Kamis, 05 Agustus 2010

Fenomena “Pungli” Apakah Kejahatan Terstruktur?

Dari sekian banyak persoalan kemasyarakatan yang berkembang luas di tengah masyarakat kita, ‘pungutan liar’ adalah salah satu fenomena yang mencuat dari waktu ke waktu. Tak peduli apakah itu institusi terhormat sampai pada masyarakat bawah, semuanya kena dampak kejam dari pungli ini. Dari asal kata bahasa Inggris ‘pungli’ yaitu toll or tariff collected without proper legal authority, artinya bea atau tarif yang didapat secara tidak sah. Bukankah ini diidentikkan dengan korupsi juga? Walaupun dalam skala yang kecil-kecilan tapi substansinya tetap sama. Persoalan pungli di masyarakat kita ini terus menggeliat sampai begitu meresahkan publik karena institusi yang seharusnya mempermudah masyarakat melakukan berbagai persoalan khususnya yang berkaitan dengan administrative, tidak mengayomi warganya dalam rangka mendapatkan kemudahan itu. Berbagai kasus pungli itu banyak kita lihat di berbagai tempat pemerintahan, bisnis dan banyak tempat lainnya. Bahkan lembaga terhormat sekelas DPR sendiri melakukan  aksi memalukan seperti ini, seperti menerima suap dari hasil pemerasan mereka yang sebenarnya melanggar undang-undang. Demikian pula halnya dengan kasus para jaksa yang kena suap. Contoh di atas bisa dikatakan berada pada tingkat makro karena melibatkan pihak-pihak berkuasa. Tapi coba kita cermati di tengah-tengah masyarakat kita khususnya di kota Manado ini, berapa banyak tindakan tercela ini dilakukan berbagai institusi untuk mengeruk materi dan mengorbankan orang lain. Institusi pendidikan juga bukan ha lasing bagi tempat bercokolnya mafia-mafia pungli ini melakukan aksinya. Anda mungkin tidak pernah menyadari bahwa apa yang Anda lakukan termasuk pungli karena hanya melibatkan hal-hal kecil, mungkin dengan alasan apakah itu biaya administrasi atau biaya sangsi. Tapi sebenarnya maksud terselubung dari tujuan itu dapat dibaca oleh sebagian besar orang. Bukankah mengeruk keuntungan dari orang lain lewat cara-cara yang tidak sesuai prosedur adalah suatu pelanggaran? Masyarakat kita juga secara tidak langsung juga ikut terlibat dalam menegakkan supremasi pungli ini di tengah kejahatan moral yang harus kita berantas. Bagaimana tidak, kita ingin mempermudah berbagai urusan kita dan proses penyelesaiannya cepat dan tidak dihambat, lalu berkompromi dengan situasi yang mendorong terciptanya pungli oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab. Contohnya saja,pengurusan KTP di berbagai kelurahan atau kalau boleh dibilang seluruh kelurahan atau perangkat desa, tagihan biaya KTP sampai mencengkeram masyarakat dengan biaya yang begitu tinggi. Bukankah ini bisa bisa dikatakan bahwa negara melakukan tindakan sewenang-wenang melalui perangkat kerjanya?
                Dunia pendidikan tidak kalah bedanya dengan institusi lain. Masyarakat selalu mendengar biaya BOS yang disunat di tingkat pendidikan dasar dan menengah, biaya masuk perguruan tinggi yang harus melewati proses ‘bargaining’ dengan pihak penguasa fakultas. Demikian pula ada guru yang menjual buku kepada para muridnya dan dosen yang menjual diktat kepada mahasiswanya. Dengan berbagai macam dalih dan ancaman, pungli diterapkan kepada anak didik dan tanpa disadari mereka juga mendidik generasi yang ke depan akan melakukan hal yang sama kepada orang lain. Dan masih banyak hal lain yang belum disebutkan di atas segala sesuatu yang menimpa dan memporak-porandakan dunia pendidikan kita. Seolah pendidikan dijadikan barang dagangan. Di dunia pendidikan yang seharusnya mengajarkan kita berakhlak baik, justru harus terkontaminasi dengan hal-hal seperti ini. Bagaimana pemimpin-pemimpin sekolah dan kampus menyikapi ini semua? Apakah dalam setiap pergantian periode kepemimpinan kita hanya selalu dan terus mendengarkan retorika perubahan yang didengung-dengungkan tanpa benar-benar menikmati perubahan itu yang lebih fundamental? Saya kuatir (semoga tidak terjadi), kita sedang mengarah pada jurang kehancuran dari suatu tatanan sosial yang lebih kompleks di tengah-tengah masyarakat kita. Mungkin saat ini kita tidak menyadari kekeliruan ini dan menganggap hal itu sudah biasa terjadi dan terus melakukan kompromi dengan kebrutalan moral seperti ini. Kalau seorang pembunuh berantai melenyapkan beberapa orang saja, maka kita yang hidup dan terlibat dalam dunia kejahatan ini tidak lebih daripada pembunuh karakter masyarakat kita. Dan menurut saya, keadaan seperti ini lebih parah dari yang kita perkirakan, karena ini melibatkan berbagai komponen masyarakat dari tingkat bawah sampai tingkat atas, dari yang terhormat sampai tidak terhormat. Kita saat ini bisa dikatakan sudah pada tataran keagamaan juga, kejahatan ini masuk ke dalamnya. Mungkin kita tidak dapat melihat pada skala makronya, tapi secara tidak langsung bagian dari permainan psikologis yang mematikan sedang merambat ke wilayah atau zona nyaman keagamaan juga. Kaum rohaniawan tidak mampu mengatasi persoalan yang tengah menghinggapi umatnya. Persoalan yang dihadapi tidak lagi berada pada tingkatan teologis tapi sudah memasuki wilayah sosial budaya yang hendak mencengkeram moralitas kita. Makanya tidaklah cukup kita mengkotbahkan sesuatu yang suci di atas mimbar, tapi turun dan berbuat lebih jauh lagi serta peduli pada kelangsungan hidup komunitas kita, bukan dari perspektif biologis tapi lebih mengarah pada perspektif psikologis dan moralitas. Keluarga yang seharusnya menjadi landasan kita berpijak memperoleh nilai-nilai yang lebih baik sudah tidak lagi peduli dengan keadaan yang terjadi. Kita sudah beramai-ramai sebagai suatu masyarakat turut serta mendorong terciptanya gaya hidup yang merampas hak-hak orang lain. Perilaku pungli telah merampas kehidupan kita menjauh dari akar-akar moralitas, merampas hak-hak orang lain untuk memperoleh sesuatu yang layak didapatkannya. Maka tidaklah heran, walau dengan tingkat pengetahuan yang tinggi, kemajuan yang semakin pesat (dari sisi ekonomi), tanpa nilai-nilai moral  dan kebijaksanaan yang tinggi juga, semuanya hanya mendatangkan bencana bagi bangsa dan negara. Kita tidak pernah benar-benar merasakan kemakmuran yang sesungguhnya karena pendekatan kita murni materialistis. Apakah menurut Anda, harta yang Anda miliki dan dapatkan sekarang adalah bagian dari usaha kerja keras Anda yang memang layak Anda nikmati? Ataukah semua yang Anda miliki adalah bagian dari ‘perampasan’ hak milik orang atau masyarakat pada umumnya sehingga merugikan mereka? Anda sendiri yang bisa menjawabnya. Saya tidak bermaksud menyinggung Anda secara pribadi, tapi sebagai warga masyarakat, saya hanya bisa mengajak Anda melihat persoalan ini secara jernih dan jujur dari hati Anda. Karena kita semua bertanggungjawab terhadap kelangsungan hidup masyarakat kita dengan tidak mengenyampingkan persoalan-persoalan yang sekarang dianggap ‘sepele’ oleh masyarakat kita. Pungli adalah suatu kejahatan, dan kalau boleh saya istilahkan ‘terstruktur’ karena ini sudah seperti sesuatu yang turun temurun dan susah dihilangkan. Masalahnya, kita selalu melihat persoalan kejahatan hanya dari sudut pandang yang sempit dan menganggap kejahatan hanya dilabelkan pada hal-hal seperti pembunuhan, pencurian, pemerkosaan, penganiayaan dan banyak tindakan criminal yang diketahui oleh masyarakat kita. Tapi tidakkah kita sadari bahwa bahaya laten sesungguhnya ada pada hal-hal yang kita anggap sepele dan kasat mata seperti pungli? Mengapa seorang pencuri seekor ayam harus dihukum beberapa tahun penjara sedangkan koruptor kelas teri maupun kakap dibiarkan gentayangan di tengah masyarakat kita? Bukankah mereka lebih merugikan masyarakat kalau dihitung secara nominalnya? Maka tidaklah mengherankan kalau di tengah masyarakat kita, sedang hidup para  ‘penjahat berdasi’, ‘penjahat intelektual’ yang lebih menyengsarakan rakyat dan memiliki penyakit kronis yang sudah harus diamputasi. Beberapa waktu lalu di surat kabar diberitakan seorang Profesor Universitas di Gorontalo yang menyunat biaya penelitian yang dilakukannya harus berurusan dengan pihak berwajib. Apakah kita berharap untuk hidup makmur dan sejahtera melakukan cara-cara yang tidak pantas dengan mengambil sesuatu yang bukan hak kita?
                Saya selalu bertanya-tanya dan coba menjawab sendiri, apakah ketertinggalan bangsa kita adalah akibat dari parahnya perilaku moral di tengah-tengah masyarakat kita? Nampaknya kita kehilangan kendali terhadap nilai-nilai yang baik di tengah-tengah masyarakat kita saat ini. Sangat menyedihkan memang, di saat pemerintah tengah mengkampanyekan good governance, malah para abdi negara ini justru melakukan hal tercela dengan berkorupsi ria. Saya masih ingin terus bertanya-tanya sambil berharap kapan sifat-sifat tercela seperti pungli akan diberangus di bumi tercinta ini, khususnya di Manado tempat saya tinggal sekarang?
                Seperti halnya Abraham Lincoln berkata “Aku percaya bahwa nilai kehidupan ini adalah untuk memperbaiki kondisi kitya”. Maka saya percaya, tanpa memahami lebih jauh nilai-nilai kehidupan kita, tanpa memegang teguh prinsip-prinsip moralitas, dan tanpa memberanikan diri berkata tidak pada ‘pungli’, maka yakinlah kondisi kita akan sekarat dan butuh pemulihan segera.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar