Kamis, 05 Agustus 2010

PIKIRAN DAN DUNIA MEDIS

Sebagian besar diantara kita dituntut untuk menghayati kehidupan yang bersifat tiruan yang sistematis dan konstan. Kesehatan Anda akan terpengaruh bila hari demi hari Anda mengatakan hal yang bertentangan dengan yang Anda rasakan, bila Anda memohon kepada yang tidak Anda sukai dan bergembira atas apa yang tidak membawa manfaat bagi Anda selain nasib malang. Sistem saraf kita bukanlah khayalan, sistem itu bukan merupakan bagian dari tubuh jasmani kita, dan jiwa kita ada dalam ruang dan di dalam diri kita, seperti gigi di dalam mulut kita. Jiwa kita tak mungkin terus menerus tersiksa tanpa mengalami guncangan.
Pikiran dan Penyakit
            Sewaktu menjalani pendidikan profesi di bangsal penyakit dalam sebagai seorang co-assistant, saya pernah bertugas melayani seorang pasien yang didiagnosa menderita salah satu penyakit paru, seorang Ibu sekitar 40-an tahun. Selain mempelajari asal-usul penyakit dan pengobatan yang diberikan, ada satu hal yang tentu saja paling menarik perhatian saya, yaitu riwayat sosialnya berkaitan dengan hubungan emosi pasien tersebut dengan keluarganya. Karena saya begitu dekat dengan si pasien, maka saya mulai memasuki rahasia yang sulit diceritakan oleh pasien kalau dia tidak merasa nyaman dengan dokternya. Saya mulai menguak apakah ada rahasia di balik penyakit ini dengan keterisolasian dari keluarganya. Pasien ini dengan nyaman menceritakan kepada saya kalau selama ini dia mengalami konflik bertahun-tahun dengan sesame saudaranya. Dan ini sudah cukup membuktikan kepada saya, apa yang sebelumnya dikatakan oleh Bapak Kedokteran Hipocrates yang mengatakan bahwa sebagian besar penyakit tuberculosis disebabkan karena stress. Tapi di bangsal, saya melihat pada catatan medis penderita dalam anamnesa riwayat sosialnya tidak pernah dicantumkannya persoalan-persoalan seperti itu. Entah apa itu terlupakan atau karena mereka terlalu memfokuskan pada kuman penyakitnya dan tidak mau mengorek lebih dalam masalah pribadinya.
            Secara tidak langsung, saya mengambil kesimpulan bahwa kebanyakan kita yang hidup di dunia medis merasa tidak enak membicarakan masalah seseorang, menganggap mereka sebagai individu yang bermasalah bukan pada tingkatan sel, jaringan atau organ tapi pada tataran kehidupan pribadinya. Pada awal abad ke-20, Sir William Osler, seorang raksasa dunia medis telah mengantisipasi ilmu kedokteran psikosomatik dengan mengumumkan, “perawatan tuberculosis lebih tergantung pada apa yang pasien miliki di dalam kepalanya daripada apa yang dia miliki di dalam dadanya”. Ilmu kedokteran psikosomatis (baik fisiologis maupun psikologis) memang mengakui peran pikiran dan emosi di dalam penyakit. Kenyataannya adalah bahwa penyakit seringkali merupakan produk dari pikiran, dan bukan “semuanya ada dalam pikiran”. Penyebab penyakit yang bersifat mental dan emosional menghasilkan efek fisik yang riil. Jika Anda merasa sakit, Anda benar-benar akan merasa sakit, tidak peduli apapun penyebabnya. Kadang-kadang tubuh Anda bereaksi dan Anda mungkin tidak sadar mengenai sensasi fisik apa pun.  Hipertensi seringkali mencerminkan kenyataan ini. Anda mengalami suatu reaksi fisik terhadap tekanan emosional. Anda mungkin mengetahui reaksi tubuh Anda hanya setelah mengukur tekanan darah Anda. Setiap emosi, dari tawa sampai kesedihan hingga ketakutan akan menimbulkan sebuah respons fisiologis. Tidak ada hal apapun seperti “semuanya hanya ada dalam pikiran Anda”. Ada komponen mental pada perasaan Anda dan reaksi fisik tubuh Anda. Diabaikannya hubungan antara pikiran dengan tubuh oleh ilmu kedokteran teknologi sebetulnya merupakan penyimpangan apabila ditinjau dari seluruh sejarah seni penyembuhan. Dalam ilmu kedokteran tradisional zaman kuno dan dalam praktek di Barat sejak awal jaman Hipocrates, kebutuhan untuk bekerja berdasarkan pikiran pasien senantiasa diakui. Sampai abad ke-19, penulis-penulis kedokteran jarang tidak mencatat pengaruh kesedihan, atau ketakutan terhadap munculnya dan hasil akhir suatu penyakit, dan mereka pun tidak mengabaikan efek penyembuhan yang ditimbulkan oleh kepercayaan, keyakinan dan kedamaian pikiran. Kebahagiaan lazim dianggap sebagai prasyarat bagi kesehatan. Namun, dokter di zaman modern memperoleh begitu banyak kekuasaan terhadap penyakit-penyakit tertentu melalui obat-obatan sehingga melupakan potensi kekuatan yang ada pada pasiennya.
Pikiran dan Pengobatan
            Sering di rumah sakit, orang yang datang untuk memeriksakan gejala penyakit yang dideritanya mengalami keadaan syok secara mental pada saat mendengar dokter memberitahukan hasil diagnosanya bahwa ia menderita penyakit yang mematikan. Belum cukup syok menimpanya, dokter sudah melanjutkan memprediksi berdasar statistik medis bahwa hidupnya kurang dari beberapa bulan. Dokter memberitahukan ini dengan ekspresi yang mantap, tanpa basa-basi layaknya memang seorang yang dilatih berpikir ilmiah. Pasien tambah syok dan tidak bisa berbuat apa-apa dengan vonis yang diberikan dokter itu. Ini adalah kejadian nyata yang sering terjadi di lingkungan kita, di mana kita selalu diperhadapkan dengan berbagai keputusan yang dapat mempengaruhi pikiran dan mental kita untuk menerima ini sebagai sesuatu yang menyakitkan atau membahayakan. Kesulitannya adalah apabila petugas medis mengabaikan reaksi emosional pasien-pasiennya, bahkan ketika mereka memeriksa kondisi fisik si pasien. Tiadanya kepedulian pada realitas emosi si pasien akan penyakitnya berarti tak menghiraukan bukti-bukti yang semakin menumpuk yang menunjukkan bahwa emosi dapat memainkan peran yang kadang-kadang amat berarti dalam mengatasi kekuatiran terhadap penyakit dalam arah menuju kesembuhan. Perawatan medis modern terlampau sering kehilangan kecerdasan emosi. Bahkan ditengarai di rumah sakit hampir sebagian besar pelanggaran yang dilakukan (malpraktek) oleh staf medis disebabkan ketidakmampuan membangun komunikasi yang baik dengan pasien dan keluarganya, sehingga banyak muncul tuntutan oleh mereka. Saya yakin, jika kita mampu membangun kedekatan emosi dengan pasien dan keluarganya, berkomunikasi dengan lebih terampil dengan mereka (bukan hanya trampil secara teknis), maka tidak aka nada banyak tuntutan dari pihak pasien yang merasa menjadi korban.
            Bagi pasien, setiap perjumpaan dengan perawat atau dokter berarti adanya peluang untuk memperoleh informasi yang menenangkan, rasa nyaman, dan pelipur lara atau apabila salah penanganan, berarti undangan untuk berputus asa. Tetapi, amat sering petugas medis tergesa-gesa atau tidak hirau akan beban stress pasien-pasiennya. Meskipun demikian, ada dokter dan perawat yang penuh kasih sayang, yang rela meluangkan waktu untuk menenteramkan dan memberitahu maupun melayani secara medis. Tetapi kecenderungan sekarang adalah diarahkannya dunia kedokteran menuju dunia profesional dimana tuntutan-tuntutan profesional membuat petugas medis kurang leluasa memberi perhatian atas kekuatiran pasien, atau sudah kelewat tertekan karena harus melakukan ini itu yang berkaitan dengan tuntutan-tuntutan tadi. Dengan meningkatnya kesulitan yang terjadi dalam sistem kesehatan akibat desakan keuangan, semuanya menjadi semakin memburuk.
Pesan dari Penyakit
            Psikolog Dr. Dennis Jaffe, yang menulis di dalam Healing From Within, mengajukan sebuah pertanyaan penting, “Apakah penyakit tertentu berhubungan dengan krisis kehidupan, jenis kepribadian atau emosi tertentu?” Ia melanjutkan, meskipun saya sudah sangat berhati-hati menghindar untuk mengumumkan hubungan ini sebagai cerminan kenyataan, para dokter telah mengetahui adanya hubungan antara emosi, kepribadian dan penyakit tertentu selama berabad-abad. Makin banyak penelitian belakangan ini yang memberikan dukungan pada hipotesis ini.” Sensasi fisik seperti gatal, menangis, ruam, rasa sakit, tekanan, orgasme dan senyum, semuanya merupakan bagian dari bahasa tubuh. Demikian juga penyakit. Selama ada penyakit, tubuh mengkomunikasikan apakah tindakan kita mengurangi atau menambah kesehatan kita.
            Milton Ward, dalam sebuah buku berjudul The Brilliant Function of Pain, menulis “rasa sakit bukanlah teror, itu sebenarnya adalah tenaga cemerlang kita sendiri, yang berfungsi untuk kepentingan kita, yang siap menuntun kita melalui kehidupan jika saja kita mau mendengarkan. Rasa sakit menyampaikan sebuah pesan yang kuat dari tubuh ke pikiran. Dengan cara ini, ia membantu mengkomunikasikan jalan menuju kesehatan. Penyakit adalah cara tubuh Anda berbicara kepada Anda, memberitahu Anda bahwa sesuatu sedang tidak berfungsi, menunjukkan kepada Anda dengan jelas dan kadang-kadang secara menyakitkan bahwa ada sesuatu yang salah. Sehebat apa pun seseorang dari segi fisik, apakah dia kaya, orang terkenal, pejabat dan memiliki semua materi  dengan berlimpah, tapi jika pikirannya terganggu (bukan hanya dalam arti gila) secara sosial dan individu, maka dipastikan Anda sedang menimbun racun dalam tubuh Anda yang tinggal menunggu waktu untuk berkembang menjadi penyakit fisik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar