Sering kita mendengar di rumah sakit bahkan di klinik terjadi masalah di mana tuntutan medis menghiasi begitu banyak surat kabar dan menanamkan opini di masyarakat bahwa para praktisi medis hanyalah manusia biasa yang bisa saja berbuat kesalahan. Terlampau banyak kasus yang mengemuka di hadapan publik dan dunia kesehatan yang agak sulit dibendung dari waktu ke waktu karena kita terlampau sering melupakan satu hal yang sangat fundamental yaitu spiritualitas dunia medis. Para professional kesehatan begitu terlatih secara teknis dan ilmiah dalam proses pendidikan dan prakteknya, tapi tidak dipersiapkan secara rohani dan mental ‘berperang’ dalam dunia medis yang begitu keras dan harus dibayar dengan banyaknya korban berjatuhan (terlepas dari perannya sebagai dewa penyembuh yang diagung-agungkan sejak dulu).
Setiap tahun di perguruan tinggi banyak orang tua dan calon mahasiswa yang berlomba-lomba memasuki sekolah kedokteran karena konsep yang ada di pikiran mereka bahwa studi di bangku kedokteran lebih menjanjikan, entah itu secara finansial atau prestise. Kekeliruan dalam pola berpikir inilah dan ditambah lagi dengan ketidakmampuan para praktisi dunia medis memikirkan sesuatu yang lebih mulia dan agung, dan hanya sekedar memikirkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, melahirkan banyak masalah dalam dunia medis kita. Beberapa waktu lalu, Unsrat pernah disibukkan dengan adanya hearing yang dilakukan oleh para wakil rakyat di DPR dan mantan rektor untuk mempertanyakan biaya masuk Unsrat yang ‘menggila’, lebih khusus biaya kedokteran (tapi tidak pernah tuntas dikembangkan sebagai masalah serius karena kemungkinan ada permainan di balik layar). Walau sarat dengan begitu banyak penyimpangan dalam penerimaan mahasiswa, tapi masih banyak juga orang tua yang mau menyekolahkan anaknya. Ini sesuatu yang patut diacungkan jempol dan membanggakan ataukah tidak lebih dari sekedar pemahaman yang keliru yang merambah dunia kesehatan? Bagaimana tidak, dengan berbagai kapasitas yang tidak memadai kita dipaksakan untuk mendidik kandidat praktisi medis yang kita tahu sendiri kualitas manusianya yang begitu terbatas; bukan hanya pada tingkatan penguasaan ilmunya semata tapi lebih pada ketidakmampuan kita melihat makna dalam dunia medis itu sendiri. Saya tidak sedang berusaha melontarkan pesimisme sesaat dan sepihak, tapi ini adalah analisa saya sebagai bagian dari kepedulian saya terhadap dunia yang membesarkan saya di perguruan tinggi dan juga perkembangan yang terjadi di dunia medis saat ini.
Pengalaman dari masa lalu dan masa kini
Ijinkan saya mengutip pengalaman dari salah satu praktisi medis, dokter ilmuwan dan penulis buku David Simon, MD mengenai ketidakpuasan yang semakin besar terhadap sistem kesehatan modern kita. “Sejak kuliah kedokteran hampir 25 tahun yang lalu, saya merasa tidak puas dengan pendekatan yang berlaku terhadap kesehatan dan penyakit. Harapan saya sungguh besar ketika kuliah kedokteran, namun ternyata kuliah saya mengecewakan. Saya menginginkan dan mengharapkan diajarkan prinsip-prinsip kesehatan yang sakral. Ternyata saya hanya belajar tentang aspek-aspek menarik dari penyakit. Saya mengharapkan belajar dari para professor kedokteran yang meneladani kerendahan hati dan belas kasih, ternyata saya melihat mereka dihormati terutama karena keterampilan mereka memecahkan masalah, seolah-olah kesembuhan merupakan salah satu cabang dari perekayasaan mekanik. Terkadang saya sangat kecewa bahwa gagasan tentang manusia sebagai ciptaan yang sepenuhnya sadar, yang secara spiritual sadar, telah hilang sama sekali dari model kedokteran tentang kehidupan dan kesehatan”.
Saya tidak tahu apakah pengalaman di atas juga dirasakan oleh sebagian besar kita yang berkecimpung di dunia medis ataukah kita merasa aman dalam zona kenyamanan kita sendiri. Sedangkan di luar sana begitu banyak persoalan medis yang kita hadapi, bukan pada tingkatan keilmuan tapi lebih cenderung kepada persoalan etika. Jika kita selalu menganggap orientasi kita ditujukan terutama pada kepentingan ilmu kedokteran semata dengan segala pernak-pernik teknologi dan kecanggihan peralatan medis dan obat-obatan, maka kita akan merasa dikecewakan dengan sudut pandang ini. Juga sudah jelas sekarang bahwa merawat penyakit dengan pendekatan yang murni mekanistik seringkali menabur benih penyakit untuk masa mendatang. Di Amerika Serikat sendiri, sebagai negara dengan tingkat perawatan kedokteran paling canggih di dunia, diperkirakan bahwa setiap tahunnya lebih dari 1,5 juta orang menderita infeksi setelah dirawat di rumah sakit, dan beribu-ribu orang meninggal karena bakteri yang sudah kebal terhadap antibiotic. Biaya merawat infeksi iatrogenik atau yang berhubungan dengan perawatan di rumah sakit ini diperkirakan mencapai 3 miliar dolar per tahunnya. Lebih pergeseran fokus persepsi. Pergeseran fokus dan tanggungjawab dari diagnosis intuitif ke hasil-hasil tes yang terukur telah mentransformasikan sekaligus menghilangkan basa-basi yang dahulunya demikian penting dalam seni penyembuhan sang dokter. Di dalam istilah yang lebih filosofis, bukannya memandang sang pasien sebagai sesama manusia, sang pasien terancam menjadi objek di mata sang dokter. Hal ini bukan saja merampas keberadaan hakiki sang pasien, melainkan juga memutuskan sang dokter sendiri dari sumber kehidupan serta kasih di dalam karyanya.
Sebagian besar kekecewaan publik terhadap dunia medis modern terletak pada gagalnya para praktisi medis untuk mengakui pentingnya makna dalam kehidupan serta penyakit-penyakit pasien mereka. Para ilmuwan mulai menemukan fakta yang menyakitkan: seberapa efektif pun dunia medis modern itu, kalau ia tidak menghormati tempat makna dalam penyakit, bisa-bisa ia kehilangan simpati dari mereka-mereka yang dilayaninya. Kalau kita mau sekolah-sekolah medis kita kembali menghasilkan penyembuh-penyembuh, mereka harus mendorong transformasi kehidupan batiniah dari para siswanya yang mempercayakan diri mereka kepada proses pendidikannya. Sebagian besar kita yang hidup di kalangan medis telah melupakan sejarah mula-mula dan tujuan luhur ilmu kedokteran itu sendiri seperti yang diproklamirkan oleh Hipocrates. Penekanan ilmu kedokteran tidak lagi menjadi persoalan sosial yang dikedepankan tapi sebaliknya industri dan bisnislah yang menguasai kita. Inilah penyebab mengapa kita telah menggeserkan peran praktisi medis ke arah yang kalau boleh dibilang kurang manusiawi dan menyebabkan kekecewaan publik terhadap kita. Lewis Thomas, yang pernah disebut sebagai dokter yang paling didengarkan di Amerika memberikan petunjuk tentang apa yang telah hilang dan perlu ditemukan kembali, bukan saja dalam dunia medis melainkan juga dalam masyarakat kita pada umumnya. Dia mengatakan, “seharusnya sekarang ini adalah saman terbaik untuk pikiran manusia, tetapi nyatanya tidak; kita sama sekali tidak benar-benar memahami alam. Memang kemajuan kita sudah cukup besar, tetapi hanya cukup untuk menyadari ketidaktahuan kita. Sepenuhnya tidak tahu apa-apa itu ternyata tidaklah seburuk itu; yang sulit adalah menuju pengetahuan sejati. Cukup jauh untuk menyadari bahwa kita tidak tahu apa-apa. Sungguh memalukan dan menekan, dan itulah salah satu masalah kita saman sekarang. Kita membutuhkan ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan yang lebih banyak dan lebih baik, bukan demi teknologinya, bukan demi waktu luang, bahkan bukan pula demi kesehatan atau umur panjang, melainkan demi pengharapan akan hikmat yang harus diraih kebudayaan kita demi kelangsungan hidupnya”.
Dunia medis modern telah menjadi salah satu profesi yang paling kekurangan gizi rohani dalam masyarakat kita. Karena kita telah demikian tidak mengakui komponen rohani dalam penyembuhan. Dokter itu mempunyai kebutuhan rohani seperti orang lainnya, dan kami telah membayar harga yang sangat mahal karena mengabaikannya. Pokoknya sangat tidak enak berpraktek medis seolah-olah yang penting itu hanyalah yang fisik; ada sesuatu yang rasanya kurang dan tidak lengkap. Dalam dunia medis berteknologi tinggi sehari-hari yang hiruk pikuk, sungguh mudah kita melupakan empati dan kasih. Empati secara khusus menunjukkan kemampuan para dokter untuk membayangkan bahwa mereka menjadi pasien yang datang meminta tolong kepada mereka”. Empati adalah kemampuan untuk turut merasakan perasaan serta emosi-emosi sesama. Kalau toh kita melupakan kasih, maka rumah sakit itu bisa menjadi rumah yang mengerikan. Di dunia medis modern ada kecenderungan untuk memandang kasih sebagai sesuatu yang menghalangi pendekatan rasional terhadap perawatan pasien. Ini adalah salah perhitungan yang serius.
Andre Malraux, novelis Perancis yang pernah menjabat menteri kebudayaan Perancis mengatakan bahwa abad ke-21 akan menjadi abad yang rohani atau tidak sama sekali. Dunia medis juga demikian, akan dirohaniakan kembali atau tidak sama seklai, setidaknya bukan dalam bentuk yang tidak kita inginkan. Tetapi ada pengharapan besar, dan riset ilmiah tentang efek-efek doa, empati dan kasih yang menyembuhkan, yang baik untuk merohaniakan dunia medis kembali. Dunia pendidikan harus cepat bergerak dan mengambil peran lebih besar menyikapi hal ini untuk mengatasi krisis spiritual yang terjadi dalam dunia medis kita. Dari 125 sekolah kedokteran di Amerika, ada sekitar 85 sekolah kedokteran yang sudah menekankan pada bidang kerohaniaan yang lebih besar lagi. Lalu kapan sekolah medis kita bergerak ke arah sana? Tantangan dari pertanyaan itu hanya bisa dijawab oleh komunitas medis kita dan masyarakat yang mengawasi dan menilainya. Semoga Tuhan membantu kita lebih memanusiakan manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar