Profesor Howard Gardner, seorang jenius dari Harvard University yang dikenal juga sebagai Bapak Kecerdasan Majemuk pernah suatu saat mengemukakan dalam bukunya "Five Minds for the Future" bahwa orang yang terlalu mendewa-dewakan sains dan teknologi sama seperti burung onta yang menyembunyikan kepalanya di padang pasir yang mengira dirinya aman dari bahaya karena sudah menyembunyikan kepalanya, padahal badannya masih kelihatan.
Menurut Gardner, sains dan teknologi tidak mempunyai sistim nilai, karenanya dia sangat berbahaya jika tidak diseimbangkan dengan nilai-nilai dalam ranah sosial sebagai filter untuk mengakomodir respons positif dari sains yang tanpa nilai itu.
Para pelajar yang terus belajar siang dan malam dengan mengandalkan kekuatan Intelligence Quotient tanpa diperkuat dengan kapasitas moral dan tindakan kongkrit yang beretika, akan kalah dalam pertarungan hidup yang begitu keras, karena dunia tidak bisa dihadapi oleh orang-orang berotak encer tapi oleh mereka-mereka yang berpikiran terbuka dengan kekuatan etika dan moral yang baik. Karena pembelajaran terbaik adalah yang menggunakan Emotional Quotient.
Masalah-masalah yang terjadi di lingkungan sekitar kita sangat banyak berhubungan dengan sistim nilai yang berkembang dalam komunitas dan tatanan budaya masyarakat kita. Tanpa rasa hormat yang memadai terhadap sistim nilai tersebut, dapat dipastikan kita akan terjungkal ke dalam wilayah tanpa makna yang hanya akan merugikan banyak pihak. Seorang dosen, pelajar, birokrat atau individu yang cerdas secara akademik tapi kecerdasan emosionalnya rendah hanya akan menjadi batu sandungan bagi orang-orang sekitarnya. Mereka tidak bisa menangkap suasana hati dan perasaan orang lain yang merasa tertekan dengan pola-pola tindakan mereka dalam melayani. Asumsi yang dibangun selama ini adalah apa yang saya lakukan adalah benar dan secara arogan menolak kebebasan berekspresi orang lain, khususnya mereka yang berada pada posisi inferior. Banyak sekali orang-orang yang sombong secara akademis dan tindakannya, tanpa menyadari bahwa kekeliruannya itu dilihat oleh banyak pihak, sehingga reputasi yang sebelumnya dia peroleh sebagai orang terhormat, akan jatuh dengan sendirinya karena arogansi ilmiah dan benteng kesombongan yang dia bangun di sekelilingnya.
Orang-orang yang terlalu berambisi mendapatkan kekuasaan dalam bidang manapun dan status apa pun seringkali terperangkap dalam superioritas ego-nya. Orang-orang seperti ini cerdas secara akademis dan sangat menonjol dalam lingkungannya, tapi semuanya itu hanyalah upaya untuk membangun hegemoni kekuasaan diri yang akan menghalangi orang lain untuk mengembangkan dirinya karena dia merasa inferior ketika melihat ada orang yang lebih superior darinya.
Solusi mengatasi egosentrisme seperti ini adalah memiliki pikiran terbuka, menganggap dirinya tidak lebih daripada orang lain dan dengan rendah hati menganggap di atas langit masih ada langit.
Senin, 21 Maret 2011
Jumat, 18 Maret 2011
Hambatan Mental dalam Dunia Pendidikan
diringkas dari tulisan karya Bertrand Russel dkk
(penulis: Morton Hunt)
Pendidikan dapat menjadi sumber hambatan mental, terutama jika para siswa/mahasiswa diajar untuk menyelesaikan setiap masalah dengan gaya penyelesaian buku panduan yang kaku. Hal ini terjadi bukan hanya pada pembelajaran formal namun juga dalam belajar kita tentang urusan sehari-hari.
Seorang Profesor dari Swarthmore pernah meminta mahasiswa-mahasiswanya di fakultas psikologi untuk mengambil sebuah bola pingpong dari dasar sebuah pipa berkarat yang tegak lurus. Di ruangan itu terdapat palu, beberapa tang, penggaris, penghisap soda, peniti dan satu ember air kotor. Mahasiswa-mahasiswa itu memulainya dengan mengail bola tersebut dengan berbagai benda dan gagal, namun akhirnya kurang lebih setengah dari mereka tahu bahwa penyelesaiannya adalah dengan cara menumpahkan air kotor ke dalam silinder tersebut dan mengapungkan bola itu ke atas.
Setelah itu, sang Profesor mengulangi percobaannya terhadap beberapa mahasiswa lain, namun dengan satu pertbedaan, ia mengganti satu ember air kotor tersebut dengan satu teko air es, yang diletakkan di atas alas meja yang kering dan dikelilingi gelas-gelas yang mengkilat. Tak satu mahasiswa pun yang mampu mengatasi masalah tersebut. Mengapa? Karena mereka paham bahwa air dingin dalam teko tersebut adalah untuk minum, bukan untuk dituangkan ke dalam pipa karat untuk mengatasi masalah.
Jelas, jawabannya bukan untuk menghindari pendidikan, namun untuk menghindari pendidikan yang kaku dan sempit. Jika para guru/dosen dan orang tua mendoktrin seorang anak bahwa ada cara yang salah dan yang benar dalam melakukan segala sesuatu, anak tersebut cenderung akan menjadi kaku dalam cara berpikirnya. Jika mereka mendorongnya untuk menyelesaikan segala sesuatu sekehendak dirinya, secara alamiah cara berpikirnya akan menjadi lebih fleksibel. Ketika ia tumbuh dewasa dan mencoba mendesain mobil agar lebih baik, atau menyelesaikan suatu perselisihan, ia tidak akan terbatas hanya pada pendekatan-pendekatan yang telah ia miliki.
Salah satu metode paling sukses dalam mengatasi hambatan mental adalah teknik konferensi yang disebut "brainstorming". Aturannya yaitu: 1) apapun boleh, 2) semakin aneh suatu gagasan semakin baik, dan 3) tak seorang pun mengkritik suatu gagasan.
Sebab lain hambatan emosional adalah tekanan. Hampir mahasiswa manapun dapat mengatakan kepada Anda bagaimana fakta-fakta yang telah dikuasai hilang dari ingatannya di bawah tekanan menghadapi sebuah ujian akhir. Kita sering menyangka bahwa di bawah rangsangan yang kuat atau sebuah kompetisi, orang menghasilkan yang terbaik. Itu mungkin benar dalam lomba lari, namun saat Anda sedang mencari ide-ide baru atau sedang memecahkan suatu masalah yang rumit, tekanan yang terus meningkat cenderung lebih menyebabkan adanya hambatan mental.
Selasa, 15 Maret 2011
‘TEORI KONSPIRASI’ DALAM INDUSTRI MEDIS
Seorang pasien Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) yang datang untuk melakukan perawatan atas penyakit yang dialaminya memperoleh perlakuan yang kurang mengenakkan saat masuk rumah sakit. Dia diperlakukan sebagai warga kelas dua dalam birokrasi rumah sakit dalam pengurusan berkas-berkas yang ada dan membutuhkan waktu yang sangat lama. Sebaliknya seorang Ibu yang berpakaian rapih dan nampaknya orang berduit mendapat perlakuan yang ramah dan proses pengurusan berkasnya sangat cepat.
Ada juga kasus dimana seorang pasien Jamkesmas yang mendapat perawatan medis harus dibebankan untuk menebus resep yang disodorkan oleh seorang dokter ahli untuk mengambil obat di apotik, yang notabene pasien tersebut mengalami kesulitan membayar resep tersebut karena tidak punya uang, padahal Menteri Kesehatan sudah menginstruksikan agar rumah sakit-rumah sakit wajib menggunakan obat generik untuk dikonsumsi oleh pasien dan biayanya terjangkau bahkan gratis.
Kasus lain lagi yang saya baca, seorang pasien miskin harus diusir oleh salah satu Rumah Sakit rujukan terkenal di Indonesia karena tidak mampu memenuhi syarat administratif, yang mengakibatkan puluhan anggota keluarga dan orang-orang yang bersimpati dengannya harus melakukan demonstrasi di kantor Kementerian Kesehatan dan membentuk Forum Pengawasan masyarakat terhadap Rumah Sakit.
Kasus-kasus di atas adalah fakta kongkrit yang kita hadapi yang merepresentasikan sebagian besar kasus yang mengemuka di depan publik akan fenomena yang terjadi dalam dunia medis kita. Persoalan-persoalan di atas adalah kisruh dari betapa rapuhnya penanganan masalah-masalah medis yang terkadang tidak berhubungan dengan persoalan teknis pelayanan, tapi lebih pada persoalan sosiologis antropologis yang sulit dipahami oleh sebagian besar praktisi medis kita, sehingga menghasilkan jangkauan mutu pelayanan kesehatan yang dari waktu ke waktu terus mendapat sorotan publik dan penilaian yang buruk.
Tidak dapat dipungkiri ada persoalan besar yang tengah mengancam keutuhan dan integritas dunia medis kita, karena terlalu sering kita diperhadapkan dengan banyaknya kompleksitas yang tidak mampu dibendung dari waktu ke waktu, sehingga belum teratasi masalah yang satu kini muncul masalah baru lagi. Integritas kita perlahan-lahan mulai memudar karena kita sedang diperlihatkan oleh begitu kuatnya pendekatan “teori konspirasi” yang kita anut sekarang dengan mengeluarkan ‘nilai-nilai luhur’ ke luar dari jalur yang sebelumnya dijunjung tinggi, masuk pada hukum pasar yang mendominasi hampir semua lini kesehatan yang kita miliki.
Kecenderungan diarahkannya dunia medis kita pada kepentingan bisnis sangat menakutkan dan mencekam kita sebagai individu, masyarakat dan negara. Hal ini dikarenakan karena industri medis khususnya industri farmasi ke depan nantinya akan mengambil alih posisi terdepan dalam bisnis global di seluruh dunia, menguasai pangsa pasar baik di negara dengan tingkat kesehatan yang tinggi maupun negara-negara dengan tingkat kesehatan yang rendah. Hal ini akan lebih sulit diterima oleh negara-negara dengan pendapatan perkapita yang rendah karena negara-negara tersebut seperti Indonesia tidak mampu membiayai kesehatan masyarakatnya karena terlalu didominasi oleh industri-industri besar yang memiliki kapital yang besar pula. Kita nampaknya didesain secara sistematis oleh korporat-korporat besar untuk mengalami ketergantungan yang sangat besar terhadap industri ini, sehingga dampaknya sudah kita ketahui yaitu banyaknya komplikasi penyakit yang muncul sebagai akibat dari efek samping industri-industri ini. Majalah Lancet sebagai majalah ternama kedokteran di Inggris suatu ketika pernah memuat dalam jurnalnya mengenai situasi ini. Artikel yang dimuat menyebutkan bahwa keracunan obat terbesar di dunia, bukan karena narkoba-narkoba yang dikonsumsi di pinggir-pinggir jalan tapi lebih disebabkan karena obat dari para dokter yang diresepkan secara legal dan berdasarkan pertimbangan medis.
Hal yang sulit dipahami dari dunia medis adalah mereka mengetahui bahaya dari efek samping terapi konvensional produk farmasi, tapi pertimbangan medis terkadang dikalahkan oleh ‘teori konspirasi’ yang mengharuskan para dokter dan kolega-koleganya menerima klausul yang disodorkan oleh industri farmasi untuk “melariskan” produknya, demi profit dan kemewahan yang ditawarkan oleh industri tersebut sehingga mengenyampingkan publik sebagai konsumen. Pertimbangan hukum pasar ini kian mendominasi cara berpikir para praktisi medis kita saat ini, sehingga tanpa disengaja kita memperlakukan pasien atau publik penerima layanan medis sebagai objek ‘perahan’ untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Para dokter mendapat keuntungan dengan layanan VIP yang disiapkan perusahaan ke luar negeri sebagai bonus. Akibat dari ini semua, kita sering mendistorsi tujuan utama pelayanan kita yaitu nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri yang menjadi fokus utama dunia medis. Kita diperlihatkan secara gamblang betapa jangkauan pelayanan kita perlu diredefinisikan untuk mengembalikannya pada tempat terhormat sebagaimana layaknya.
Semua perilaku praktisi medis kita yang lebih mendahulukan ‘conflict of interest’ dengan tidak mempertimbangkan kesehatan publik di atas segala-galanya, seharusnya mampu dieliminir agar tidak mereduksi sistem nilai yang telah mengakar kuat di tengah komunitas medis dan masyarakat sejak dulu, sehingga kita seharusnya tidak terlibat lebih jauh dalam ‘teori konspirasi’ yang bisa menciderai sistem kesehatan kita yang berparadigma sehat dan mengutamakan pola-pola preventif bukannya kuratif. Semoga.
Senin, 14 Maret 2011
PENDEKATAN SOSIOBUDAYA DALAM DUNIA KESEHATAN
Oleh : dr. Adi Tucunan, M.Kes
Gangguan kesehatan merupakan kenyataan konsekuensi perilaku yang berwujud tindakan yang disadari (diketahui) atau tidak disadari (tidak diketahui) merugikan kesehatan atau menurunkan derajat kesehatan si pelaku sendiri atau orang-orang lain atau suatu kelompok. Gangguan kesehatan yang dimaksud di sini tidak hanya terbatas pada kategori penyakit fisik dan mental secara individual dan kelompok tetapi juga kategori kesejahteraan sosial. Berbeda dari rumusan WHO (Badan Kesehatan Dunia) mengenai konsep sehat (“a state of complete physical, mental and social wellbeing, and not merely the absence of disease and infirmity) yang utopis, statis dan mutlak menurut ukuran-ukuran yang dianggap universal, di sini konsep sehat merupakan kondisi individu dan kelompok sosial yang bersifat dinamis, selalu dalam keadaan berubah.
Sifat berubah-ubah ini tidak hanya dapat diamati dan dirasakan dalam suatu masa tertentu yang relatif panjang, seperti masa anak balita atau masa usia lanjut, tetapi juga dalam periode singkat seperti sehari atau seminggu. Kondisi ini menunjukkan adanya kenyataan-kenyataan keragaman atau perbedaan, serta secara budaya kondisi sehat atau sakit tertentu bagi suatu kelompok sosial tidak selalu dianggap demikian oleh kelompok sosial lainnya. Bahkan, di kalangan anggota suatu kelompok sosial, seperti suatu komunitas desa, dapat dijumpai keragaman yang dimaksud. Pandangan tersebut menekankan pada gagasan bahwa tingkat kesehatan dalam waktu tertentu dapat berubah dari suatu titik kondisi ke titik yang lain, dan bahwa kuantitas dan kualitas kesehatan turut berubah mengikuti perubahan pada tingkat ini.
Masalah-masalah Perilaku Kesehatan
Perilaku merupakan tindakan atau kegiatan yang dilakukan seseorang dan sekelompok orang untuk kepentingan atau pemenuhan kebutuhan tertentu berdasarkan pengetahuan, kepercayaan, nilai dan norma kelompok yang bersangkutan. Sekalipun pada umumnya perilaku terbentuk dalam proses enkulturasi dan sosialisasi, namun tidak jarang seseorang menunjukkan perilaku menyimpang. Hal yang sama berlaku juga dalam segi kehidupan kesehatan. Sehubungan dengan kesenjangan ini (antara perilaku ideal/normatif dengan perilaku menyimpang) ada dua dimensi yang perlu dikemukakan, yaitu kebudayaan kesehatan dalam konteks kebudayaan suatu masyarakat, dan kebudayaan kesehatan formal dalam konteks profesional biomedis atau kedokteran.
Kebudayaan kesehatan masyarakat membentuk, mengatur dan mempengaruhi tindakan atau kegiatan individu-individu suatu kelompok sosial dalam memenuhi berbagai kebutuhan kesehatan baik yang berupa upaya mencegah penyakit maupun menyembuhkan diri dari penyakit. Tentu saja, di samping itu, kita menyadari adanya kenyataan-kenyataan perilaku menyimpang seperti dikemukakan di atas. Masalah utama, sehubungan dengan ini adalah bahwa tidak semua unsur dalam suatu sistem budaya kesehatan (pribumi atau tradisional) cukup ampuh serta dapat memenuhi semua kebutuhan kesehatan masyarakat yang terus meningkat akibat perubahan-perubahan budaya yang terus menerus berlangsung; sedangkan pada pihak lain tidak semua makna unsur-unsur pengetahuan dan praktek sistem biomedis yang diperlukan masyarakat telah sepenuhnya dipahami maupun dilaksanakan oleh sebagian terbesar anggota suatu masyarakat. Tambahan pula, dari segi perawatan dan pelayanan biomedis belum sepenuhnya berhasil memenuhi kebutuhan dan harapan suatu masyarakat karena adanya berbagai masalah keprofesionalan, seperti perilaku medis yang belum sesuai dengan kode etik, pengutamaan kepentingan pribadi dan birokrasi, keterbatasan dana dan tenaga, keterbatasan pemahaman dan komunikasi yang berwawasan budaya.
Konsep Sosiologi dalam Praktek Medis
Beberapa konsep sosiologi yang diuraikan David Tuckett dalam bukunya Introduction to medical Sociology, tampaknya cukup jelas untuk menggambarkan penerapan konsep sosiologi dalam praktek medis. Ia mengemukakan bahwa perspektif sosiologi utama yang dirasakan bermanfaat untuk diterapkan dalam bidang medis ialah apa yang dinamakan dengan konsep ‘struktur’, suatu konsep yang menunjukkan adanya unsur-unsur umum yang terdapat pada setiap situasi atau interaksi.
Dengan membayangkan sikap umum yang biasa terjadi dalam interaksi antara dokter dan pasien maka akan didapat suatu model atau gambaran mengenai segala sesuatu yang terjadi dan dapat dimengerti mengenai apa yang keliru dan bagaimana penyebabnya. Dengan cara yang sama dapat pula dianalisis pekerjaan dokter yang di dalam pendekatan struktur ini dinamakan ‘teori tentang peranan’ (role theory). Meskipun dokter terlibat dalam kegiatan-kegiatan tertentu, mempunyai tujuan tertentu, menghadapi masalah-masalah yang umumnya dialami semua dokter, namun masyarakat memainkan peranan dan perbuatan yang berkaitan dengan peranan dokter tersebut. Dokter yang bertindak di luar peranan yang sesungguhnya bukan berarti bahwa ia bukan dokter sejati. Dari segi sosiologi setiap individu memainkan peranan di dalam semua situasi sosial. Hal ini mengingatkan kita pada sifat-sifat umum dari peranan seorang dokter, pasien, istri, anak dan sebagainya. Dengan membayangkan sifat-sifat umum dari peranan tersebut, dan dengan mengenyampingkan sifat-sifat perseorangan, akan dapat digambarkan dengan jelas mengenai apa yang sedang terjadi sehingga kita dapat mengerti dan memahaminya.
Salah satu contoh, dengan memperhatikan sifat umum dari peranan dokter atau peranan pasien tampak betapa di dalam situasi yang sama terdapat perbedaan-perbedaan di mata para pelaku yang ikut berperan di dalamnya. Seorang dokter mungkin menyesalkan pasiennya diperiksa oleh mahasiswa walaupun memang hal itu diperlukan. Sebaliknya bagi pasien, pemeriksaan oleh mahasiswa mungkin dianggap tidak meyakinkan. Sama halnya, bila diperhatikan sifat-sifat umum dari peranan antara konsultan atau dokter spesialis di rumah sakit dengan direktur rumah sakit, antara spesialis dengan dokter umum, antara dokter dengan mahasiswa, semuanya mengingatkan kita bahwa perbedaan peranan tersebut menghasilkan perspektif yang berbeda pula di mata para pelaku. Seringkali perilaku seseorang mengesankan di mata yang satu tetapi tidak berarti bagi yang lainnya. Sebagai contoh, banyak spesialis di rumah sakit melihat peraturan-peraturan rumah sakit sebagai suatu hambatan yang tidak dapat ditoleransi karena mengurangi kebebasan mereka melakukan sesuatu.
Dalam praktek medis, interaksi yang terjadi antara dokter dan pasien, pasien dan perawat, perawat dan dokter, perawat dengan dokter, dokter dan pekerja sosial, semuanya itu merupakan ‘tindakan sosial’. Konsultasi antara dokter dengan pasien, bangsal, pertemuan dengan pengurus rumah sakit, kuliah-kuliah, semuanya adalah situasi sosial. Interaksi dan situasi sosial tersebut tidak akan dapat dipahami dengan baik tanpa memperhatikan dimensi yang terdapat di dalam pergaulan hidup bersama.
Nilai dan Norma dalam Medis
Dua faktor sosial yang dianggap berpengaruh besar terhadap ‘tindakan sosial’ ialah nilai dan norma. Nilai adalah sesuatu yang abstrak mengenai sesuatu yang dipercayai bersama. Nilai dalam keluarga mungkin berupa hak anggota mengenai privasi, rahasia perkawinan, kerja keras atau kasih sayang terhadap anak. Norma, meskipun dalam beberapa hal sukar dibedakan dengan nilai, akan tetapi lebih nyata terlihat pada cara berpikir dan bertindak sebagai pencerminan adanya sejumlah kepercayaan yang diakui bersama. Norma dan nilai sosial jelas dibutuhkan, namun norma dan nilai tersebut dapat diubah oleh orang-orang atau kelompok individu dengan melakukannya secara bersama-sama. Norma dan nilai berkuasa dalam kehidupan manusia oleh karena orang mempercayainya. Karena itu norma dan nilai merupakan unsur pokok dalam pemikiran sosiologi. Bayangkan, seseorang yang menderita kanker, sepanjang kita ketahui telah terjadi perubahan fisiologis yang mungkin disadari atau tidak disadari pasien. Akan tetapi, bila ia harus berbuat sesuatu misalnya meminta pertolongan dokter, maka ia harus mengenal gejala-gejala penyakit yang dinamakan ‘perilaku sakit’ dipengaruhi oleh keyakinan-keyakinannya terhadap gejala-gejala penyakit tersebut dan keyakinan terhadap apa yang harus diperbuat untuk menghadapinya. Di samping itu, ada norma dan nilai yang menyangkut pengertian seseorang tentang sakit, yang menyertai kunjungannya ke dokter. Suatu kunjungan ke dokter merupakan bagian dari tindakan sosial yang harus dipahami hubungannya dengan pengaruh sosial.
Dari segi pandangan pelakunya, kunjungan ke dokter mempunyai makna yang berbeda-beda. Demikian pula mengenai makna dari gejala-gejala penyakit. Banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa interpretasi terhadap tanda-tanda dan gejala-gejala penyakit berbeda antara masing-masing kelompok, namun dokter menganggapnya sebagai indikator penting dari penyakit.
Aspek Kebudayaan
Kausalitas penyakit sebagai konsep kebudayaan yang menjadi dasar pengobatan, seringkali merupakan persoalan yang dihadapi oleh petugas-petugas kesehatan di daerah pedesaan. Masih merupakan kepercayaan yang umum bahwa ada penyakit-penyakit yang dianggap disebabkan oleh makhluk-makhluk dan kekuatan gaib, seperti guna-guna (dengan berbagai alasan), gangguan makhluk halus, pelanggaran taboo, hukuman Tuhan dan sebagainya. Sekalipun pada masyarakat di mana perawatan kesehatan modern sudah tidak asing lagi, kepercayaan terhadap ideologi seperti ini masih dianut. Kenyataan ini merupakan cermin dari pengkategorian penyakit-penyakit yang dapat disembuhkan oleh dokter dan yang hanya dapat disembuhkan oleh dukun. Dalam kenyataannya, penyakit seseorang yang diduga disebabkan oleh sesuatu yang bersifat supranatural tidak hanya dimintakan perawatan kepada dukun tetapi juga kepada dokter atau perawat, atau yang disebut mantra.
Pada komunitas-komunitas rumpun (tribal communities), kepercayaan terhadap sebab penyakit yang bersifat magi-keagamaan seperti ini mendominasi isi konsep teori penyakit dan praktek penyembuhan, sedangkan pada komunitas-komunitas pedesaan (peasant communities), kepercayaan ini telah berkurang dan tidak menjadi satu-satunya yang dipegang, akibat perkembangan sistem etiologi lain yang bersifat naturalistis.
“PENDEKATAN HOLISTIK YANG TERABAIKAN”
Oleh : dr. Adi Tucunan, M.Kes
(Sesuatu yang kita tolak membuat kita lemah, sehingga
kita menemukan ternyata yang kita tolak adalah
diri kita sendiri _ Robert Frost)
Pernahkah Anda menonton film berjudul Patch Adam yang dibintangi oleh Robbin Williams? Film ini berdasarkan kisah nyata yang menceritakan bagaimana seorang dokter (Henry Adam) yang kemudian dipanggil Patch Adam berusaha memberikan nuansa baru atau kalau boleh dibilang mendobrak tradisi lama dunia kedokteran yang dianggap terlalu mekanistik, instrumental dan sistematis, sehingga sering menciptakan suasana rumah sakit yang kurang bersahabat bahkan tampak dingin dan kaku. Patch Adam seperti dalam film itu digambarkan memiliki karakter yang jauh berbeda dengan dokter-dokter sejawatnya yang bertampang serius, melalui pendekatan humor yang dipakainya. Kekonyolan yang ditampakkan Adam lewat gaya badutnya sangat membuat pasien merasa diterima dan terhibur. Misinya hanyalah satu yaitu menyembuhkan pasien lewat humor. Dan ini sangat ditentang oleh institusi medis saat itu, sehingga hal ini hampir membahayakan karirnya karena dia hampir dipecat dari sekolah kedokteran atas kehancuran yang dibuatnya terhadap sistim yang berlaku. Saya tidak dapat membayangkan bagaimana kalau ini terjadi pada mahasiswa kedokteran di sini yang menggunakan ini sebagai terapi alternatifnya sekarang, mungkin juga dia akan diperlakukan sama dengan Adam dan malah diusir. Tapi tahukah Anda, bahwa karena kedekatannya dengan pasien dan staf medis lain, Patch berhasil lolos dari jeratan pelanggaran kode etik medis karena mendapat pembelaan dari orang-orang yang mengasihinya, sebagai hasil dari pendekatan yang dia lakukan terhadap mereka?
Ketika di bangsal anak sewaktu menjalani pendidikan profesi, saya merasa begitu senang karena boleh bersenda gurau dengan anak-anak (bahkan ada yang sekarat karena penyakitnya), saya juga merasa terhibur dengan kehadiran mereka (padahal saat itu begitu tegang kala berhadapan dengan residen bahkan supervisor). Kelucuan mereka membuat saya tersenyum dan semangat, bahkan walau hanya dengan menggelitik mereka dan main kejut-kejutan sudah merasa diri saya nyaman dan melupakan sejenak stress yang melanda akibat situasi rumah sakit yang begitu kaku. Kedengarannya memang klise bagi mahasiswa kedokteran tingkat akhir yang menghabiskan waktunya di klinik. Tapi itu, pengalaman yang dialami sendiri, bagaimana konsep medis konvensional terkadang berlaku kejam bagi pikiran dan jiwa orang-orang yang berada di dalamnya.
Sebenarnya, apa yang dilakukan oleh Patch Adam adalah sesuai dengan pendekatan holistik, sebuah konsep yang melihat manusia sebagai sebuah kesatuan yang utuh terdiri dari tubuh, jiwa dan roh. Bukan dipilah-pilah sebagai tubuh sendiri atau pikiran sendiri atau roh sendiri. Kenyataan yang nampak di rumah sakit kita, puskesmas, klinik, praktek dokter atau bahkan institusi kesehatan lainnya memperlihatkan betapa praktisi kesehatan lebih cenderung menganggap persoalan hanya berada pada tingkatan sel, jaringan dan organ, bahkan lebih buruk lagi diperlakukan hanya sekedar masalah sains. Sehingga tidaklah mengherankan kalau penanganan medis kita lebih cenderung memberikan terapi pada fisik yang utama dan melupakan apa yang namanya individu pasien sebagai manusia yang utuh terdiri dari tubuh, jiwa dan roh. Mungkin semua orang yang terlibat dalam pemeliharaan kesehatan cepat atau lambat menghadapi fakta bahwa semua terapi medis, terlepas dari kuasa dan popularitasnya bisa membuat frustasi karena berubah-ubah dan terkadang membahayakan. Studi-studi ilmiah yang mendemonstrasikan keefektivan suatu terapi seringkali memberikan hasil-hasil yang bertentangan. Studi-studi tersebut terkadang menunjukkan bahwa suatu terapi yang sebelumnya dianggap membantu ternyata malah membahayakan, dan sebaliknya. Barangkali publik akan dibuat terhenyak, bagaimana ini bisa terjadi? Lalu kepada siapa kami harus percaya? Sedangkan kedokteran sendiri berubah-ubah. Disebutkan pula bahwa kedokteran kurang ilmiah dibandingkan yang selalu kita bayangkan. Artikel New York Times pernah menyatakan dengan jelas bahwa asumsi masyarakat bahwa kedokteran didukung oleh bukti yang tidak dapat ditolak “jauh dari ciri-cirinya sehingga ilmu kedokteran praktis seperti orang pander.” Salah seorang peneliti, Dr. David Eddy dari Jackson Hole Group, memperkirakan bahwa tidak lebih dari 15 persen terapi medis yang berdasarkan pada “bukti ilmiah yang dapat diandalkan.” Bukti, dalam kenyataannya sangat dipengaruhi oleh kultur, bias dan pengalaman personal dan emosi. Ini semua artinya, kita membutuhkan pendekatan holistik untuk dapat mencapai pada taraf kesempurnaan dari penyembuhan suatu penyakit.
Daniel Goleman, dalam bukunya yang sangta provokatif ‘Emotional Intelligence’ menyebutkan bahwa perawatan medis modern terlampau sering kehilangan kecerdasan emosional. Tiadanya kepedulian pada realitas emosi si pasien akan penyakitnya berarti tak menghiraukan bukti-bukti yang semakin menumpuk yang menunjukkan bahwa keadaan emosi dapat memainkan peran yang kadang-kadang amat berarti dalam mengatasi kekwatiran terhadap penyakit dan dalam arah menuju kesembuhan. Menurut Goleman, dalam keadaan stress, kelenjar-kelenjar kita akan memproduksi adrenalin dan kortisol yang dapat meningkatkan tekanan darah, mempercepat pernapasan dan detak jantung, serta melepaskan kadar gula dan lemak dalam tubuh. Beberapa studi menunjukkan bahwa keadaan suasana emosi yang menyentuh seperti cinta dan rasa peduli, bisa menyeimbangkan sistem saraf kita dan merupakan obat yang ampuh untuk mengurangi stress.
Dunia medis kita sudah lama kehilangan sentuhan pandangan holistik ini sejak diabaikan oleh paradigm dualism ala Descartes, yang menganggap makhluk hidup sebagai sebuah mesin yang dibangun oleh bagian-bagian terpisah. Paradigma ini telah mendominasi sains modern (positivism) yang mengharuskan seorang saintis atau ilmuwan bersikap objektif, bersikap rasional, sehingga tidak memberikan peluang bagi keberadaan fenomena yang tidak bisa diukur, dilihat atau diraba (termasuk faktor emosi dan spiritual). Padahal menurut Bapak Psikologi modern Amerika William james (yang juga seorang dokter), psikologi manusia sebenarnya memiliki lahan untuk diteliti secara objektif. Pandangan Descartes di atas mendapat tantangan serius dari Fritjof Capra, yang mengatakan bahwa paradigma Descartes merupakan sebuah eksperimen yang gagal dalam memberikan solusi terhadap berbagai masalah kehidupan modern. Termasuk dalam dunia kedokteran yang gagal memberlakukan pasien sebagai manusia yang utuh, sehingga banyak penyakit utama seperti kanker dan AIDS masih sulit disembuhkan , karena memang tidak ada obatnya. Akibat dari pandangan Descartes yang kita anut sekarang, maka pengembangan dan penerapan Iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) didekati secara parsial atau terpisah (fragmented), sehingga manusia modern cenderung berpikir fragmented pula.
Akibat sering mengabaikan pendekatan holistik ini, banyak pasien atau mereka yang berobat ke praktisi medis mengalami kekecewaan, sehingga muncullah ungkapan-ungkapan seperti ‘saya cocok berobat ke dokter A’, tapi tidak cocok dengan dokter B, atau juga keluhan dari pasien bahwa sang dokter hanya bertanya sedikit dan langsung memberikan resep tanpa basa basi, disertai dengan ekspresi yang datar. Pernah ketika sedang berada dalam mobil angkot, saya mendengar pembicaraan seorang sopir yang mengatakan bahwa saudaranya yang berobat ke dokter spesialis yang kedua sembuh setelah minum obat yang tidak terlalu mahal harganya. Padahal ketika dia berobat ke dokter spesialis yang pertama (bergelar professor pula), dia mendapat obat yang harganya mahal tapi tidak sembuh-sembuh. Kejadian seperti ini barangkali pernah Anda alami. Sebuah studi terhadap pasien-pasien yang sedang menunggu diperiksa menemukan bahwa masing-masing pasien rata-rata mempunyai tiga atau empat pertanyaan yang ingin diajukannya kepada dokter yang akan mereka temui. Tetapi, rata-rata hanya satu setengah pertanyaan tersebut yang terjawab dalam ruang praktek dokter. Temuan ini menyingkap kenyataan bahwa ada kebutuhan-kebutuhan emosional pasien yang tidak terpuaskan oleh ilmu kedokteran dewasa ini. Saatnya bagi kita tidak menolak sesuatu di luar apa yang kita pelajari karena keterbatasan sudut pandang kita, padahal banyak hal di luar sana yang memiliki manfaat bagi kesehatan kita termasuk kebutuhan-kebutuhan emosional di atas. Larry Dossey, yang disebut-sebut sebagai pengganti Lewis Thomas sebagai dokter yang paling didengarkan di Amerika mengatakan bahwa seorang dokter yang baik haruslah mengijinkan metode-metode lain bekerja dalam mengobati pasiennya. Sehingga yang menjadi fokus utama perhatiannya adalah individu pasien dan kesembuhannya dan bukan pada cara atau dokter itu sendiri.
Sebagai institusi dan masyarakat kita sebenarnya merasa prihatin dengan terabaikannya konsep holistik yang sebenarnya sudah ada sejak jaman Hipocrates. Kita tidak bisa mengharapkan tanggungjawab kesehatan kita dilemparkan pada teknologi kedokteran yang rapuh (walaupun itu bermanfaat) dalam penanganan medis sekarang ini. Sekarang saatnya, sebagai masyarakat, pasien dan praktisi medis, kita harus bergandeng tangan untuk menggunakan cara-cara yang lebih manusiawi dalam mengatasi berbagai persoalan kesehatan kita. Karena hanya dengan pemahaman terhadap pendekatan holistik kita dapat melihat buah keberhasilan dari penanganan medis kita. Karena dengan kesehatan yang prima kita dapat menyongsong masa depan kita, keluarga dan bangsa yang lebih cerah sehingga dengan demikian kita bertanggungjawab terhadap seluruh kehidupan ini dan kepada Sang Khalik Pencipta dan Pemberi kesehatan yang seutuhnya.
“Pelajaran Karakter dari Adipura”
Oleh: dr. Adi Tucunan, M.Kes
Jika ada waktu luang atau ingin mencari sesuatu kebutuhan, biasanya daya menuju arah pusat kota (atau orang Manado menyebutnya pasar 45) untuk sekedar melihat-lihat atau membeli sesuatu. Adakalanya dengan jalan-jalan seperti itu bisa mengurangi beban stress dari rutinitas kehidupan sehari-hari, tapi adakalanya membuat pikiran saya stress. Mengapa bisa ada perasaan dualisme seperti itu? Bagaimana tidak selain dapat terpenuhi keinginan saya, tapi di lain pihak situasi sekitar begitu mengganggu suasana hati karena terlihat hal-hal yang kurang menyenangkan. Pikiran jahil saya melintaskan sesuatu untuk diolah sebagai substansi kritikan dalam otak saya (inilah yang saya sebut sebagai belajar langsung dari lingkungan). Dan inilah saya menemukan diri saya berada di tengah-tengah kota yang hiruk-pikuk (karena lalulintas yang padat) dengan pemandangan yang membuat hati saya gerah dan terusik untuk menulis tulisan ini. Sepanjang jalan yang saya lewati, tak pernah terlepas dari pandangan saya bahwa ada begitu banyak sampah yang berserakan, apakah itu ada di jalan-jalan atau di angkutan kota sama saja (yang memang juga patut diakui ada juga yang bebas dari sampah) sering memperlihatkan pemandangan yang mengusik nurani saya. Orang-orang yang mengendarai kendaraan pribadi masih suka seenaknya membuang sampah dari dalam mobilnya ke jalan, padahal kalau dilihat orang-orang tersebut adalah mereka yang memiliki tingkat pendidikan yang baik dan terpelajar tapi jarang mereka menggunakan kecerdasan ekologis-nya dan sadar bahwa lingkungan itu adalah milik kita bersama. Selokan-selokan di Manado banyak yang dipenuhi dengan sampah dan mereka akan muncul ke jalan-jalan pada saat terjadi hujan lebat dan membanjiri sebagian ruas jalan yang ada di tempat-tempat umum. Ini mungkin yang menjadikan Manado saat ini sudah menjadi rawan atau langganan banjir pada saat hujan lebat datang. Darimana asal muasal sampah itu, bukankah dari masyarakat Manado sendiri yang dengan entengnya suka membuang apa saja ke tempat yang dapat mendatangkan bencana bagi lingkungan? Sungguh memiriskan hati. Betapa tidak, kita diagung-agungkan sebagai kota damai dan dipenuhi orang-orang religius karena banyaknya gedung ibadah bertebaran di kota Manado, tapi memperlihatkan karakter baik saja dengan menjaga lingkungan sekitar-pun kita tidak mampu.
Sering muncul pertanyaan dari benak saya, bagaimana bisa dengan lingkungan yang seperti keadaan sekarang kita bisa memperoleh Adipura sebagai penghargaan tertinggi bagi kota yang mempunyai tingkat kebersihan yang baik? Kalau saya tidak salah, kita sedang memperjuangkan kembali memperoleh Adipura untuk yang kelima kalinya. Kita memang pantas berbangga bahwa kita mendapat penghargaan Adipura, tapi apakah memang penghargaan itu menjadi bagian dari penghargaan terhadap individu masyarakat kita atau hanya kepada lingkungan saja yang mudah sekali dikamuflasekan, karena jangan-jangan kebanggaan itu hanyalah milik segelintir orang yang mencari pamor dari perolehan Adipura ini. Jika ada yang melihat ini sebagai nilai dari suatu perbuatan yang hargai melalui pemberian penghargaan, maka kita adalah masyarakat atau pemerintah yang suka dininabobokan dengan penghargaan. Saya tidak melihat penghargaan ini sebagai sesuatu yang salah dan mengkritik kebijakan ini sebagai sesuatu yang absurd. Tapi superioritas karakter kita yang senang bermegah-megah dengan penghargaan itulah yang akan menjadi bumerang bagi pemerintah kota dan masyarakat yang terlibat di dalamnya. Bagaimana tidak? Kita sebagai masyarakat diinstruksikan untuk menjaga kebersihan pada saat tim penilai turun lapangan memberikan penilaian, bukan dengan kampanye menjaga kebersihan tiap saat. Pemerintah berusaha keras mengamankan kota dengan semua cara demi sekedar menyenangkan tim penilai (ooopss…maaf) agar kita dianugerahi pahlawan kebersihan dengan Adipura ini. Sebagai masyarakat dan pemerintah yang peduli dengan lingkungan sekitar, bukankah seharusnya kita berusaha menjaga kebersihan mulai dari jiwa kita sendiri sehingga menampakkan perilaku ini tiap saat dan bukan pada saat mempertahankan Adipura? Kekuatiran saya adalah bahwa kita telah menjadi terbiasa dengan ‘karakter bunglon’ yang berubah-ubah menyesuaikan diri dengan situasi. Nanti kalau ada penghargaan Adipura yang diperebutkan, kita berlomba-lomba menjaga kebersihan, tapi kalau penghargaan itu sudah lewat kita memakai falsafah orang Jakarta yang menyebut dengan istilah egp (emang gue pikirin). Saya masih sering melihat secara langsung bagaimana masyarakat kita masih senang membuang sampah yang habis dipakainya sembarang saja, apakah itu berbentuk plastik, kertas dan masih banyak yang lain. Fasilitas-fasilitas publik khususnya jalan raya masih terlihat di sana sini sampah berserakan. Tentu saja kesadaran masyarakat kita saat ini dipertanyakan apakah mereka benar-benar menjunjung tinggi perilaku baik dengan tidak membuang sampah sembarangan ataukah sudah tidak ada lagi rasa peduli dari masyarakat kita yang seolah-olah apatis dengan persoalan karakter mereka. Begitupula dengan angkutan kota yang begitu kotor dan kurang terawatt, tidak menyediakan tempat sampah bagi penumpang. Dulu memang marak diinstruksikan dan hampir semua angkot punya tempat sampah (itupun dengan sedikit ancaman lewat Perda), tapi coba lihat sekarang hampir tidak ada lagi angkot yang menyediakan tempat sampah. Karena bagi para sopir, yang penting adalah pemasukan uang setoran dan bukan pelayanan publik seperti kebersihan yang diprioritaskan. Ketidak-konsistenan pemerintah menjalankan amanah undang-undang lewat Perda yang mereka buat sendiri dengan tidak melakukan pengawasan yang baik terhadap implementasi Perda yang ada, diperparah dengan sifat cuek-nya masyarakat terus mendorong terciptanya karakter masyarakat yang tumpul. Kita tidak bisa membangun peradaban yang lebih tinggi dengan karakter seperti ini.
Memang, dalam tulisan ini saya hanya mengambil contoh kecil dari kehidupan bermasyarakat kita seperti masalah di atas, berkaitan dengan karakter masyarakat kita tapi sebenarnya masih banyak hal yang patut kita renungkan bersama atas kegagalan kita menjadi individu dan masyarakat yang bertanggungjawab. Tap pernahkah terlintas dalam benak kita bahwa jika kita menganggap ini sebagai sesuatu yang sepele, ini bisa merendahkan martabat kita? Sebagai suatu bangsa kita tidak dapat menuju ke arah perkembangan yang lebih baik atau membangun bangsa tanpa kita memikirkan hal-hal yang kecil seperti ini. Adalah suatu kemustahilan bila kita ingin menuju keluarga, masyarakat dan bangsa yang maju dan beradab kalau hal sekecil dan sepele membuang sampah saja kita tidak bisa mendidik diri kita sendiri. Bagaimana Anda bisa membangun kota tanpa mempelajari rancang bangun dan semua konsekuensinya, jangan-jangan gedungnya berdiri tapi dalam beberapa tahun akan runtuh karena ketidakcakapan kita mengelola ‘building character’. Menurut Aristoteles, sebuah masyarakat yang budayanya tidak memperhatikan pentingnya mendidik good habits (kebiasaan berbuat baik), akan menjadi masyarakat yang terbiasa dengan kebiasaan buruk. Mengapa negara Asia lainnya seperti Korea, Jepang dan negara tetangga kita Singapura menjadi negara-negara maju di Asia dan bahkan dunia? Itu karena mereka peduli dengan karakter masyarakatnya yang mementingkan hal-hal yang fundamental seperti perilaku yang baik yang diterapkan pada lingkungan sekitarnya. Kalau Anda pernah tahu, ada suatu cerita mengenai masyarakat Korea Selatan yang habis merayakan kemenangan Timnas sepak bola waktu Piala Dunia lalu, kira-kira ada jutaan orang yang turun ke jalan waktu itu dan tidak pern ah sekalipun ada sepotong kertas atau plastik yang tergeletak di jalan-jalan dan demikian halnya tidak ada satu pun fasilitas publik yang mengalami kerusakan karena tidak sengaja ditabrak, apalagi sengaja dirusak. Bagaimana mungkin ini terjadi? Jawabannya adalah kebiasaan baik (good habits) seperti yang dikatakan Aristoteles di atas. Di kota kita Manado yang tercinta ini, saya banyak melihat sehabis kegiatan di mana saja baik itu di gedung-gedung elit, perkantoran, kampus, tempat ibadah, setelah kegiatan berakhir (apalagi saat ini banyak diadakan perayaan menyambut Natal) begitu banyak sampah yang berserakan dan dibiarkan begitu saja tidak langsung dibersihkan. Ini sangat menyedihkan kalau kita kembali mengingat ajaran-ajaran kebaikan yang ditanamkan kepada kita lewat berbagai nilai-nilai yang baik dalam keluarga dan pendidikan, yang tidak bisa kita jalankan karena keegoisan diri kita yang tidak mau peduli dengan good habits.
Sebuah bangsa adalah kumpulan dari individu-individu dan kemaslahatan sebuah bangsa amat ditentukan oleh pikiran dan tindakan para individunya, yang tentunya akan membuat sebuah pola budaya atau kebiasaan masyarakat. James Dale Davidson mengatakan “all strong societies have a strong moral basis”. Karena menurutnya, semua bangsa yang maju sebagian besar disebabkan oleh karakter individunya yang mandiri, pekerja keras, mempunyai tanggungjawab keluarga dan sosial, jujur dan hemat. Karakter inilah yang disosialisasikan melalui pendidikan dalam keluarga, sekolah dan agama. Masalahnya adalah kita belum mempunyai komitmen membangun karakter pada tingkat individu yang memerlukan perubahan cara berpikir, pola pengasuhan, tindakan dan sistem pendidikan di sekolah. Hal ini belum menjadi perhatian khusus dari banyak pemikir dan pemimpin kita. Mereka belum bisa melihat bahwa semua permasalahan bangsa ini sebenarnya berakar dari permasalahan moral individu. Marvin Berkowitz mengatakan bahwa kebanyakan pendidikan moral yang diajarkan di sekolah-sekolah tidak pernah memperhatikan bagaimana pendidikan itu dapat berdampak terhadap perubahan perilaku. Saya masih ingat dulu waktu sekolah dasar hingga sekolah menengah begitu menguasai isi pelajaran PMP (pendidikan moral pancasila) dengan tingkat hafalan yang luar biasa, tapi arahnya sudah dapat ditebak yaitu para murid tidak banyak mendapat manfaat nyata pada perbuatan mereka karena tidak pernah diberi teladan melakukannya, tapi hanya menjadi bagian dari penguasaan kognitif saja. Pendidikan karakter memerlukan keterlibatan semua aspek dimensi manusia, sehingga tidak cocok dengan sistem pendidikan yang terlalu menekankan hafalan dan orientasi untuk lulus ujian. Dengan apa yang saya amati pada kehidupan bermasyarakatt kita (seperti pengalaman di atas) yang tidak terlalu peduli dengan lingkungan sekitar kita, maka saya menyangsikan piala Adipura yang kita peroleh benar-benar adalah jerih payah semua komponen kota Manado. Menurut hemat saya, belum saatnya kita memperoleh penghargaan itu jika strategi dan agenda yang kita kerjakan hanya bersifat propaganda dari suatu conflict of interest dan bersifat jangka pendek. Saya tidak anti Adipura tapi saya ingin menunjukkan kepada kita sebagai masyarakat kota bagaimana proses itu seharusnya berlangsung dipimpin oleh karakter masyarakat yang kuat, bukan instan dan dilakukan karena kita ingin dihargai. Ini hanyalah bagian dari strategi jangka pendek yang menurut hemat saya tidak mendidik masyarakat kita. Saya menyarankan kita mendidik generasi muda kita mulai dari tingkat pendidikan paling dini, dimulai dari keluarga sampai pada strata pendidikan tinggi. Bagaimana kita mendidik anak-anak kita, kita saja mendidik diri kita sendiri sebagai orang tua tidak bisa karena masih suka membuang sampah seenaknya? Saya masih sangat optimis kita masih memiliki character of change karena memang itu sudah ada sebagai anugrah Tuhan bagi kita. Hanya bagaimana caranya sekarang, kita menyingkapkan hal itu menjadi bagian dari jiwa kita dan pada saatnya akan mengeluarkan good habits dan pada akhirnya seluruh kehidupan kita dapat merasakan dampak yang baik dari itu semua. Selamat berjuang membangun karakter kita! Sehingga suatu saat, saya akan mengatakan bahwa saya bangga dengan piala Adipura itu.
BERPIKIR KRITIS DALAM DEMOKRASI
Oleh : dr. Adi Tucunan M.Kes
Sulawei Utara telah selesai merayakan pesta demokrasi bagi seluruh rakyatnya. Berbagai upaya dilakukan oleh setiap komponen masyarakat, pemerintah dan partai politik untuk menyukseskan acara yang selalu melibatkan agenda-agenda besar pada setiap isi kampanye sebagai konsep yang dijanjikan untuk dilakukan, entah itu dengan tujuan menarik dukungan lebih besar, menutupi kegagalan partai politik yang berkuasa atau bahkan menjurus pada penipuan terhadap kerangka berpikir rakyat yang menjurus pada pembentukan opini publik yang kebablasan. Sungguh disayangkan opini publik yang berkembang di masyarakat kita, hanyalah suatu kedangkalan dari berpikir kritis dalam memilih pemimpinnya. Memang, rakyat saat ini bisa dikatakan sudah melek politik karena sudah (katanya) kritis dalam memilih pemimpin mana yang harus dipilih, alias mana yang pantas dan tidak, mana yang mampu atau tidak. Tapi sayangnya, sekali lagi masyarakat sering tertipu oleh pemimpin yang dipilihnya. Janji-janji yang diutarakan saat kampanye jarang direalisasikan, fasilitas-fasilitas publik yang ingin dibangun dalam pernyataan kampanyenya urung dibangun dan masih banyak hal lain seperti itu. Masyarakat masih sering dibuai dengan jargon-jargon politik tanpa menyadari bahwa dalam setiap kesempatan pesta demokrasi terlalu sering ditemukan ketidakcerdasan karakter yang sesungguhnya bisa menipu khalayak ramai. Inikah yang dinamakan melek politik atau kritis dalam perpolitikan kita dewasa ini? Saya ragu, apakah masih cukup banyak masyarakat kita yang peduli dengan kekritisan dalam berpikir dan bertindak. Tidak untuk menimbulkan sikap pesimisme berlebihan, tapi saya mengkuatirkan kita sedang bergerak ke arah sana.
Ekonom politik sekaligus sosiolog William Graham Summer memberikan definisi sebagai berikut terhadap pemikiran kritis: “Pemikiran Kritis adalah pengujian dan terhadap proporsi dari apa pun yang minta diterima, untuk menemukan apakah berhubungan dengan realitas atau tidak. Pemikiran kritis merupakan satu-satunya jaminan melawan delusi, desepsi, takhayul, dan kesalahpahaman atas diri kita dan lingkungan kita.” Kita sekarang telah menjadi sebuah masyarakat yang begitu , sudut pandang yang memberikan kredibilitas instan. Pencarian pengetahuan terdalam masih sulit dilakukan di zaman masyarakat yang memuja materialisme sebagai ideologi baru mereka. Pencarian pengetahuan ini bukan hanya demi kepentingan pengetahuan itu sendiri, tetapi juga demi tercapainya sebuah solusi yang diterima semua orang, sebuah “egalitarian intelligence”. Egalitarian Intelligence sendiri adalah pembentukan pengetahuan dan pendidikan untuk sesuai dengan benak seseorang, dan bukannya membentuk otak seseorang untuk belajar berbagai metode formal dari pemecahan masalah, nalar induktif dan pengetahuan faktual. Tidak ada yang bisa dikesampingkan, tidak ada orang yang dinomorduakan dan tidak ada seorangpun yang bisa didiskriminasikan.
Melihat situasi yang terjadi sekarang, nampaknya kita sedang memasuki era dimana segala sesuatu diakomodir berdasarkan kerangka berpikir yang dangkal. Kita tidak pernah benar-benar melibatkan nurani dalam setiap pandangan politik kita, tapi lebih pada pengutamaan jargon politik, kekuatan yang dimiliki, kekuasaan dalam menguasai orang lain yang pada akhirnya proses ini telah merampas kepedulian rakyat dan berusaha mengkotak-kotakan status di tengah masyarakat kita.
Dalam pandangan saya, belum ada figur yang benar-benar mengayomi masyarakat madani kita. Para pemimpin sekarang terjebak dengan euforia kenikmatan klasik yaitu keinginan memiliki kekuasaan, uang dan popularitas. Tidak bisa dipungkiri, setiap pemimpin yang ingin berkuasa tergerak dengan ketiga kriteria klasik yang ingin mereka genggam. Slogan ingin membangun dan mensejahterakan rakyat hanyalah pernyataan kelas kedua dalam konsep mereka di samping kepentingan pribadi. Sebagai orang yang awam politik, saya tidak tahu apakah ini teori politik yang mereka anut berdasarkan konsep politik seperti yang dicanangkan mula-mula oleh Aristoteles bahkan Plato, ataukah teori politik yang dianomalikan mereka? Sehingga seharusnya tidak ada yang mengistilahkan politik itu kotor. Bahkan yang sangat disayangkan juga, demokrasi sepertinya menjadi jualan dan dibeli atau dibayar oleh oknum-oknum yang tidak mengerti sama sekali berdemokrasi tapi menjadikan demokrasi sebagai tunggangan untuk berkuasa.
Ini terlihat dalam money politic yang selalu disertakan dalam setiap pesta demokrasi, padahal sudah ada undang-undang yang mengatur ini sebagai suatu pelanggaran, tapi nampaknya para politisi dan birokrat kita bebas berekspresi dengan kekeliruan dan kejahatan mereka. Bagi saya, seorang figur pemimpin dan calon pemimpin masyarakat yang memainkan money politic tidak layak dipilih dan harusnya masyarakat tidak memilih mereka karena mereka tidak sama sekali memberikan pendidikan politik dalam berdemokrasi yang baik. Seorang pemimpin yang baik tidak harus mengkampanyekan dirinya (walau memang diijinkan) di setiap spanduk atau baliho yang ada di tengah kota atau setiap jalan sebagai bagian kampanye popularitasnya. Tapi seharusnya mereka harus lebih mampu memperlihatkan kebijaksanaan mereka dengan pernyataan-pernyataan dan tindakan yang lebih fundamental yang dapat membangun karakter masyarakatnya, dalam arti: sebagai panutan, dia harus tetap rendah hati dengan tidak merendahkan martabatnya dengan popularitas kosong tapi bergerak hanya dengan kinerja yang memukau dan bukan sebagai politisi karbitan. Dan juga segala tindakan yang dilakukannya benar-benar untuk kepentingan kemaslahatan masyarakat banyak, bukan untuk memperkaya diri sendiri.
Dalam beberapa tahun berkuasa, seorang pemimpin yang sudah memiliki harta yang cukup banyak dengan bertebaran di setiap tempat (padahal sebelumnya dia tidak memiliki banyak harta), tidak layak disebut seorang pemimpin karena mereka menumpuk kekayaan mereka untuk lebih haus berkuasa dan ini harus dicegah oleh rakyat jika tidak apa yang dimiliki oleh mereka akan dirampok oleh pemimpinnya. Mahatma Gandhi pada saat menjadi Perdana Menteri India adalah seorang yang luar biasa sederha. Ketika ditanyakan pada waktu itu mengapa dia hanya makan sehari sekali dan itu pun hanya dengan sedikit jeruk nipis dan madu. Dia menjawab “saya ingin merasakan solidaritas dengan rakyat saya yang kelaparan”. Apakah jawaban ini adalah salah satu ciri gaya kepemimpinan seorang pemimpin besar? Kalau demikian halnya, kita tidak akan pernah menemukan lagi seorang pemimpin yang berpikir seperti itu di Sulut atau di mana saja karena mereka tidak pernah solidaritas dengan rakyat karena hidup mereka berkelimpahan harta selalu ingin dilayani bukannya melayani. Para pemimpin daerah hanya selalu berlomba ingin berkuasa dan memperkaya diri mereka sendiri dengan cara-cara yang tidak halal tanpa melihat rakyatnya menderita di luar sana. Maka, jangan heran kalau pemimpin seperti Gandhi akan dikenang seluruh dunia sebagai pemimpin hebat sepanjang masa dan para pemimpin sekarang hanyalah bagian dari sejarah yang lewat sambil lalu dan tidak akan pernah dikenang, kalau dikenang hanyalah dalam konteks lokal saja itupun hanya bagi sebagian rakyat.
Mudah-mudahan pemilukada yang baru saja berakhir boleh mendapat pemimpin yang tidak haus akan kekuasaan tapi benar-benar memimpin dengan nurani dan tanggungjawab terhadap rakyatnya. “Walaupun sulit untuk mendapatkan pemimpin seperti itu”.
PENDIDIKAN KARAKTER
Oleh : dr. Adi Tucunan, M.Kes
Berita mengenai tindakan kriminal yang dilakukan baik oleh masyarakat kecil sampai pada masyarakat kelas atas terus terngiang-ngiang di telinga kita setiap harinya. Media massa maupun elektronik beramai-ramai membombardir pikiran kita dengan begitu banyak kejahatan dan kekerasan yang terjadi setiap waktu. Bahkan kita sendiri sepertinya sudah tidak peka lagi dengan pemberitaan seperti ini dan menganggap sebagai sesuatu yang biasa terjadi. Dari pencurian kelas teri seperti mencopet di jalanan sampai pada pencurian kelas kakap alias korupsi berjemaah selalu menghiasi wajah pertelevisian dan media massa kita. Dunia pendidikan pun yang seharusnya mengajarkan kita berakhlak baik malahan ikut-ikutan terjerumus dengan persoalan-persoalan yang berbau kriminalitas seperti tawuran pelajar dan mahasiswa, pesta narkoba dan banyak kejahatan lainnya yang menghiasi bumi pertiwi Indonesia. Dan memang kenyataan yang kita hadapi sekarang tidaklah hanya dihadapi oleh bangsa kita, tapi ini sudah menjadi sesuatu yang universal sifatnya, karena menyentuh hampir setiap belahan dunia. Saya mengkuatirkan dengan adanya dekadensi moral seperti inilah yang membuat bangsa kita menjadi lemah dan sulit bersaing di tingkat global dalam persaingan yang lebih maju. Tidak usahlah kita berbicara dulu mengenai kemajuan teknologi, perekonomian, penguasaan Iptek yang merupakan syarat untuk menjadi suatu negara yang maju. Tapi mari kita lihat dulu akar permasalahan yang dihadapi bangsa kita sehingga tidak cenderung bergerak ke depan tapi malahan mundur. Gambaran bahwa negara kita menjadi salah satu yang paling korup di dunia merupakan bukti sahih lumpuhnya martabat kita sebagai bangsa dan kita kehilangan identitas diri dalam menguasai masalah-masalah moral. Apa yang kita tanam selama ini, ternyata membuahkan hasil. Alih-alih menghasilkan SDM handal dalam Iptek, untuk membuahkan manusia Indonesia yang tahu bagaimana membuang sampah pada tempatnya, menjadi pegawai dan karyawan yang rajin dan jujur saja, kita tidak berhasil. Jadi tidaklah mengherankan kalau kualitas SDM (Human Development Index) Indonesia berada di bawah Vietnam, apalagi dengan Malaysia dan Singapura.
Thomas Lockona, profesor pendidikan dari Cortland university, mengungkapkan bahwa ada “tanda-tanda saman” yang harus diwaspadai karena kalau tanda-tanda itu sudah ada, sebuah bangsa akan menuju jurang kehancuran. Tanda-tanda itu adalah : 1) meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, 2) penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk, 3) pengaruh per-group yang kuat dalam tindak kekerasan, 4) meningkatnya perilaku yang merusak diri seperti narkoba, seks bebas dan alkohol, 5) semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk, 6) penurunan etos kerja, 7) semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru, 8) rendahnya rasa tanggungjawab individu dan warga negara, 9) ketidakjujuran yang begitu membudaya, 10) rasa saling curiga dan kebencian di antara sesame.
Kita saat ini menghadapi krisis yang paling sulit dalam sejarah peradaban bangsa kita, di mana upaya mempertahankan nilai-nilai yang menjadim karakter dari suatu bangsa tidak lagi dilihat dari sudut pandang kemanusiaan dan sebagai sesuatu yang fundamental, tapi semuanya diukur dari materi yang membentuk pola pikir yang mengarah pada paham hedonism di mana nilai-nilai yang baik dikikis sampai pada taraf terendah saat ini. Masyarakat kita masih suka bereaksi secepat kilat dalam menghadapi pemberitaan yang negatif ketimbang menanggapi hal-hal yang positif, mereka begitu cepat emosional dalam menghadapi berbagai persoalan. Akibatnya, risiko terjadi konflik baik itu antar etnis, agama, sesama saudara mudah sekali meletup hanya dengan persoalan kecil. Seolah-olah merekalah yang menjadi standar apa yang benar sehingga yang lain harus mengikuti kemauan mereka. Konflik kepentingan di berbagai wilayah pilkada menjadi bukti kongkritnya, betapa masyarakat kita memiliki kecerdasan yang rendah karena hanya memikirkan dirinya sendiri. Kaum penguasa juga tidak kalah garangnya, pemerintah dan legislatif membangun konflik mereka sendiri sehingga harus main jotos-jotosan karena melakukan ‘perang sengit’, semuanya demi kepentingan kelompok dan pribadinya sendiri. Francis Fukuyama mengatakan, ‘bangsa yang bisa maju adalah yang mempunyai social capital yaitu high trust society’. Ciri-cirinya adalah masyarakat yang individu-individunya layak dipercaya. High trust society adalah karakter bangsa yang nilai-nilai integritas, kerjasama, tenggangrasa, etos kerja tinggi, dan amanah (jujur dan bertanggungjawab) menjadi corak perilaku kehidupan sehari-hari.
Kalau kita mau menciptakan bangsa yang berdemokrasi tinggi, maka kita harus menjunjung tinggi dulu karakter yang kuat dari masyarakat kita yaitu melalui pendidikan karakter jangka panjang dan terus menerus. Untuk apa kita menciptakan para sarjana dan saintis yang hanya menguasai bidang teknokrat saja tapi lumpuh akhlaknya? Bukankah lebih baik dan lebih utama kita membangun karakter yang beradab dulu dengan pendekatan pada persoalan humaniora itu sendiri? Thomas Friedman dalam bukunya The Lexus and the Olive Tree (1999) mengatakan, modal dasar untuk bersaing di pasar global adalah free market democracy, yaitu negara demokratis yang bersih dan bebas dari korupsi, yang pada intinya bermuara pada karakter juga. Sebenarnya saat ini, kita belumlah menjadi negara demokrasi, tapi negara kleptocracy (kebalikan dari demokrasi), yang menurut dia tidak akan survive dalam persaingan global. Karakteristik dari kleptokrasi itu mirip dengan keadaan di Indonesia seperti KKN (Korupsi, kolusi dan nepotisme) yang merajalela. Masyarakat demokratis adalah bangsa yang berkarakter, karena menurut Peter Berger, untuk membentuk masyarakat yang demokratis harus dilakukan oleh para demokrat sejati. Menurutnya, seorang demokrat sejati adalah yang mempunyai karakter terbuka, jujur, etos kerja tinggi, bertanggungjawab, berintegritas, menghormati orang lain dan mempunyai kepedulian tinggi. Apakah kita sebagai suatu masyarakat yang hidup di abad ke-21 ini sudah mencerminkan stereotip komunitas demokrat seperti di atas? Kalau kita belum mempunyai ciri-ciri seperti di atas maka bangsa kita belum layak membangun bangsa yang demokratis dengan tingkat kepercayaan yang tinggi.
Pendidikan yang kita agung-agungkan untuk mencetak manusia yang berbobot dari segi kualitas ilmu pengetahuan, nyatanya gagal mengawal kecerdasan kita yang lain yaitu kecerdasan emosi. Karena memang pendidikan kita tidak terbiasa melakukan hal itu pada taraf yang lebih dalam lagi, sehingga pada akhirnya tujuan akhir dari pendidikan untuk membentuk manusia-manusia berbudi pekerti luhur hanyalah retorika dan slogan dunia pendidikan, tanpa ada hasilnya. Bukti terus memperlihatkan, banyak sarjana kita yang tidak memiliki kapasitas karakter yang hebat layaknya kehebatan ilmu yang mereka sandang, karena mereka dicetak untuk menguasai murni hal-hal yang mekanistik dan tidak mau ‘ambil pusing’ dengan tujuan-tujuan luhur dari eksistensinya sebagai ilmuwan dan manusia sekaligus, yang memiliki sudut pandang yang komprehensif terhadap perbagai persoalan. Bahkan banyak lulusan perguruan tinggi dari luar negeri sekalipun, baik itu pada level master maupun doktor, tidak menjadi jaminan suatu institusi pendidikan itu dapat maju. Karena banyaknya bukti yang mendukung bahwa kita gagal menjalin komunikasi dan dialog di antara berbagai disiplin keilmuan untuk menghadapi persoalan di tengah-tengah masyarakat kita. Tidak ada gunanya reputasi diakui hanya pada konteks akademik atau ilmiah tapi tidak memberikan sumbangsih apa pun pada masalah-masalah kemasyarakatan. Karena menyadari bahwa dewasa ini orang tidak bisa lagi terus berada di wilayahnya atau bidangnya sendiri, pikiran merespek memperhatikan dan menyambut berbagai perbedaan di antara individu dan antara kelompok manusia, berupaya memahami orang atau kelompok lain, dan berupaya bekerja secara efektif bersama mereka. Dalam suatu dunia di mana semuanya saling terhubung ini, sikap tidak toleran dan sikap tidak mau merespek tidak lagi mendapat tempat.
Oleh karena itu diperlukan perubahan mendasar dari paradigma pendidikan kita, yang tadinya sangat cognitive oriented (penggunaan otak kiri yang dominan), kepada pengikutsertaan pendidikan karakter (otak kanan). Pendidikan karakter melalui definisinya adalah pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur, bertanggungjawab, menghormati hak orang lain, kerja keras dan sebagainya (Thomas Lickona). Komponen penting yang juga harus diperhatikan pada pendidikan karakter adalah bagaimana menumbuhkan rasa keinginan untuk berbuat baik (desiring the good). Keinginan untuk berbuat baik adalah bersumber dari kecintaan untuk berbuat baik (loving the good). Prof. George Boggs meneliti tentang adanya 13 indikator keberhasilan seseorang dalam dunia kerja yaitu (1) jujur, (2) tepat waktu, (3) biasa ,menyesuaikan diri dengan orang lain, (4) bisa bekerja sama dengan atasan, (5) menjalankan tugas dan kewajibannya dengan baik, (6) motivasi tinggi untuk memperbaiki diri, (7) percaya diri, (8) mampu berkomunikasi dan menjadi pendengar yang baik, (9) mampu bekerja mandiri dengan supervisi minimum, (10) tahan terhadap stress, (11) mempunyai kecerdasan sesuai kebutuhan, (12) bisa membaca dengan pemahaman memadai, (13) mengerti dasar-dasar berhitung. Ternyata 10 dari 13 (77%) indikator tersebut adalah menyangkut karakter yang merupakan dominan domain otak kanan dan sisanya (23%) yang menyangkut otak kiri.
Memang tugas untuk menjalankan pendidikan karakter ini sangatlah sulit dan ini membutuhkan waktu bertahun-tahun lamanya. Tapi ketimbang kita membuang-buang waktu dan uang hanya dengan mengejar sasaran kualitas pendidikan pada tingkat penguasaan Iptek saja, maka ada baiknya orientasi pendidikan sekarang harus bertumpu pada bagaimana kita menjadi manusia seutuhnya (how to be a humankind). Saya yakin, dalam beberapa tahun keberhasilan kita membangun karakter yang kuat lewat pendidikan terus menerus kita akan menuai hasil yang optimal dari itu semua. Kita dapat menyatukan semua sumberdaya yang ada di negeri ini untuk menciptakan manusia-manusia yang unggul, bukan menciptakan IQ yang tinggi tapi EQ yang terdepan. Sehingga persoalan bangsa yang paling rumit sekalipun akan dapat diatasi dengan itu semua.
Paradoks Sebuah Gelar
Oleh: dr. A. Tucunan, M.Kes
“Satu-satunya hal yang mengambat pembelajaran saya adalah pendidikan saya” (Albert Einstein)
Pada saat baru memasuki program pascasarjana untuk studi lanjut pada program Magister Kesehatan beberapa tahun lalu, saya mengetahui adanya kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Talaud dan Unsrat untuk mendidik putra asli daerah menyelesaikan pendidikan strata dua mereka. Diperkirakan ada sejumlah puluhan orang yang mengambil pendidikan magister di berbagai program studi yang ada. Namun yang menggelitik saya adalah ketika banyak mahasiswa pascasarjana yang mengambil kuliah regular, mahasiswa-mahasiswa kandidat magister dari utusan kabupaten tersebut hanya menjalankan separuh (atau mungkin kurang) perkuliahan dari waktu yang ditetapkan untuk menyelesaikan studi. Bukannya mempolemikkan sistem pendidikannya, tapi motivasi di balik perutusan mahasiswa untuk belajar S-2 hanya untuk mengejar gelar adalah sesuatu yang patut dipertanyakan keabsahannya. Apalagi yang diutus untuk studi lanjut ini adalah para abdi negara dan masyarakat yang nantinya dipersiapkan untuk menjadi pelayan publik. Selain di universitas di Sulut, ada juga universitas di luar daerah bahkan luar negeri yang menjalin kerjasama dengan pemerintah seperti IPB dan Unpad. Pada waktu lalu ada salah satu kandidat doktor dari kabupaten tersebut memperlihatkan profilnya di surat kabar terbesar di Sulut dengan begitu bangga karena memakai satu halaman penuh dari surat kabar tersebut (layaknya seorang yang mengiklankan diri dalam kampanye). Saya merasa ada sesuatu yang hilang dari seorang calon cendekiawan seperti ini dan meragukan kapasitas dan integritasnya sebagai seorang yang memilii karakter ‘ilmuan’ atas ‘pengiklanan’ dirinya. Bagaimana tidak? Ingin meraih gelar doktor saja sudah begitu angkuhnya (padahal orang berilmu itu harusnya seperti ilmu padi yang makin berisi makin merunduk), apalagi kalau menjadi pemimpin. Semakin tinggi ilmu yang diraih orang itu, apalagi kalau sudah bergelar doktor (atau lulusan luar negeri bergelar Ph.D) bahkan profesor, diharapkan ia mampu memandang sesuatu secara komprehensif dari berbagai sudut pandang, sehingga ia akan mengerti kompleksitas dari suatu permasalahan dan semakin hati-hati ia mengeluarkan suatu pernyataan; akhirnya semakin bijak ia berkata dan bertindak. Karena hakikat seorang pemikir atau philosopher, menurut Socrates adalah seorang yang mencintai dan mencari kebenaran.
Tapi sayangnya, demokratisasi pendidikan tinggi sekarang lebih menjerumuskan lagi karena menciptakan “elit missal” (suatu contradiction in terminis), sejumlah orang dengan berbagai gelar tidak mempunyai keahlian dan berpikir dangkal. Mungkin negara kita ini akan lebih banyak mendapat masalah jika ada banyak sarjana atau doktor tak bermutu dan sombong karena gelarnya. Dengan berbagai dalih ingin mencetak tenaga dan sumber daya manusia yang mumpuni, pemerintah nampaknya melakukan pembodohan terhadap aparat dan masyarakatnya. Bagaimana tidak? Proses pendidikan yang seharusnya bersifat individu dijadikan tanpa kualitas karena proses mendapat gelar ini seperti sudah di ‘massalisasi’. Masalahnya, menurut Ratna Megawangi (Direktur Eksekutif Indonesian Heritage Foundation), kalau kita sudah berbicara massal, maka tentunya ada satu hal penting yang harus dikorbankan yaitu kualitas. Padahal kalau kita kembali lagi pada hakikat fungsi pendidikan, universitas adalah tempat untuk mendidik manusia untuk dapat berpikir abstrak dan komprehensif. Pemahaman dan penguasaan hal-hal yang teknis dan kongkrit memang diperlukan, tetapi ini bukan tujuan utama melainkan by products. Artinya, fungsi pendidikan tinggi bukan semata-mata untuk menciptakan manusia-manusia pekerja yang ahli dalam bidang-bidang teknis dan kongkrit, tapi jauh lebih daripada itu.
Menurut hemat saya, ini adalah tragedi pendidikan berkelanjutan, karena kita begitu mengidentikkan gelar seseorang dengan kapasitas dan kemampuan yang dimilikinya, padahal tidak sama sekali. Yang lebih parah lagi, pendidikan yang ditujukan untuk mencerdaskan manusianya tapi ternyata digunakan oleh para birokrat maupun pejabat di sana untuk memperkuat jabatan dan status kepemimpinannya. Pembaca yang terhormat, pasti mengerti maksud saya, karena sudah tentunya kejahatan para birokrat yang ada sekarang itu bukanlah hasil dari pendidikan yang didapatnya karena tujuan pendidikan di manapun adalah sama yaitu mencetak manusia-manusia yang berbudi luhur, bukan menjadi koruptor dan penjarah harta rakyat dan tidak kapabel melayani rakyat, bukan? Apalagi pada saat Pilkada, berapa banyak pembohongan yang harus diterima rakyat dari para kandidat baik itu eksekutif maupun legislatif. Sejak lama saya sudah mendengar adanya para mafia pendidikan yang berusaha memperjualbelikan status keilmuan seseorang. Bahkan ditengarai ada juga para public figure bahkan tokoh politik dan pemimpin masyarakat yang terbuai dengan gelar yang ingin dimiliki tanpa melalui proses pendidikan. Kita tidak perlu heran dengan kenyataan bahwa masyarakat kita gagal memilih dan mengetahui kapasitas pemimpinnya yang sebenarnya. Betapa tidak? Instansi yang seharusnya dipimpin oleh orang yang tepat tapi justru kecolongan dengan diduduki oleh orang-orang yang tidak kompeten baik dari segi skill yang mumpuni ataupun yang lebih parah tidak mempunyai karakter dan jiwa seorang pemimpin dan pekerja yang bertanggungjawab. Mungkin para pemimpin kita di sana berasumsi bahwa dengan gelar magister dan doktor yang didapat oleh bawahannya akan lebih memajukan kualitas pembangunan daerah. Tapi lihat saja hasilnya, negara kita yang begitu penuh dengan para sarjana mulai dari strata satu sampai strata tiga bahkan banyak juga yang bergelar profesor, tapi nyatanya kita tidak maju-maju sejak dulu. Mengapa? Orang-orang seperti ini cenderung degree-snoberry, merasa mempunyai gelar biasanya akan bersifat sombong, ingin terlihat pintar sehingga tidak prudence (bijaksana).
Semua masalah jadi gampang, sampai urusan negara pun digampangkan. Kita lihat negara tetangga kita seperti Malaysia dan Singapura, jumlah universitas dan sekolah tinggi di sana bisa dihitung dengan jari dan tidak sebanyak kita di Indonesia. Demikian pula dengan lulusan sarjananya lebih sedikit dibandingkan kita, tapi mengapa bangsa kita tidak merangkak maju malahan makin merosot? Forum Rektor baru-baru ini mengemukakan bahwa bangsa kita ‘nyaris gagal’. Tahun 2008 lalu, pernah ada salah seorang wisudawan di salah satu fakultas di Unsrat menyelesaikan pendidikannya hanya butuh waktu 3 tahun saja dan diberitakan di salah satu media cetak serta diberi label mahasiswa jenius. Ini salah kaprah yang mendasar karena kita menilai standar kejeniusan dari prestasi akademik seseorang, padahal tidaklah seperti itu. Bukan berarti dengan predikat cum laude dan akselerasi pendidikan, lalu dianggap lulusan itu hebat dan akan berhasil di dunia kerja. Jangan-jangan reputasi sebagai mahasiswa hebat hanya sampai disitu dan dia tidak memiliki partisipasi yang lebih besar bagi kemajuan kehidupannya. Menurut Daniel Goleman (dalam buku larisnya Emotional Intelligence), kecerdasan akademik sedikit saja kaitannya dengan kehidupan emosional, sehingga praktis kecerdasan akademik (IQ) hanya menyumbang kira-kira 20 persen bagi faktor-faktor yang menentukan sukses dalam hidup. Taufik Pasiak juga dalam salah satu bukunya yang menjadi bestseller menceritakan bagaimana banyak rekan sejawat dokter yang lulus dengan tepat waktu dan malah ada yang lulus cum laude, tapi tidak terlalu berhasil dalam karirnya, dibandingkan dengan dokter-dokter yang lulus paling lama dan bahkan ada yang hampir drop out. Ini artinya ada proses pembelajaran di luar konteks pendidikan formal yang sering kita dewa-dewakan itu yang lebih berperan dalam menciptakan manusia yang lebih unggul. Bukankah Bill Gates, orang terkaya di dunia adalah produk drop out universitas? Begitu pula dengan Mark Zuckeberg sang pemilik jejaring sosial facebook adalah drop out dari universitas yang sama? Tapi kenapa mereka begitu sukses?
Bukannya mendiskreditkan pendidikan formal (dimana saya juga adalah produk di dalamnya), tapi seperti pernyataan Albert Einstein bahwa pendidikan menghambat proses pembelajaran, saya percaya bahwa kita seharusnya membuka diri terhadap pembelajaran yang jauh lebih penting daripada pendidikan formal, misalnya dengan pendidikan karakter. Sehingga kita tidak akan mendapati diri kita terjebak dengan perilaku degree-snoberry yang hanya bangga dengan gelar kita tapi kita tidak mampu membangun nilai-nilai luhur daripada pendidikan itu sendiri. Kalau kita hanya mengidentikkan pendidikan formal itu dengan meraih gelar dan menguasai sains lalu dengan itu kita dapat memajukan suatu bangsa, maka disitulah letak kekeliruan kita. Menurut Howard Gardner (dalam bukunya Five Minds for the Future), yang tidak kalah berbahayanya, banyak orang mengira bahwa bidang-bidang pengetahuan yang lain harus dipelajari dengan metode dan pembatasan yang sama dengan sains. Pakar fisika agung Niels Bohr pernah mengatakan hal ironis ini: “ada dua macam kebenaran, kebenaran yang dalam dan kebenaran yang dangkal, dan fungsi dari sains adalah menghapuskan kebenaran yang dalam”.
Ketika suatu daerah berlomba-lomba mengirim para sarjananya mendapat gelar setinggi mungkin, itu tidak berarti adanya jaminan bahwa daerah tersebut akan mengalami kemajuan ke depan. Alasannya sederhana, orang-orang kita tidak terbiasa dengan good will sehingga apa pun jabatan yang dia pegang saat dia kembali ke daerah, ilmu yang dia dapatkan hanya dipakai untuk menguatkan jabatan politisnya, sekalian menjadi kaki tangan penguasa apalagi yang otoriter. Saya menyangsikan pendidikan yang kita tempuh dapat benar-benar dipakai untuk kemaslahatan masyarakat banyak apalagi dikatakan sebagai ‘pelayan masyarakat’, karena semua itu ditempuh hanyalah sebatas untuk meraih gelar dan memuaskan hegemoni kekuasaan. Dan kalau sudah begini jadinya, maka tujuan pendidikan itu tidak tercapai karena hanya seperti memenuhi quota kerja dan hanya sebuah narsisme kontemporer. Karena rakyat melihat tindak tanduk aparat pemerintah berdasarkan tingkah lakunya dan kinerjanya. Dan di saat seorang pejabat publik terlibat skandal (khususnya korupsi), maka tidak ada satu masyarakat pun yang akan membela dia karena status dan gelarnya, tapi akan jadi mendapat celaan dari masyarakat sebagai figur yang tidak bertanggungjawab.
Seorang yang meraih gelar dari sebuah universitas, seharusnya dia dapat mempertanggungjawabkan gelar tersebut secara moral, berlandaskan pada kebajikan hati nuraninya. Karena tidak ada satu pun yang ada di dunia ini dapat dipertahankan dalam keabadian kecuali nurani yang luhur itu sendiri.
KEGAGALAN DI BALIK ‘KERTAS RESEP’
Oleh dr. Adi Tucunan, M.Kes
Seorang pasien yang baru keluar dari tempat praktek dokter mengeluh karena dia hanya diladeni dengan kertas resep tanpa sepata katapun dari dokter yang memeriksanya dan selanjutnya dia harus membayar ratusan ribu yang harus dia tebus atas sikap dingin dan obat yang diresepkan tersebut. Selalu ada saja hal seperti ini yang terjadi dalam dunia medis kita, dimana pasien hanya diperlakukan sebagai objek mata pencaharian bagi ‘sang dokter’. Kasus di atas hanyalah salah satu dari sebagian besar kasus yang menjadi komplain terhadap dunia medis kita saat ini. Dan yang menyedihkan, pada kunjungan pertama pasien diharuskan datang sampai beberapa kali untuk mendapat terapi lanjut sehingga harus mengeluarkan banyak ongkos untuk pengobatannya, tanpa memikirkan latar belakang ekonomi sang pasien dan keluarga. Ironis memang, dengan bersembunyi di balik alasan ilmiah sang dokter yang harus mengobservasi pasien sebagai bentuk terapi lanjutan, tapi kita bisa menduga cara-cara seperti ini hanyalah upaya untuk memberatkan beban pasien dan keluarga.
Sudah bukan rahasia umum lagi, kalau seorang dokter menjalankan profesinya demi profit ekonomi yang lebih baik. Hal ini sangat bertolak belakang dengan nilai-nilau luhur dari profesi dokter yang didengung-dengungkan oleh Bapak Kedokteran Hipocrates sejak mula-mula ilmu kedokteran berkembang. Memang sebagai seorang professional, dokter dibayar untuk jasa-jasanya. Tapi yang menjadi persoalan di sini ialah kalau dalam menjalankan profesi ini, itikad dan nilai luhur dari profesi itu telah dibalikkan 180 derajat menjadi nilai ekonomis semata, sehingga muncullah cara berpikir dari para praktisi medis ini yang menganggap bahwa dunianya hanyalah berkisar pada masalah sakit penyakit dan finansial yang lebih baik semata. Inilah alasan mengapa dunia medis kita saat ini tengah disorot tajam oleh publik, yang di satu sisi marah atas ketidakramahan kita dan di sisi lain pasrah dengan ketidakberdayaannya, yang setiap saat siap dirugikan oleh konsep dan paradigma yang keliru seperti ini. Sungguh miris memang, melihat banyaknya tuntutan malpraktik yang dilakukan oleh pasien maupun keluarga terhadap dokter maupun institusi medis lainnya. Alasannya sederhana saja mengapa ada tuntutan seperti ini pada orang-orang yang sebenarnya membantu kesehatan mereka, yaitu karena di sana sudah tidak ada lagi rasa hormat yang luhur pada nilai-nilai kemanusiaan. Pandangan kita dibuat berkabut dengan kemilaunya ‘harta dunia’ dan ‘arogansi ilmiah’ yang tidak tanggung-tanggung bertindak bak ‘dewa penyelamat’ yang sebenarnya kalau ditinjau dari konsep penyembuhan secara utuh dan paradigma sehat menurut public health, mereka adalah para praktisi yang gagal.
Pernah suatu ketika saya menggantikan praktek dokter dari teman saya dan mendapat seorang pasien yang ternyata adalah pegawai dari instansi farmasi, yang katanya dia kenal dengan banyak dokter bahkan dokter spesialis karena selalu berurusan dengan hal-hal yang berbau jasa obat-obatan. Hanya dengan sedikit komunikasi dengannya yang mungkin juga di dalamnya tidak ada kaitannya dengan keluhan yang dia sampaikan, kami bercerita singkat tentang beberapa hal dalam dunia medis, secara khusus hal-hal yang agak tidak sejalan dengan cara berpikir dan bekerja para praktisi medis konvensional saat ini. Setelah selesai basa-basi komunikasi medisnya, yang mungkin bagi dokter lain akan dianggap pembicaraan ini sebagai sesuatu yang konyol, dia pamit pulang dan di depan pintu sebelum dia berlalu dari hadapan saya, dia mengatakan sesuatu yang menurut saya mungkin ini menjadi sesuatu yang langka dalam dunia medis kita. Dia mengatakan kepada saya, seandainya ada 10 orang (tanpa melebih-lebihkan) dokter yang berpikir seperti saya, maka menurutnya pasti Menteri Kesehatan senang. Ini bukanlah kesombongan yang harus saya tunjukkan, tapi ada satu hal yang membuat saya berpikir mengapa pasien ini mengatakan seperti itu. Padahal menurut saya, apa yang saya lakukan terhadapnya hanyalah komunikasi biasa saja, bertukar pikiran dengan sang pasien, tapi itu dianggap sebagai sesuatu yang nampaknya ‘mahal’. Saya berpikir dan bertanya-tanya apakah memang di luar sana telah banyak terjadi erosi yang semakin dalam dari cara kita sebagai praktisi medis berpikir dan bertindak dalam konsep-konsep nilai luhur kita, sehingga memperlakukan sang pasien pun kita tidak mampu.
Sebagai dokter memang kita tidak diajarkan bagaimana cara mengasihi pasien kita karena sebagian besar di sekolah kedokteran, kita hanya diajarkan patologi penyakit dan bagaimana cara menangani penyakit itu, bukan bagaimana cara menangani orang yang mengalami penyakit itu. Itulah masalahnya, mengapa kita terus mengalami degradasi yang semakin dalam, karena model yang kita kembangkan dalam praktek-praktek kita terlalu bersifat ilmiah, mekanis dan kaku pada penerapannya. Sedangkan kalau mau jujur, kita berhadapan dengan orang-orang hidup dan bukan penyakitnya. Sehingga seharusnya yang terngiang-ngiang dan menjadi jelas bagi kita adalah apa yang disampaikan oleh Hipocrates sebagai Bapak Kedokteran yaitu “saya lebih suka mengetahui orang macam apa yang menderita penyakit tersebut, daripada mengetahui jenis penyakit apa yang diderita orang tersebut”. Dan pada akhirnya, kertas resep yang kita tulis akan mempunyai makna yang mendalam lebih daripada hanya sekedar goresan ilmiah. Semoga!
BELENGGU OTORITAS DUNIA MEDIS
Penulis : dr. A. Tucunan, M.Kes
(Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Unsrat)
“Takkan pernah saya lupakan, seorang wanita yang datang kepada saya dalam keadaan gemetar, dengan air mata berlinang, dan hampir tidak dapat berbicara karena amarah. Ia baru saja kembali dari unit perawatan intensif di rumah sakit saya, dimana Ibunya, pasien saya sedang sekarat. Ibunya tidak sadarkan diri dan ditunjang dengan sistem-sistem penunjang kehidupan, dan tak ada perawatan yang efektif. Sang putri baru saja diusir dari samping tempat tidur Ibunya karena waktu berkunjung telah usai: kunjungan di luar waktu berkunjung, demikian ia diberitahu, adalah “menentang kebijakan” dan akan “mengganggu”. Ibunya meninggal malam itu sendirian. Bagi wanita ini, terpisah dari Ibunya yang sedang sekarat tampaknya sangat merendahkan martabatnya. Ia siap mengutuk keseluruhan dunia medis modern, bukan saja atas ketidak-efektifannya, melainkan juga atas ketidak-berperasaannya. Ia tetap dendam terhadap sistem yang menurutnya tidak efektif dan juga tidak peduli.” (dikisahkan oleh Larry Dossey, M.D.).
Pengalaman ini mencerminkan begitu banyak alasan mengapa sekarang ini orang menganggap pemeliharaan kesehatan modern sebagai tidak manusiawi, tidak simpatik, dingin, tidak peduli, terlalu mekanikal dan teknikal, terlalu sok jadi pahlawan dan seringkali terlambat.
Ketika Anda atau keluarga Anda mengalami gangguan fisik atau sakit penyakit, maka Anda akan berusaha datang untuk meminta bantuan ke rumah sakit, klinik atau dokter pribadi untuk meringankan gejala penyakit Anda. Tapi pada saat Anda datang ke sana, dengan harapan untuk memulihkan kondisi Anda maka Anda akan merasa kecewa dengan berbagai tindakan yang Anda terima karena merasa tidak puas dengan perlakuan yang Anda dapat. Bagaimana tidak? Ketika Anda mengharapkan segala sesuatu berjalan dengan lancar dan mendapat kepuasan dari dokter Anda tapi yang Anda terima di sana adalah suasana yang sangat dingin dan bahkan terasa arogan dari pihak sang dokter maupun asistennya. Anda merasa sepertinya Anda tidak diperlakukan selayaknya sebagai manusia.
Kalau deskripsi singkat di atas benar-benar yang Anda rasakan, maka itu akan menjadi suatu tragedi dalam dunia medis kita. Mengapa? Karena sebagai pasien sekaligus manusia yang memiliki nilai-nilai yang harus dijunjung tinggi sebenarnya Anda mendapat perlindungan oleh Undang-undang Kedokteran dan menerima hak Anda. Perlakuan yang kurang menyenangkan seperti di atas memang sering terjadi di mana saja baik di Indonesia secara khusus maupun di seluruh dunia, apalagi oleh mereka-mereka yang berpandangan murni konvensional dan mekanistis dalam dunia medis. Terkesan oleh pasien sendiri, “sang penyembuh” mereka lebih menjadikan mereka sebagai sumber pendapatan ketimbang subjek kemanusiaan itu sendiri. Di dalam istilah yang lebih filosofis, bukannya memandang sang pasien sebagai sesama manusia, sang pasien terancam menjadi objek di mata sang dokter. Hal ini bukan saja merampas keberadaan hakiki sang pasien, melainkan juga memutuskan sang dokter sendiri dari sumber kehidupan serta kasih di dalam karyanya.
Sebagai orang yang juga dididik dalam dunia medis, saya berusaha mengungkapkan keprihatinan ini dan ingin mengajak Anda sebagai individu-individu yang bergerak dalam dunia medis maupun sebagai masyarakat biasa, menelaah dan mengkritisi situasi dan gambaran dunia medis kita saat ini dalam konteks lokal maupun global. Terlepas dari perannya yang ‘hingar bingar’ sebagai saintis sekaligus ‘dewa penolong’, dunia medis modern kita terlalu mekanikal, jauh dan dingin. Kita tidak meluangkan waktu yang cukup dengan pasien-pasien; kita hanya fokus kepada tubuh mereka dan menghindari pertanyaan-pertanyaan menyangkut makna, menyerahkan pertanyaan-pertanyaan seperti itu kepada psikolog, pendeta dan imam. Tetapi sebagian besar dokter terus mengandalkan metode-metode yang didasarkan pada fisik yang paling kita kenal, membenarkan pendekatan ini dengan bukti dan keefektifannya.
Sebagian besar kekecewaan publik terhadap dunia medis modern terletak pada gagalnya praktisi medis untuk mengakui pentingnya makna dalam kehidupan serta penyakit pasien-pasien mereka. Kalau para dokter terus saja meminimalkan atau mengabaikan peran makna dalam kesehatan, kita akan terus kehilangan pengaruh. Kontes di antara para ahli terapi konvensional dengan ahli terapi alternatif bukanlah sekedar sosial ekonomi, keefektifan, keamanan dan ketersediaan, melainkan juga soal makna. Telah ditemukan fakta yang menyakitkan bahwa seberapa efektif pun dunia medis modern itu, kalau ia tidak menghormati tempat makna dalam penyakit, bisa-bisa saja ia kehilangan simpati dari mereka-mereka yang dilayaninya.
Dunia medis modern sering terbelenggu dengan begitu banyak kompleksitas permasalahan yang dihadapi. Dengan otoritas yang dimilikinya, para dokter sering tidak menyadari bahwa mereka sedang dinilai langsung oleh masyarakat sendiri. Para dokter maupun staf medis lainnya tidak boleh hanya memikirkan apa yang dipikirkan pasiennya juga. Para dokter tidak boleh hanya memikirkan penilaiannya sendiri terhadap penyakit pasiennya, tapi seharusnya dia memikirkan apa yang dipikirkan pasiennya juga. Para dokter tidak boleh hanya menyibukkan diri dengan urusan penyakit pasien mereka dan berfokus pada penyakit itu. Kita tidak boleh hanya memberikan kertas resep dalam ruang praktek kita dengan membiarkan seolah-olah hubungan kita dengan pasien hanya sebatas kertas resep. Bagi dokter modern sekarang, hubungan simpati dan empati tampaknya telah menjadi sesuatu yang sangat mahal untuk dimaknai. Bagaimana tidak? Dalam ruang praktek saja kita sukar untuk menjalin komunikasi dengan sang pasien. Nampaknya para dokter harus belajar ilmu komunikasi dan sedikit ‘akting’ kalau ingin ruang prakteknya sering dikunjungi pasien. Di masyarakat sendiri, saya sering mendengar orang-orang sering mengatakan bahwa mereka lebih menyukai dokter tertentu dan bukannya dokter yang lain; mereka lebih cocok minum obat yang diberikan oleh dokter tertentu daripada yang diberikan oleh dokter yang lain.
Dalam pandangan saya, ini bukan masalah suka atau tidak suka, cocok atau tidak cocok, tapi ini lebih menyangkut pada kepercayaan sang pasien terhadap kredibilitas sang dokter di mata mereka. Ketika dunia medis gagal dan para pasien serta anggota keluarganya dikuasai kekecewaan, mereka takkan terhibur mendengar sukses-sukses yang telah dicapai dunia medis. Bagi mereka, hanya saat yang di depan mata itulah yang nyata. Sampai kapankah dunia medis ini berubah dari ‘sikap pandirnya’? Tapi sebenarnya pertanyaannya bukanlah kapan atau apakah, melainkan ke arah mana dan sampai sejauh mana? Jika kita mau dunia medis kita kita tercerahkan, berhentilah ‘mengutak-atik’ individu pasien sebagai ‘mesin pemberi ilmu’ dan ‘objek penghasilan’ kita, tapi hargailah makna kemanusiaannya yang hakiki.
Langganan:
Postingan (Atom)