Oleh dr. Adi Tucunan, M.Kes
Seorang pasien yang baru keluar dari tempat praktek dokter mengeluh karena dia hanya diladeni dengan kertas resep tanpa sepata katapun dari dokter yang memeriksanya dan selanjutnya dia harus membayar ratusan ribu yang harus dia tebus atas sikap dingin dan obat yang diresepkan tersebut. Selalu ada saja hal seperti ini yang terjadi dalam dunia medis kita, dimana pasien hanya diperlakukan sebagai objek mata pencaharian bagi ‘sang dokter’. Kasus di atas hanyalah salah satu dari sebagian besar kasus yang menjadi komplain terhadap dunia medis kita saat ini. Dan yang menyedihkan, pada kunjungan pertama pasien diharuskan datang sampai beberapa kali untuk mendapat terapi lanjut sehingga harus mengeluarkan banyak ongkos untuk pengobatannya, tanpa memikirkan latar belakang ekonomi sang pasien dan keluarga. Ironis memang, dengan bersembunyi di balik alasan ilmiah sang dokter yang harus mengobservasi pasien sebagai bentuk terapi lanjutan, tapi kita bisa menduga cara-cara seperti ini hanyalah upaya untuk memberatkan beban pasien dan keluarga.
Sudah bukan rahasia umum lagi, kalau seorang dokter menjalankan profesinya demi profit ekonomi yang lebih baik. Hal ini sangat bertolak belakang dengan nilai-nilau luhur dari profesi dokter yang didengung-dengungkan oleh Bapak Kedokteran Hipocrates sejak mula-mula ilmu kedokteran berkembang. Memang sebagai seorang professional, dokter dibayar untuk jasa-jasanya. Tapi yang menjadi persoalan di sini ialah kalau dalam menjalankan profesi ini, itikad dan nilai luhur dari profesi itu telah dibalikkan 180 derajat menjadi nilai ekonomis semata, sehingga muncullah cara berpikir dari para praktisi medis ini yang menganggap bahwa dunianya hanyalah berkisar pada masalah sakit penyakit dan finansial yang lebih baik semata. Inilah alasan mengapa dunia medis kita saat ini tengah disorot tajam oleh publik, yang di satu sisi marah atas ketidakramahan kita dan di sisi lain pasrah dengan ketidakberdayaannya, yang setiap saat siap dirugikan oleh konsep dan paradigma yang keliru seperti ini. Sungguh miris memang, melihat banyaknya tuntutan malpraktik yang dilakukan oleh pasien maupun keluarga terhadap dokter maupun institusi medis lainnya. Alasannya sederhana saja mengapa ada tuntutan seperti ini pada orang-orang yang sebenarnya membantu kesehatan mereka, yaitu karena di sana sudah tidak ada lagi rasa hormat yang luhur pada nilai-nilai kemanusiaan. Pandangan kita dibuat berkabut dengan kemilaunya ‘harta dunia’ dan ‘arogansi ilmiah’ yang tidak tanggung-tanggung bertindak bak ‘dewa penyelamat’ yang sebenarnya kalau ditinjau dari konsep penyembuhan secara utuh dan paradigma sehat menurut public health, mereka adalah para praktisi yang gagal.
Pernah suatu ketika saya menggantikan praktek dokter dari teman saya dan mendapat seorang pasien yang ternyata adalah pegawai dari instansi farmasi, yang katanya dia kenal dengan banyak dokter bahkan dokter spesialis karena selalu berurusan dengan hal-hal yang berbau jasa obat-obatan. Hanya dengan sedikit komunikasi dengannya yang mungkin juga di dalamnya tidak ada kaitannya dengan keluhan yang dia sampaikan, kami bercerita singkat tentang beberapa hal dalam dunia medis, secara khusus hal-hal yang agak tidak sejalan dengan cara berpikir dan bekerja para praktisi medis konvensional saat ini. Setelah selesai basa-basi komunikasi medisnya, yang mungkin bagi dokter lain akan dianggap pembicaraan ini sebagai sesuatu yang konyol, dia pamit pulang dan di depan pintu sebelum dia berlalu dari hadapan saya, dia mengatakan sesuatu yang menurut saya mungkin ini menjadi sesuatu yang langka dalam dunia medis kita. Dia mengatakan kepada saya, seandainya ada 10 orang (tanpa melebih-lebihkan) dokter yang berpikir seperti saya, maka menurutnya pasti Menteri Kesehatan senang. Ini bukanlah kesombongan yang harus saya tunjukkan, tapi ada satu hal yang membuat saya berpikir mengapa pasien ini mengatakan seperti itu. Padahal menurut saya, apa yang saya lakukan terhadapnya hanyalah komunikasi biasa saja, bertukar pikiran dengan sang pasien, tapi itu dianggap sebagai sesuatu yang nampaknya ‘mahal’. Saya berpikir dan bertanya-tanya apakah memang di luar sana telah banyak terjadi erosi yang semakin dalam dari cara kita sebagai praktisi medis berpikir dan bertindak dalam konsep-konsep nilai luhur kita, sehingga memperlakukan sang pasien pun kita tidak mampu.
Sebagai dokter memang kita tidak diajarkan bagaimana cara mengasihi pasien kita karena sebagian besar di sekolah kedokteran, kita hanya diajarkan patologi penyakit dan bagaimana cara menangani penyakit itu, bukan bagaimana cara menangani orang yang mengalami penyakit itu. Itulah masalahnya, mengapa kita terus mengalami degradasi yang semakin dalam, karena model yang kita kembangkan dalam praktek-praktek kita terlalu bersifat ilmiah, mekanis dan kaku pada penerapannya. Sedangkan kalau mau jujur, kita berhadapan dengan orang-orang hidup dan bukan penyakitnya. Sehingga seharusnya yang terngiang-ngiang dan menjadi jelas bagi kita adalah apa yang disampaikan oleh Hipocrates sebagai Bapak Kedokteran yaitu “saya lebih suka mengetahui orang macam apa yang menderita penyakit tersebut, daripada mengetahui jenis penyakit apa yang diderita orang tersebut”. Dan pada akhirnya, kertas resep yang kita tulis akan mempunyai makna yang mendalam lebih daripada hanya sekedar goresan ilmiah. Semoga!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar