang atau ingin mencari sesuatu kebutuhan, biasanya daya menuju arah pusat kota (atau orang Manado menyebutnya pasar 45) untuk sekedar melihat-lihat atau membeli sesuatu. Adakalanya dengan jalan-jalan seperti itu bisa mengurangi beban stress dari rutinitas kehidupan sehari-hari, tapi adakalanya membuat pikiran saya stress. Mengapa bisa ada perasaan dualisme seperti itu? Bagaimana tidak selain dapat terpenuhi keinginan saya, tapi di lain pihak situasi sekitar begitu mengganggu suasana hati karena terlihat hal-hal yang kurang menyenangkan. Pikiran jahil saya melintaskan sesuatu untuk diolah sebagai substansi kritikan dalam otak saya (inilah yang saya sebut sebagai belajar langsung dari lingkungan). Dan inilah saya menemukan diri saya berada di tengah-tengah kota yang hiruk-pikuk (karena lalulintas yang padat) dengan pemandangan yang membuat hati saya gerah dan terusik untuk menulis tulisan ini. Sepanjang jalan yang saya lewati, tak pernah terlepas dari pandangan saya bahwa ada begitu banyak sampah yang berserakan, apakah itu ada di jalan-jalan atau di angkutan kota sama saja (yang memang juga patut diakui ada juga yang bebas dari sampah) sering memperlihatkan pemandangan yang mengusik nurani saya. Orang-orang yang mengendarai kendaraan pribadi masih suka seenaknya membuang sampah dari dalam mobilnya ke jalan, padahal kalau dilihat orang-orang tersebut adalah mereka yang memiliki tingkat pendidikan yang  baik dan terpelajar tapi jarang mereka menggunakan kecerdasan ekologis-nya dan sadar bahwa lingkungan itu adalah milik kita bersama. Selokan-selokan di Manado banyak yang dipenuhi dengan sampah dan mereka akan muncul ke jalan-jalan pada saat terjadi hujan lebat dan membanjiri sebagian ruas jalan yang ada di tempat-tempat umum. Ini mungkin yang menjadikan Manado saat ini sudah menjadi rawan atau langganan banjir pada saat hujan lebat datang. Darimana asal muasal sampah itu, bukankah dari masyarakat Manado sendiri yang dengan entengnya suka membuang apa saja ke tempat yang dapat mendatangkan bencana bagi lingkungan? Sungguh memiriskan hati. Betapa tidak, kita diagung-agungkan sebagai kota damai dan dipenuhi orang-orang religius karena banyaknya gedung ibadah bertebaran di kota Manado, tapi memperlihatkan karakter baik saja dengan menjaga lingkungan sekitar-pun kita tidak mampu.
            Sering muncul pertanyaan dari benak saya, bagaimana bisa dengan lingkungan yang seperti keadaan sekarang kita bisa memperoleh Adipura sebagai penghargaan tertinggi bagi kota yang mempunyai tingkat kebersihan yang baik? Kalau saya tidak salah, kita sedang memperjuangkan kembali memperoleh Adipura untuk yang kelima kalinya. Kita memang pantas berbangga bahwa kita mendapat penghargaan Adipura, tapi apakah memang penghargaan itu menjadi bagian dari penghargaan terhadap individu masyarakat kita atau hanya kepada lingkungan saja yang mudah sekali dikamuflasekan, karena jangan-jangan kebanggaan itu hanyalah milik segelintir orang yang mencari pamor dari perolehan Adipura ini. Jika ada yang melihat ini sebagai nilai dari suatu perbuatan yang hargai melalui pemberian penghargaan, maka kita adalah masyarakat atau pemerintah yang suka dininabobokan dengan penghargaan. Saya tidak melihat penghargaan ini sebagai sesuatu yang salah dan mengkritik kebijakan ini sebagai sesuatu yang absurd. Tapi superioritas karakter kita yang senang bermegah-megah dengan penghargaan itulah yang akan menjadi bumerang bagi pemerintah kota dan masyarakat yang terlibat di dalamnya. Bagaimana tidak? Kita sebagai masyarakat diinstruksikan untuk menjaga kebersihan pada saat tim penilai turun lapangan memberikan penilaian, bukan dengan kampanye menjaga kebersihan tiap saat. Pemerintah berusaha keras mengamankan kota dengan semua cara demi sekedar menyenangkan tim penilai (ooopss…maaf) agar kita dianugerahi pahlawan kebersihan dengan Adipura ini. Sebagai masyarakat dan pemerintah yang peduli dengan lingkungan sekitar, bukankah seharusnya kita berusaha menjaga kebersihan mulai dari jiwa kita sendiri sehingga menampakkan perilaku ini tiap saat dan bukan pada saat mempertahankan Adipura?  Kekuatiran saya adalah bahwa kita telah menjadi terbiasa dengan ‘karakter bunglon’ yang berubah-ubah menyesuaikan diri dengan situasi. Nanti kalau ada penghargaan Adipura yang diperebutkan, kita berlomba-lomba menjaga kebersihan, tapi kalau penghargaan itu sudah lewat kita memakai falsafah orang Jakarta yang menyebut dengan istilah egp (emang gue pikirin). Saya masih sering melihat secara langsung bagaimana masyarakat kita masih senang membuang sampah yang habis dipakainya sembarang saja, apakah itu berbentuk plastik, kertas dan masih banyak yang lain. Fasilitas-fasilitas publik khususnya jalan raya masih terlihat di sana sini sampah berserakan. Tentu saja kesadaran masyarakat kita saat ini dipertanyakan apakah mereka benar-benar menjunjung tinggi perilaku baik dengan tidak membuang sampah sembarangan ataukah sudah tidak ada lagi rasa peduli dari masyarakat kita yang seolah-olah apatis dengan persoalan karakter mereka. Begitupula dengan angkutan kota yang begitu kotor dan kurang terawatt, tidak menyediakan tempat sampah bagi penumpang. Dulu memang marak diinstruksikan dan hampir semua angkot punya tempat sampah (itupun dengan sedikit ancaman lewat Perda), tapi coba lihat sekarang hampir tidak ada lagi angkot yang menyediakan tempat sampah. Karena bagi para sopir, yang penting adalah pemasukan uang setoran dan bukan pelayanan publik seperti kebersihan yang diprioritaskan. Ketidak-konsistenan pemerintah menjalankan amanah undang-undang lewat Perda yang mereka buat sendiri dengan tidak melakukan pengawasan yang baik terhadap implementasi Perda yang ada, diperparah dengan sifat cuek-nya masyarakat terus mendorong terciptanya karakter masyarakat yang tumpul. Kita tidak bisa membangun peradaban yang lebih tinggi dengan karakter seperti ini.
            Memang, dalam tulisan ini saya hanya mengambil contoh kecil dari kehidupan bermasyarakat kita seperti masalah di atas, berkaitan dengan karakter masyarakat kita tapi sebenarnya masih banyak hal yang patut kita renungkan bersama atas kegagalan kita menjadi individu dan masyarakat yang bertanggungjawab. Tap pernahkah terlintas dalam benak kita bahwa jika kita menganggap ini sebagai sesuatu yang sepele, ini bisa merendahkan martabat kita? Sebagai suatu bangsa kita tidak dapat menuju ke arah perkembangan yang lebih baik atau membangun bangsa tanpa kita memikirkan hal-hal yang kecil seperti ini. Adalah suatu kemustahilan bila kita ingin menuju keluarga, masyarakat dan bangsa yang maju dan beradab kalau hal sekecil dan sepele membuang sampah saja kita tidak bisa mendidik diri kita sendiri. Bagaimana Anda bisa membangun kota tanpa mempelajari rancang bangun dan semua konsekuensinya, jangan-jangan gedungnya berdiri tapi dalam beberapa tahun akan runtuh karena ketidakcakapan kita mengelola ‘building character’. Menurut Aristoteles, sebuah masyarakat yang budayanya tidak memperhatikan pentingnya mendidik good habits (kebiasaan berbuat baik), akan menjadi masyarakat yang terbiasa dengan kebiasaan buruk. Mengapa negara Asia lainnya seperti Korea, Jepang dan negara tetangga kita Singapura menjadi negara-negara maju di Asia dan bahkan dunia? Itu karena mereka peduli dengan karakter masyarakatnya yang mementingkan hal-hal yang fundamental seperti perilaku yang baik yang diterapkan pada lingkungan sekitarnya. Kalau Anda pernah tahu, ada suatu cerita mengenai masyarakat Korea Selatan yang habis merayakan kemenangan Timnas sepak bola waktu Piala Dunia lalu, kira-kira ada jutaan orang yang turun ke jalan waktu itu dan tidak pern ah sekalipun ada sepotong kertas atau plastik yang tergeletak di jalan-jalan dan demikian halnya tidak ada satu pun fasilitas publik yang mengalami kerusakan karena tidak sengaja ditabrak, apalagi sengaja dirusak. Bagaimana mungkin ini terjadi? Jawabannya adalah kebiasaan baik (good habits) seperti yang dikatakan Aristoteles di atas. Di kota kita Manado yang tercinta ini, saya banyak melihat sehabis kegiatan di mana saja baik itu di gedung-gedung elit, perkantoran, kampus, tempat ibadah, setelah kegiatan berakhir (apalagi saat ini banyak diadakan perayaan menyambut Natal) begitu banyak sampah yang berserakan dan dibiarkan begitu saja tidak langsung dibersihkan. Ini sangat menyedihkan kalau kita kembali mengingat ajaran-ajaran kebaikan yang ditanamkan kepada kita lewat berbagai nilai-nilai yang baik dalam keluarga dan pendidikan, yang tidak bisa kita jalankan karena keegoisan diri kita yang tidak mau peduli dengan good habits.
            Sebuah bangsa adalah kumpulan dari individu-individu dan kemaslahatan sebuah bangsa amat ditentukan oleh pikiran dan tindakan para individunya, yang tentunya akan membuat sebuah pola budaya atau kebiasaan masyarakat. James Dale Davidson mengatakan “all strong societies have a strong moral basis”. Karena menurutnya, semua bangsa yang maju sebagian besar disebabkan oleh karakter individunya yang mandiri, pekerja keras, mempunyai tanggungjawab keluarga dan sosial, jujur dan hemat. Karakter inilah yang disosialisasikan melalui pendidikan dalam keluarga, sekolah dan agama. Masalahnya adalah kita belum mempunyai komitmen membangun karakter pada tingkat individu yang memerlukan perubahan cara berpikir, pola pengasuhan, tindakan dan sistem pendidikan di sekolah. Hal ini belum menjadi perhatian khusus dari banyak pemikir dan pemimpin kita. Mereka belum bisa melihat bahwa semua permasalahan bangsa ini sebenarnya berakar dari permasalahan moral individu. Marvin Berkowitz mengatakan bahwa kebanyakan pendidikan moral yang diajarkan di sekolah-sekolah tidak pernah memperhatikan bagaimana pendidikan itu dapat berdampak terhadap perubahan perilaku. Saya masih ingat dulu waktu sekolah dasar hingga sekolah menengah begitu menguasai isi pelajaran PMP (pendidikan moral pancasila) dengan tingkat hafalan yang luar biasa, tapi arahnya sudah dapat ditebak yaitu para murid tidak banyak mendapat manfaat nyata pada perbuatan mereka karena tidak pernah diberi teladan melakukannya, tapi hanya menjadi bagian dari penguasaan kognitif saja. Pendidikan karakter memerlukan keterlibatan semua aspek dimensi manusia, sehingga tidak cocok dengan sistem pendidikan yang terlalu menekankan hafalan dan orientasi untuk lulus ujian. Dengan apa yang saya amati pada kehidupan bermasyarakatt kita (seperti pengalaman di atas) yang tidak terlalu peduli dengan lingkungan sekitar kita, maka saya menyangsikan piala Adipura yang kita peroleh benar-benar adalah jerih payah semua komponen kota Manado. Menurut hemat saya, belum saatnya kita memperoleh penghargaan itu jika strategi dan agenda yang kita kerjakan hanya bersifat propaganda dari suatu conflict of interest dan bersifat jangka pendek. Saya tidak anti Adipura tapi saya ingin menunjukkan kepada kita sebagai masyarakat kota bagaimana proses itu seharusnya berlangsung dipimpin oleh karakter masyarakat yang kuat, bukan instan dan dilakukan karena kita ingin dihargai. Ini hanyalah bagian dari strategi jangka pendek yang menurut hemat saya tidak mendidik masyarakat kita.  Saya menyarankan kita mendidik generasi muda kita mulai dari tingkat pendidikan paling dini, dimulai dari keluarga sampai pada strata pendidikan tinggi. Bagaimana kita mendidik anak-anak kita, kita saja mendidik diri kita sendiri sebagai orang tua tidak bisa karena masih suka membuang sampah seenaknya? Saya masih sangat optimis kita masih memiliki character of change karena memang itu sudah ada sebagai anugrah Tuhan bagi kita. Hanya bagaimana caranya sekarang, kita menyingkapkan hal itu menjadi bagian dari jiwa kita dan pada saatnya akan mengeluarkan good habits dan pada akhirnya seluruh kehidupan kita dapat merasakan dampak yang baik dari itu semua. Selamat berjuang membangun karakter kita! Sehingga suatu saat, saya akan mengatakan bahwa saya bangga dengan piala Adipura itu.