Minggu, 08 Agustus 2010

“PENCERAHAN DUNIA PENDIDIKAN”

“Saya sudah tidak mau lagi bersikap ketat. Yang saya inginkan hanyalah menjadi benar”
(Stephen Hawking)


Dalam bukunya “Multiple Intelligence” yang sangat menggemparkan dunia, Howard Gardner menggambarkan bahwa sejumlah riset yang dilakukan oleh para peneliti beberapa dekade yang lalu memberikan fakta yang amat menggoyahkan kemapanan yaitu: sebagian besar mahasiswa di Amerika Serikat, dan sejauh yang dapat dikatakan, sebagian besar mahasiswa di Negara-negara industri lain tidak memahami materi yang diajarkan kepada mereka di sekolah. Artinya, ketika diperhadapkan pada situasi yang tidak dikenal, pada umumnya mereka tidak mampu menggunakan konsep yang tepat dari sekolah, bahkan seandainya mereka adalah mahasiswa yang baik. Bukti nyata, terjadi dalam fisika: mahasiswa yang menerima nilai tinggi dalam fisika di lembaga yang disegani seperti MIT dan John Hopkin tidak mampu menerapkan pengetahuan mereka di kelas untuk menyiasati atau mendemonstrasikan yang dihadapi di luar sekolah (mereka sering menjawab dengan cara yang sama seperti anak berumur lima tahun yang belum sekolah). Ketika belajar dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi, ada begitu banyak orang mengira bahwa mereka sudah menjadi orang pintar dengan menguasai banyak hal, secara khusus pada bidang yang ditekuninya. Tapi sesungguhnya, ilmu yang mereka dapatkan hanya memperkuat fakta bahwa mereka tidak mengerti banyak apa yang diajarkan di sekolah dan perguruan tinggi. Alasannya sederhana: mereka tidak dapat menjelaskan begitu banyak fenomena yang terjadi di sekitarnya. Mengapa hal ini bisa terjadi? Ini disebabkan karena para praktisi pendidikan saat ini lebih mementingkan nilai dan hasil yang dicapai tanpa mempedulikan bagaimana proses pendalaman materi itu diarahkan pada pemahaman dan upaya membuat sesuatu yang diajarkan mudah dimengerti dan dikembangkan. Sekolah-sekolah kita terjebak dalam pola pendidikan yang kaku, dimana hampir sebagian besar anak didik diarahkan untuk mencapai hasil akademik yang maksimal tanpa mempedulikan berbagai kecerdasan lain di luar kecerdasan akademik. Salah satunya adalah kecerdasan emosi. Ada begitu banyak orang tua yang bangga dengan prestasi akademik anaknya di sekolah tanpa melihat apakah hasil yang dicapai anaknya adalah proses yang murni diperoleh berdasarkan kecerdasan majemuk seperti yang dikemukakan oleh Gardner di atas, ataukah hanyalah ilusi pendidikan formal yang diajarkan secara kaku, sehingga mematikan sendi-sendi dari suatu inovasi dan kreativitas. Yang justru harus dikembangkan lebih jauh lagi di sekolah-sekolah kita atau universitas-universitas adalah kecerdasan emosi yang sungguh masih terlihat jauh di dalam lingkup akademisi kita.
            Proses pencerahan dunia pendidikan harus segera dimulai saat ini juga kalau kita mau sekolah dan universitas kita keluar dari ‘penjara intelektual’ yang miskin akan kecerdasan emosional dan sosialnya. Para guru dan dosen hendaknya tidak hanya berlomba ‘mencetak’ manusia-manusia yang pintar dari segi akademik, tapi bagaimana mengoptimalkan kepribadian mereka menjadi manusia yang lebih berakhlak baik, sehingga nantinya terjun ke masyarakat, mereka akan mengerti dan tahu apa yang harus dilakukan dan mengerti tanggungjawab yang dibebankan di pundak mereka. Di sini, saya berusaha membawa pembaca sekalian, komunitas akademisi dan masyarakat secara keseluruhan untuk menyadari bahwa tugas pendidikan formal seperti sekolah dan universitas perannya tidak sejauh yang kita pikirkan. Sebagai contoh, para lulusan sekolah dan perguruan tinggi yang memiliki nilai akademik yang baik di sekolah dan kampus, ketika berusaha mencari pekerjaan, mereka belum tentu mendapat pekerjaan yang layak dan seperti yang mereka inginkan. Menurut Goleman, hanya sekitar 20% pengaruh IQ (kecerdasan akademik) pada kesuksesan seseorang, sedangkan 80% sisanya dipengaruhi oleh EQ (kecerdasan emosinya). Ada dua kisah yang ingin saya ceritakan disini, yang saya kutip dari bukunya Anthony Dio Martin berjudul Emotional Quality Management, yang membuktikan betapa Kecerdasan emosi nilainya lebih tinggi daripada kecerdasan akademik dalam konteks kehidupan sehari-hari yang dihadapi oleh mereka-mereka yang lulus dari universitas. Seorang wanita, sarjana teknik informatika dengan predikat “summa cum laude” dari universitas yang paling terkenal di Jakarta. Transkrip nilainya karena begitu gemilangnya, hanya dengan sekedar wawancara formalitas ia diterima bekerja, bergabung dengan tim pembuat sistem aplikasi manajemen di perusahaan tersebut. Namun, setelah mulai bekerja, muncul banyak masalah. Gadis ‘cerdas’ ini sering meremehkan teman sekantornya, merasa diri lebih hebat, tak mau membantu kesulitan teman dan terlalu suka mengatur. Dia tidak terlalu peduli dengan orang lain di sekitarnya. Ketika dalam suatu konseling disampaikan keluhan tentang sikapnya ini, gadis ini malah berkata, “Saya bisa menyelesaikan seluruh program ini sendirian, kok. Saya pikir, mereka yang berkomentar tentang saya, cuma karena iri saja”. nyaris ia gagal melalui masa percobaan kerja selama tiga bulan pertama. Kisah lain, seorang pejabat senior di sebuah perusahaan konsultan di Indonesia punya masalah dengan salah seorang stafnya. Karyawannya ini sebenarnya tergolong pintar, lulus cum laude dari universitas di Australia, tetapi selalu bermasalah dengan klien mereka. Sampai suatu saat, si pejabat senior ini menerima surat dari seorang CEO perusahaan klien yang berisi ancaman penghentian kontrak kerja jika ia tak mau menarik staf yang bermasalah tersebut dari proyek yang sedang dikerjakannya di perusahaan CEO tersebut. Kontan saja ia memenuhi permintaan tersebut.
            Pendidikan seharusnya tidak bersikap ketat dengan membebankan tanggungjawab lebih besar pada prestasi akademik, sehingga apa yang dikemukakan oleh Hawking bahwa kita tidak harus lagi bersikap ketat, tapi yang kita perlukan hanyalah menjadi benar, dapat termaknai secara mendalam dalam konteks filosofis. Peran kita dalam dunia pendidikan hendaknya tidak dibatasi oleh sekat-sekat ‘kesombongan intelektualitas’ yang mematikan karya kita untuk turut mencerdaskan bangsa. Kita baru merayakan kemerdekaan RI yang ke-64, tapi kita belum merdeka dari belenggu penjajahan pendidikan jaman modern (yang seharusnya memerdekakan kita). Universitas belum mampu mengangkat harkat dan martabat pendidikan ke tempat yang semestinya yaitu menjadi lembaga penyuplai sumberdaya-sumberdaya yang mumpuni. Setelah diwisuda tanggal 20 Agustus ini, kita dapat melihat apakah sarjana-sarjana lulusan Unsrat dapat bertarung dalam dunia kerja dan kehidupannya di masyarakat ataukah hanya menjadi penonton saja di era globalisasi yang menuntut persaingan semakin ketat. Sebagai institusi, tanggungjawab moral Unsrat harusnya begitu besar dalam mendorong kecerdasan majemuk untuk ditransformasi ke dalam kehidupan nyata bukan hanya menetapkan jumlah maupun predikat kelulusan dan bukan pula hanya melepas para ‘cendekiawan’ ini seperti gerombolan manusia yang tanpa kompas. Tujuan lembaga pendidikan seharusnya dapat mengarahkan alumni-alumninya menuju arah yang benar dalam dunia kompetisi, karena kita dihadirkan sebagai para pemenang ‘a champion’. Bukan hanya kompetisi dalam dunia kerja tapi juga berkompetisi menuju personalitas yang bermoral. Sehingga pada akhirnya, tujuan pendidikan benar-benar dapat tercerahkan karena kita dapat melihat hasil yang optimal dalam berbagai situasi yang kompetitif.
            Saya bukannya hendak mencela dunia pendidikan sekarang, namun sebagai lulusan magister saya berasumsi bahwa pendidikan sekarang kurang bisa mengembangkan kapasitasnya sebagai institusi pendidik yang inovatif, kreatif dan berpikir kritis. Bagaimana tidak, pola-pola lama dalam proses pengajaran masih dipegang teguh oleh para pendidik yang tidak mampu mendongkrak pola pikir terbuka dari para siswa/mahasiswa. Dalam dunia pendidikan, semua elemen didalamnya seolah-olah merasa dirinya yang benar dan hal-hal yang ilmiah senantiasa didewa-dewakan karena pemikirannya yang terstruktur dan sistematis (yang biasa kita kenal dengan metode ilmiah). Namun tidak pernahkah anda tahu bahwa dalam dunia inovasi, mereka-mereka yang berada di luar jalur pendidikan (tidak sekolah formal) menjadi penemu-penemu yang paling penting dalam sejarah peradaban pengetahuan dan umat manusia? Bertolak dari sejarah dan latar belakang seperti itulah, maka nampaknya bagi seorang jenius seperti Eisntein tidak segan-segan mengemukakan bahwa pendidikan yang dia dapat hanya menghalangi jiwa kreativitasnya sehingga Einstein dapat dengan mudah berpikir keluar dari nilai-nilai pendidikan formal. Paul Maeder adalah pendiri perusahaan investasi yang sangat terpandang di Highland Capital. Dialah orang yang menemukan cara yang hebat dalam menganalisa sampel feses untuk penyakit kanker usus besar. Ini benar-benar penemuan yang luar biasa. Nah, mengapa gagasan itu bisa terpikir olehnya? Jawabannya, karena dia bukan seorang dokter. Saya tidak mengatakan bahwa Maeder pikir pendidikan itu buruk; dia akan menjadi contoh yang bertentangan kalau begitu. Namun, Maeder jelas memandang pendidikan bisa membatasi kreativitas. Mengapa begitu? Melalui sekolah, mentor, dan budaya organisasi, pendidikan cenderung hanya berfokus pada hal-hal yang dianggap valid oleh sebuah bidang. Contohnya, jika anda ingin menjadi dokter medis yang hebat, ada aturan-aturan yang harus anda kuasai. Pendidikan yang bagus akan mengajari anda aturan-aturan ini. Anda mempelajari apa yang disimpulkan oleh para pakar dan pemikir sebelumnya untuk membangun keahlian anda sendiri.
            Belajar berbagai hal sebanyak mungkin tanpa terikat dalam cara berpikir tertentu tentang hal-hal itu, haruslah kita pikirkan untuk ditransformasikan dalam kehidupan sehari-hari. Alan Leshner, CEO American Association for the Advancement of Science (organisasi ilmu pengetahuan terbesar di dunia dan lebih dari satu juta orang di seluruh dunia membaca jurnalnya, Science setiap minggu), salah seorang yang paling berpengaruh dan berkoneksi luas dalam masyarakat ilmiah menyimpulkan bahwa “Ilmu disiplin tunggal sudah mati”. Leshner melihat banyak bukti untuk kesimpulan seperti itu. Menurutnya, kebanyakan kemajuan besar melibatkan berbagai disiplin. Ini artinya, jika kita hanya memandang disiplin ilmu kita sebagai ilmu yang paling hebat dan terkemuka dalam lingkup akademisi, sehingga banyak mahasiswa yang berbondong-bondong fokus pada satu fakultas dan meraih keuntungan lebih, maka ini merupakan pandangan utopis yang sulit diterima dalam dunia science global. Tentu saja, kita tidak mau beramai-ramai membelakangi sudut pandang baru untuk berubah hanya karena kita tidak tahu sama sekali makna pendidikan dalam arti yang lebih luas, bukan? Semoga pendidikan kita terus berubah menuju kemajuan yang lebih baik dan menuju pencerahan, sehingga kita dapat mewarisi tradisi kepribadian yang baik, jiwa kompetisi, pemikiran kritis yang lebih baik dan menjadi manusia unggul di berbagai lini kehidupan kepada anak cucu kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar