Minggu, 08 Agustus 2010

“PENCERAHAN DUNIA PENDIDIKAN”

“Saya sudah tidak mau lagi bersikap ketat. Yang saya inginkan hanyalah menjadi benar”
(Stephen Hawking)


Dalam bukunya “Multiple Intelligence” yang sangat menggemparkan dunia, Howard Gardner menggambarkan bahwa sejumlah riset yang dilakukan oleh para peneliti beberapa dekade yang lalu memberikan fakta yang amat menggoyahkan kemapanan yaitu: sebagian besar mahasiswa di Amerika Serikat, dan sejauh yang dapat dikatakan, sebagian besar mahasiswa di Negara-negara industri lain tidak memahami materi yang diajarkan kepada mereka di sekolah. Artinya, ketika diperhadapkan pada situasi yang tidak dikenal, pada umumnya mereka tidak mampu menggunakan konsep yang tepat dari sekolah, bahkan seandainya mereka adalah mahasiswa yang baik. Bukti nyata, terjadi dalam fisika: mahasiswa yang menerima nilai tinggi dalam fisika di lembaga yang disegani seperti MIT dan John Hopkin tidak mampu menerapkan pengetahuan mereka di kelas untuk menyiasati atau mendemonstrasikan yang dihadapi di luar sekolah (mereka sering menjawab dengan cara yang sama seperti anak berumur lima tahun yang belum sekolah). Ketika belajar dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi, ada begitu banyak orang mengira bahwa mereka sudah menjadi orang pintar dengan menguasai banyak hal, secara khusus pada bidang yang ditekuninya. Tapi sesungguhnya, ilmu yang mereka dapatkan hanya memperkuat fakta bahwa mereka tidak mengerti banyak apa yang diajarkan di sekolah dan perguruan tinggi. Alasannya sederhana: mereka tidak dapat menjelaskan begitu banyak fenomena yang terjadi di sekitarnya. Mengapa hal ini bisa terjadi? Ini disebabkan karena para praktisi pendidikan saat ini lebih mementingkan nilai dan hasil yang dicapai tanpa mempedulikan bagaimana proses pendalaman materi itu diarahkan pada pemahaman dan upaya membuat sesuatu yang diajarkan mudah dimengerti dan dikembangkan. Sekolah-sekolah kita terjebak dalam pola pendidikan yang kaku, dimana hampir sebagian besar anak didik diarahkan untuk mencapai hasil akademik yang maksimal tanpa mempedulikan berbagai kecerdasan lain di luar kecerdasan akademik. Salah satunya adalah kecerdasan emosi. Ada begitu banyak orang tua yang bangga dengan prestasi akademik anaknya di sekolah tanpa melihat apakah hasil yang dicapai anaknya adalah proses yang murni diperoleh berdasarkan kecerdasan majemuk seperti yang dikemukakan oleh Gardner di atas, ataukah hanyalah ilusi pendidikan formal yang diajarkan secara kaku, sehingga mematikan sendi-sendi dari suatu inovasi dan kreativitas. Yang justru harus dikembangkan lebih jauh lagi di sekolah-sekolah kita atau universitas-universitas adalah kecerdasan emosi yang sungguh masih terlihat jauh di dalam lingkup akademisi kita.
            Proses pencerahan dunia pendidikan harus segera dimulai saat ini juga kalau kita mau sekolah dan universitas kita keluar dari ‘penjara intelektual’ yang miskin akan kecerdasan emosional dan sosialnya. Para guru dan dosen hendaknya tidak hanya berlomba ‘mencetak’ manusia-manusia yang pintar dari segi akademik, tapi bagaimana mengoptimalkan kepribadian mereka menjadi manusia yang lebih berakhlak baik, sehingga nantinya terjun ke masyarakat, mereka akan mengerti dan tahu apa yang harus dilakukan dan mengerti tanggungjawab yang dibebankan di pundak mereka. Di sini, saya berusaha membawa pembaca sekalian, komunitas akademisi dan masyarakat secara keseluruhan untuk menyadari bahwa tugas pendidikan formal seperti sekolah dan universitas perannya tidak sejauh yang kita pikirkan. Sebagai contoh, para lulusan sekolah dan perguruan tinggi yang memiliki nilai akademik yang baik di sekolah dan kampus, ketika berusaha mencari pekerjaan, mereka belum tentu mendapat pekerjaan yang layak dan seperti yang mereka inginkan. Menurut Goleman, hanya sekitar 20% pengaruh IQ (kecerdasan akademik) pada kesuksesan seseorang, sedangkan 80% sisanya dipengaruhi oleh EQ (kecerdasan emosinya). Ada dua kisah yang ingin saya ceritakan disini, yang saya kutip dari bukunya Anthony Dio Martin berjudul Emotional Quality Management, yang membuktikan betapa Kecerdasan emosi nilainya lebih tinggi daripada kecerdasan akademik dalam konteks kehidupan sehari-hari yang dihadapi oleh mereka-mereka yang lulus dari universitas. Seorang wanita, sarjana teknik informatika dengan predikat “summa cum laude” dari universitas yang paling terkenal di Jakarta. Transkrip nilainya karena begitu gemilangnya, hanya dengan sekedar wawancara formalitas ia diterima bekerja, bergabung dengan tim pembuat sistem aplikasi manajemen di perusahaan tersebut. Namun, setelah mulai bekerja, muncul banyak masalah. Gadis ‘cerdas’ ini sering meremehkan teman sekantornya, merasa diri lebih hebat, tak mau membantu kesulitan teman dan terlalu suka mengatur. Dia tidak terlalu peduli dengan orang lain di sekitarnya. Ketika dalam suatu konseling disampaikan keluhan tentang sikapnya ini, gadis ini malah berkata, “Saya bisa menyelesaikan seluruh program ini sendirian, kok. Saya pikir, mereka yang berkomentar tentang saya, cuma karena iri saja”. nyaris ia gagal melalui masa percobaan kerja selama tiga bulan pertama. Kisah lain, seorang pejabat senior di sebuah perusahaan konsultan di Indonesia punya masalah dengan salah seorang stafnya. Karyawannya ini sebenarnya tergolong pintar, lulus cum laude dari universitas di Australia, tetapi selalu bermasalah dengan klien mereka. Sampai suatu saat, si pejabat senior ini menerima surat dari seorang CEO perusahaan klien yang berisi ancaman penghentian kontrak kerja jika ia tak mau menarik staf yang bermasalah tersebut dari proyek yang sedang dikerjakannya di perusahaan CEO tersebut. Kontan saja ia memenuhi permintaan tersebut.
            Pendidikan seharusnya tidak bersikap ketat dengan membebankan tanggungjawab lebih besar pada prestasi akademik, sehingga apa yang dikemukakan oleh Hawking bahwa kita tidak harus lagi bersikap ketat, tapi yang kita perlukan hanyalah menjadi benar, dapat termaknai secara mendalam dalam konteks filosofis. Peran kita dalam dunia pendidikan hendaknya tidak dibatasi oleh sekat-sekat ‘kesombongan intelektualitas’ yang mematikan karya kita untuk turut mencerdaskan bangsa. Kita baru merayakan kemerdekaan RI yang ke-64, tapi kita belum merdeka dari belenggu penjajahan pendidikan jaman modern (yang seharusnya memerdekakan kita). Universitas belum mampu mengangkat harkat dan martabat pendidikan ke tempat yang semestinya yaitu menjadi lembaga penyuplai sumberdaya-sumberdaya yang mumpuni. Setelah diwisuda tanggal 20 Agustus ini, kita dapat melihat apakah sarjana-sarjana lulusan Unsrat dapat bertarung dalam dunia kerja dan kehidupannya di masyarakat ataukah hanya menjadi penonton saja di era globalisasi yang menuntut persaingan semakin ketat. Sebagai institusi, tanggungjawab moral Unsrat harusnya begitu besar dalam mendorong kecerdasan majemuk untuk ditransformasi ke dalam kehidupan nyata bukan hanya menetapkan jumlah maupun predikat kelulusan dan bukan pula hanya melepas para ‘cendekiawan’ ini seperti gerombolan manusia yang tanpa kompas. Tujuan lembaga pendidikan seharusnya dapat mengarahkan alumni-alumninya menuju arah yang benar dalam dunia kompetisi, karena kita dihadirkan sebagai para pemenang ‘a champion’. Bukan hanya kompetisi dalam dunia kerja tapi juga berkompetisi menuju personalitas yang bermoral. Sehingga pada akhirnya, tujuan pendidikan benar-benar dapat tercerahkan karena kita dapat melihat hasil yang optimal dalam berbagai situasi yang kompetitif.
            Saya bukannya hendak mencela dunia pendidikan sekarang, namun sebagai lulusan magister saya berasumsi bahwa pendidikan sekarang kurang bisa mengembangkan kapasitasnya sebagai institusi pendidik yang inovatif, kreatif dan berpikir kritis. Bagaimana tidak, pola-pola lama dalam proses pengajaran masih dipegang teguh oleh para pendidik yang tidak mampu mendongkrak pola pikir terbuka dari para siswa/mahasiswa. Dalam dunia pendidikan, semua elemen didalamnya seolah-olah merasa dirinya yang benar dan hal-hal yang ilmiah senantiasa didewa-dewakan karena pemikirannya yang terstruktur dan sistematis (yang biasa kita kenal dengan metode ilmiah). Namun tidak pernahkah anda tahu bahwa dalam dunia inovasi, mereka-mereka yang berada di luar jalur pendidikan (tidak sekolah formal) menjadi penemu-penemu yang paling penting dalam sejarah peradaban pengetahuan dan umat manusia? Bertolak dari sejarah dan latar belakang seperti itulah, maka nampaknya bagi seorang jenius seperti Eisntein tidak segan-segan mengemukakan bahwa pendidikan yang dia dapat hanya menghalangi jiwa kreativitasnya sehingga Einstein dapat dengan mudah berpikir keluar dari nilai-nilai pendidikan formal. Paul Maeder adalah pendiri perusahaan investasi yang sangat terpandang di Highland Capital. Dialah orang yang menemukan cara yang hebat dalam menganalisa sampel feses untuk penyakit kanker usus besar. Ini benar-benar penemuan yang luar biasa. Nah, mengapa gagasan itu bisa terpikir olehnya? Jawabannya, karena dia bukan seorang dokter. Saya tidak mengatakan bahwa Maeder pikir pendidikan itu buruk; dia akan menjadi contoh yang bertentangan kalau begitu. Namun, Maeder jelas memandang pendidikan bisa membatasi kreativitas. Mengapa begitu? Melalui sekolah, mentor, dan budaya organisasi, pendidikan cenderung hanya berfokus pada hal-hal yang dianggap valid oleh sebuah bidang. Contohnya, jika anda ingin menjadi dokter medis yang hebat, ada aturan-aturan yang harus anda kuasai. Pendidikan yang bagus akan mengajari anda aturan-aturan ini. Anda mempelajari apa yang disimpulkan oleh para pakar dan pemikir sebelumnya untuk membangun keahlian anda sendiri.
            Belajar berbagai hal sebanyak mungkin tanpa terikat dalam cara berpikir tertentu tentang hal-hal itu, haruslah kita pikirkan untuk ditransformasikan dalam kehidupan sehari-hari. Alan Leshner, CEO American Association for the Advancement of Science (organisasi ilmu pengetahuan terbesar di dunia dan lebih dari satu juta orang di seluruh dunia membaca jurnalnya, Science setiap minggu), salah seorang yang paling berpengaruh dan berkoneksi luas dalam masyarakat ilmiah menyimpulkan bahwa “Ilmu disiplin tunggal sudah mati”. Leshner melihat banyak bukti untuk kesimpulan seperti itu. Menurutnya, kebanyakan kemajuan besar melibatkan berbagai disiplin. Ini artinya, jika kita hanya memandang disiplin ilmu kita sebagai ilmu yang paling hebat dan terkemuka dalam lingkup akademisi, sehingga banyak mahasiswa yang berbondong-bondong fokus pada satu fakultas dan meraih keuntungan lebih, maka ini merupakan pandangan utopis yang sulit diterima dalam dunia science global. Tentu saja, kita tidak mau beramai-ramai membelakangi sudut pandang baru untuk berubah hanya karena kita tidak tahu sama sekali makna pendidikan dalam arti yang lebih luas, bukan? Semoga pendidikan kita terus berubah menuju kemajuan yang lebih baik dan menuju pencerahan, sehingga kita dapat mewarisi tradisi kepribadian yang baik, jiwa kompetisi, pemikiran kritis yang lebih baik dan menjadi manusia unggul di berbagai lini kehidupan kepada anak cucu kita.

Kamis, 05 Agustus 2010

KRISIS SPIRITUAL DUNIA MEDIS

Sering kita mendengar di rumah sakit bahkan di klinik terjadi masalah di mana tuntutan  medis menghiasi begitu banyak surat kabar dan menanamkan opini di masyarakat bahwa para praktisi medis hanyalah manusia biasa yang bisa saja berbuat kesalahan. Terlampau banyak kasus yang mengemuka di hadapan publik dan dunia kesehatan yang agak sulit dibendung dari waktu ke waktu karena kita terlampau sering melupakan satu hal yang sangat fundamental yaitu spiritualitas dunia medis. Para professional kesehatan begitu terlatih secara teknis dan ilmiah dalam proses pendidikan dan prakteknya, tapi tidak dipersiapkan secara rohani dan mental ‘berperang’ dalam dunia medis yang begitu keras dan harus dibayar dengan banyaknya korban berjatuhan (terlepas dari perannya sebagai dewa penyembuh yang diagung-agungkan sejak dulu).
            Setiap tahun di perguruan tinggi banyak orang tua dan calon mahasiswa yang berlomba-lomba memasuki sekolah kedokteran karena konsep yang ada di pikiran mereka bahwa studi di bangku kedokteran lebih menjanjikan, entah itu secara finansial atau prestise. Kekeliruan dalam pola berpikir inilah dan ditambah lagi dengan ketidakmampuan para praktisi dunia medis memikirkan sesuatu yang lebih mulia dan agung, dan hanya sekedar memikirkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, melahirkan banyak masalah dalam dunia medis kita. Beberapa waktu lalu, Unsrat pernah disibukkan dengan adanya hearing yang dilakukan oleh para wakil rakyat di DPR dan mantan rektor untuk mempertanyakan biaya masuk Unsrat yang ‘menggila’, lebih khusus biaya kedokteran (tapi tidak pernah tuntas dikembangkan sebagai masalah serius karena kemungkinan ada permainan di balik layar). Walau sarat dengan begitu banyak penyimpangan dalam penerimaan mahasiswa, tapi masih banyak juga orang tua yang mau menyekolahkan anaknya. Ini sesuatu yang patut diacungkan jempol dan membanggakan ataukah tidak lebih dari sekedar pemahaman yang keliru yang merambah dunia kesehatan? Bagaimana tidak, dengan berbagai kapasitas yang tidak memadai kita dipaksakan untuk mendidik kandidat praktisi medis yang kita tahu sendiri kualitas manusianya yang begitu terbatas; bukan hanya pada tingkatan penguasaan ilmunya semata tapi lebih pada ketidakmampuan kita melihat makna dalam dunia medis itu sendiri. Saya tidak sedang berusaha melontarkan pesimisme sesaat dan sepihak, tapi ini adalah analisa saya sebagai bagian dari kepedulian saya terhadap dunia yang membesarkan saya di perguruan tinggi dan juga perkembangan yang terjadi di dunia medis saat ini.
Pengalaman dari masa lalu dan masa kini
            Ijinkan saya mengutip pengalaman dari salah satu praktisi medis, dokter ilmuwan dan penulis buku David Simon, MD mengenai ketidakpuasan yang semakin besar terhadap sistem kesehatan modern kita. “Sejak kuliah kedokteran hampir 25 tahun yang lalu, saya merasa tidak puas dengan pendekatan yang berlaku terhadap kesehatan dan penyakit. Harapan saya sungguh besar ketika kuliah kedokteran, namun ternyata kuliah saya mengecewakan. Saya menginginkan dan mengharapkan diajarkan prinsip-prinsip kesehatan yang sakral. Ternyata saya hanya belajar tentang aspek-aspek menarik dari penyakit. Saya mengharapkan belajar dari para professor kedokteran yang meneladani kerendahan hati dan belas kasih, ternyata saya melihat mereka dihormati terutama karena keterampilan mereka memecahkan masalah, seolah-olah kesembuhan merupakan salah satu cabang dari perekayasaan mekanik. Terkadang saya sangat kecewa bahwa gagasan tentang manusia sebagai ciptaan yang sepenuhnya sadar, yang secara spiritual sadar, telah hilang sama sekali dari model kedokteran tentang kehidupan dan kesehatan”.
            Saya tidak tahu apakah pengalaman di atas juga dirasakan oleh sebagian besar kita yang berkecimpung di dunia medis ataukah kita merasa aman dalam zona kenyamanan kita sendiri. Sedangkan di luar sana begitu banyak persoalan medis yang kita hadapi, bukan pada tingkatan keilmuan tapi lebih cenderung kepada persoalan etika. Jika kita selalu menganggap orientasi kita ditujukan terutama pada kepentingan ilmu kedokteran semata dengan segala pernak-pernik teknologi dan kecanggihan peralatan medis dan obat-obatan, maka kita akan merasa dikecewakan dengan sudut pandang ini. Juga sudah jelas sekarang bahwa merawat penyakit dengan pendekatan yang murni mekanistik seringkali menabur benih penyakit untuk masa mendatang. Di Amerika Serikat sendiri, sebagai negara dengan tingkat perawatan kedokteran paling canggih di dunia, diperkirakan bahwa setiap tahunnya lebih dari 1,5 juta orang menderita infeksi setelah dirawat di rumah sakit, dan beribu-ribu orang meninggal karena bakteri yang sudah kebal terhadap antibiotic. Biaya merawat infeksi iatrogenik atau yang berhubungan dengan perawatan di rumah sakit ini diperkirakan mencapai 3 miliar dolar per tahunnya. Lebih pergeseran fokus persepsi. Pergeseran fokus dan tanggungjawab dari diagnosis intuitif ke hasil-hasil tes yang terukur telah mentransformasikan sekaligus menghilangkan basa-basi yang dahulunya demikian penting dalam seni penyembuhan sang dokter. Di dalam istilah yang lebih filosofis, bukannya memandang sang pasien sebagai sesama manusia, sang pasien terancam menjadi objek di mata sang dokter. Hal ini bukan saja merampas keberadaan hakiki sang pasien, melainkan juga memutuskan sang dokter sendiri dari sumber kehidupan serta kasih di dalam karyanya.
            Sebagian besar kekecewaan publik terhadap dunia medis modern terletak pada gagalnya para praktisi medis untuk mengakui pentingnya makna dalam kehidupan serta penyakit-penyakit pasien mereka. Para ilmuwan mulai menemukan fakta yang menyakitkan: seberapa efektif pun dunia medis modern itu, kalau ia tidak menghormati tempat makna dalam penyakit, bisa-bisa ia kehilangan simpati dari mereka-mereka yang dilayaninya. Kalau kita mau sekolah-sekolah medis kita kembali menghasilkan penyembuh-penyembuh, mereka harus mendorong transformasi kehidupan batiniah dari para siswanya yang mempercayakan diri mereka kepada proses pendidikannya. Sebagian besar kita yang hidup di kalangan medis telah melupakan sejarah mula-mula dan tujuan luhur ilmu kedokteran itu sendiri seperti yang diproklamirkan oleh Hipocrates. Penekanan ilmu kedokteran tidak lagi menjadi persoalan sosial yang dikedepankan tapi sebaliknya industri dan bisnislah yang menguasai kita. Inilah penyebab mengapa kita telah menggeserkan peran praktisi medis ke arah yang kalau boleh dibilang kurang manusiawi dan menyebabkan kekecewaan publik terhadap kita. Lewis Thomas, yang pernah disebut sebagai dokter yang paling didengarkan di Amerika memberikan petunjuk tentang apa yang telah hilang dan perlu ditemukan kembali, bukan saja dalam dunia medis melainkan juga dalam masyarakat kita pada umumnya. Dia mengatakan, “seharusnya sekarang ini adalah saman terbaik untuk pikiran manusia, tetapi nyatanya tidak; kita sama sekali tidak benar-benar memahami alam. Memang kemajuan kita sudah cukup besar, tetapi hanya cukup untuk menyadari ketidaktahuan kita. Sepenuhnya tidak tahu apa-apa itu ternyata tidaklah seburuk itu; yang sulit adalah menuju pengetahuan sejati. Cukup jauh untuk menyadari bahwa kita tidak tahu apa-apa. Sungguh memalukan dan menekan, dan itulah salah satu masalah kita saman sekarang. Kita membutuhkan ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan yang lebih banyak dan lebih baik, bukan demi teknologinya, bukan demi waktu luang, bahkan bukan pula demi kesehatan atau umur panjang, melainkan demi pengharapan akan hikmat yang harus diraih kebudayaan kita demi kelangsungan hidupnya”.
            Dunia medis modern telah menjadi salah satu profesi yang paling kekurangan gizi rohani dalam masyarakat kita. Karena kita telah demikian tidak mengakui komponen rohani dalam penyembuhan. Dokter itu mempunyai kebutuhan rohani seperti orang lainnya, dan kami telah membayar harga yang sangat mahal karena mengabaikannya. Pokoknya sangat tidak enak berpraktek medis seolah-olah yang penting itu hanyalah yang fisik; ada sesuatu yang rasanya kurang dan tidak lengkap. Dalam dunia medis berteknologi tinggi sehari-hari yang hiruk pikuk, sungguh mudah kita melupakan empati dan kasih. Empati secara khusus menunjukkan kemampuan para dokter untuk membayangkan bahwa mereka menjadi pasien yang datang meminta tolong kepada mereka”. Empati adalah kemampuan untuk turut merasakan perasaan serta emosi-emosi sesama. Kalau toh kita melupakan kasih, maka rumah sakit itu bisa menjadi rumah yang mengerikan. Di dunia medis modern ada kecenderungan untuk memandang kasih sebagai sesuatu yang menghalangi pendekatan rasional terhadap perawatan pasien. Ini adalah salah perhitungan yang serius.
            Andre Malraux, novelis Perancis yang pernah menjabat menteri kebudayaan Perancis mengatakan bahwa abad ke-21 akan menjadi abad yang rohani atau tidak sama sekali. Dunia medis juga demikian, akan dirohaniakan kembali atau tidak sama seklai, setidaknya bukan dalam bentuk yang tidak kita inginkan. Tetapi ada pengharapan besar, dan riset ilmiah tentang efek-efek doa, empati dan kasih yang menyembuhkan, yang baik untuk merohaniakan dunia medis kembali. Dunia pendidikan harus cepat bergerak dan mengambil peran lebih besar menyikapi hal ini  untuk mengatasi krisis spiritual yang terjadi dalam dunia medis kita. Dari 125 sekolah kedokteran di Amerika, ada sekitar 85 sekolah kedokteran yang sudah menekankan pada bidang kerohaniaan yang lebih besar lagi. Lalu kapan sekolah medis kita bergerak ke arah sana? Tantangan dari pertanyaan itu hanya bisa dijawab oleh komunitas medis kita dan masyarakat yang mengawasi dan menilainya. Semoga Tuhan membantu kita lebih memanusiakan manusia.

Fenomena “Pungli” Apakah Kejahatan Terstruktur?

Dari sekian banyak persoalan kemasyarakatan yang berkembang luas di tengah masyarakat kita, ‘pungutan liar’ adalah salah satu fenomena yang mencuat dari waktu ke waktu. Tak peduli apakah itu institusi terhormat sampai pada masyarakat bawah, semuanya kena dampak kejam dari pungli ini. Dari asal kata bahasa Inggris ‘pungli’ yaitu toll or tariff collected without proper legal authority, artinya bea atau tarif yang didapat secara tidak sah. Bukankah ini diidentikkan dengan korupsi juga? Walaupun dalam skala yang kecil-kecilan tapi substansinya tetap sama. Persoalan pungli di masyarakat kita ini terus menggeliat sampai begitu meresahkan publik karena institusi yang seharusnya mempermudah masyarakat melakukan berbagai persoalan khususnya yang berkaitan dengan administrative, tidak mengayomi warganya dalam rangka mendapatkan kemudahan itu. Berbagai kasus pungli itu banyak kita lihat di berbagai tempat pemerintahan, bisnis dan banyak tempat lainnya. Bahkan lembaga terhormat sekelas DPR sendiri melakukan  aksi memalukan seperti ini, seperti menerima suap dari hasil pemerasan mereka yang sebenarnya melanggar undang-undang. Demikian pula halnya dengan kasus para jaksa yang kena suap. Contoh di atas bisa dikatakan berada pada tingkat makro karena melibatkan pihak-pihak berkuasa. Tapi coba kita cermati di tengah-tengah masyarakat kita khususnya di kota Manado ini, berapa banyak tindakan tercela ini dilakukan berbagai institusi untuk mengeruk materi dan mengorbankan orang lain. Institusi pendidikan juga bukan ha lasing bagi tempat bercokolnya mafia-mafia pungli ini melakukan aksinya. Anda mungkin tidak pernah menyadari bahwa apa yang Anda lakukan termasuk pungli karena hanya melibatkan hal-hal kecil, mungkin dengan alasan apakah itu biaya administrasi atau biaya sangsi. Tapi sebenarnya maksud terselubung dari tujuan itu dapat dibaca oleh sebagian besar orang. Bukankah mengeruk keuntungan dari orang lain lewat cara-cara yang tidak sesuai prosedur adalah suatu pelanggaran? Masyarakat kita juga secara tidak langsung juga ikut terlibat dalam menegakkan supremasi pungli ini di tengah kejahatan moral yang harus kita berantas. Bagaimana tidak, kita ingin mempermudah berbagai urusan kita dan proses penyelesaiannya cepat dan tidak dihambat, lalu berkompromi dengan situasi yang mendorong terciptanya pungli oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab. Contohnya saja,pengurusan KTP di berbagai kelurahan atau kalau boleh dibilang seluruh kelurahan atau perangkat desa, tagihan biaya KTP sampai mencengkeram masyarakat dengan biaya yang begitu tinggi. Bukankah ini bisa bisa dikatakan bahwa negara melakukan tindakan sewenang-wenang melalui perangkat kerjanya?
                Dunia pendidikan tidak kalah bedanya dengan institusi lain. Masyarakat selalu mendengar biaya BOS yang disunat di tingkat pendidikan dasar dan menengah, biaya masuk perguruan tinggi yang harus melewati proses ‘bargaining’ dengan pihak penguasa fakultas. Demikian pula ada guru yang menjual buku kepada para muridnya dan dosen yang menjual diktat kepada mahasiswanya. Dengan berbagai macam dalih dan ancaman, pungli diterapkan kepada anak didik dan tanpa disadari mereka juga mendidik generasi yang ke depan akan melakukan hal yang sama kepada orang lain. Dan masih banyak hal lain yang belum disebutkan di atas segala sesuatu yang menimpa dan memporak-porandakan dunia pendidikan kita. Seolah pendidikan dijadikan barang dagangan. Di dunia pendidikan yang seharusnya mengajarkan kita berakhlak baik, justru harus terkontaminasi dengan hal-hal seperti ini. Bagaimana pemimpin-pemimpin sekolah dan kampus menyikapi ini semua? Apakah dalam setiap pergantian periode kepemimpinan kita hanya selalu dan terus mendengarkan retorika perubahan yang didengung-dengungkan tanpa benar-benar menikmati perubahan itu yang lebih fundamental? Saya kuatir (semoga tidak terjadi), kita sedang mengarah pada jurang kehancuran dari suatu tatanan sosial yang lebih kompleks di tengah-tengah masyarakat kita. Mungkin saat ini kita tidak menyadari kekeliruan ini dan menganggap hal itu sudah biasa terjadi dan terus melakukan kompromi dengan kebrutalan moral seperti ini. Kalau seorang pembunuh berantai melenyapkan beberapa orang saja, maka kita yang hidup dan terlibat dalam dunia kejahatan ini tidak lebih daripada pembunuh karakter masyarakat kita. Dan menurut saya, keadaan seperti ini lebih parah dari yang kita perkirakan, karena ini melibatkan berbagai komponen masyarakat dari tingkat bawah sampai tingkat atas, dari yang terhormat sampai tidak terhormat. Kita saat ini bisa dikatakan sudah pada tataran keagamaan juga, kejahatan ini masuk ke dalamnya. Mungkin kita tidak dapat melihat pada skala makronya, tapi secara tidak langsung bagian dari permainan psikologis yang mematikan sedang merambat ke wilayah atau zona nyaman keagamaan juga. Kaum rohaniawan tidak mampu mengatasi persoalan yang tengah menghinggapi umatnya. Persoalan yang dihadapi tidak lagi berada pada tingkatan teologis tapi sudah memasuki wilayah sosial budaya yang hendak mencengkeram moralitas kita. Makanya tidaklah cukup kita mengkotbahkan sesuatu yang suci di atas mimbar, tapi turun dan berbuat lebih jauh lagi serta peduli pada kelangsungan hidup komunitas kita, bukan dari perspektif biologis tapi lebih mengarah pada perspektif psikologis dan moralitas. Keluarga yang seharusnya menjadi landasan kita berpijak memperoleh nilai-nilai yang lebih baik sudah tidak lagi peduli dengan keadaan yang terjadi. Kita sudah beramai-ramai sebagai suatu masyarakat turut serta mendorong terciptanya gaya hidup yang merampas hak-hak orang lain. Perilaku pungli telah merampas kehidupan kita menjauh dari akar-akar moralitas, merampas hak-hak orang lain untuk memperoleh sesuatu yang layak didapatkannya. Maka tidaklah heran, walau dengan tingkat pengetahuan yang tinggi, kemajuan yang semakin pesat (dari sisi ekonomi), tanpa nilai-nilai moral  dan kebijaksanaan yang tinggi juga, semuanya hanya mendatangkan bencana bagi bangsa dan negara. Kita tidak pernah benar-benar merasakan kemakmuran yang sesungguhnya karena pendekatan kita murni materialistis. Apakah menurut Anda, harta yang Anda miliki dan dapatkan sekarang adalah bagian dari usaha kerja keras Anda yang memang layak Anda nikmati? Ataukah semua yang Anda miliki adalah bagian dari ‘perampasan’ hak milik orang atau masyarakat pada umumnya sehingga merugikan mereka? Anda sendiri yang bisa menjawabnya. Saya tidak bermaksud menyinggung Anda secara pribadi, tapi sebagai warga masyarakat, saya hanya bisa mengajak Anda melihat persoalan ini secara jernih dan jujur dari hati Anda. Karena kita semua bertanggungjawab terhadap kelangsungan hidup masyarakat kita dengan tidak mengenyampingkan persoalan-persoalan yang sekarang dianggap ‘sepele’ oleh masyarakat kita. Pungli adalah suatu kejahatan, dan kalau boleh saya istilahkan ‘terstruktur’ karena ini sudah seperti sesuatu yang turun temurun dan susah dihilangkan. Masalahnya, kita selalu melihat persoalan kejahatan hanya dari sudut pandang yang sempit dan menganggap kejahatan hanya dilabelkan pada hal-hal seperti pembunuhan, pencurian, pemerkosaan, penganiayaan dan banyak tindakan criminal yang diketahui oleh masyarakat kita. Tapi tidakkah kita sadari bahwa bahaya laten sesungguhnya ada pada hal-hal yang kita anggap sepele dan kasat mata seperti pungli? Mengapa seorang pencuri seekor ayam harus dihukum beberapa tahun penjara sedangkan koruptor kelas teri maupun kakap dibiarkan gentayangan di tengah masyarakat kita? Bukankah mereka lebih merugikan masyarakat kalau dihitung secara nominalnya? Maka tidaklah mengherankan kalau di tengah masyarakat kita, sedang hidup para  ‘penjahat berdasi’, ‘penjahat intelektual’ yang lebih menyengsarakan rakyat dan memiliki penyakit kronis yang sudah harus diamputasi. Beberapa waktu lalu di surat kabar diberitakan seorang Profesor Universitas di Gorontalo yang menyunat biaya penelitian yang dilakukannya harus berurusan dengan pihak berwajib. Apakah kita berharap untuk hidup makmur dan sejahtera melakukan cara-cara yang tidak pantas dengan mengambil sesuatu yang bukan hak kita?
                Saya selalu bertanya-tanya dan coba menjawab sendiri, apakah ketertinggalan bangsa kita adalah akibat dari parahnya perilaku moral di tengah-tengah masyarakat kita? Nampaknya kita kehilangan kendali terhadap nilai-nilai yang baik di tengah-tengah masyarakat kita saat ini. Sangat menyedihkan memang, di saat pemerintah tengah mengkampanyekan good governance, malah para abdi negara ini justru melakukan hal tercela dengan berkorupsi ria. Saya masih ingin terus bertanya-tanya sambil berharap kapan sifat-sifat tercela seperti pungli akan diberangus di bumi tercinta ini, khususnya di Manado tempat saya tinggal sekarang?
                Seperti halnya Abraham Lincoln berkata “Aku percaya bahwa nilai kehidupan ini adalah untuk memperbaiki kondisi kitya”. Maka saya percaya, tanpa memahami lebih jauh nilai-nilai kehidupan kita, tanpa memegang teguh prinsip-prinsip moralitas, dan tanpa memberanikan diri berkata tidak pada ‘pungli’, maka yakinlah kondisi kita akan sekarat dan butuh pemulihan segera.

PIKIRAN DAN DUNIA MEDIS

Sebagian besar diantara kita dituntut untuk menghayati kehidupan yang bersifat tiruan yang sistematis dan konstan. Kesehatan Anda akan terpengaruh bila hari demi hari Anda mengatakan hal yang bertentangan dengan yang Anda rasakan, bila Anda memohon kepada yang tidak Anda sukai dan bergembira atas apa yang tidak membawa manfaat bagi Anda selain nasib malang. Sistem saraf kita bukanlah khayalan, sistem itu bukan merupakan bagian dari tubuh jasmani kita, dan jiwa kita ada dalam ruang dan di dalam diri kita, seperti gigi di dalam mulut kita. Jiwa kita tak mungkin terus menerus tersiksa tanpa mengalami guncangan.
Pikiran dan Penyakit
            Sewaktu menjalani pendidikan profesi di bangsal penyakit dalam sebagai seorang co-assistant, saya pernah bertugas melayani seorang pasien yang didiagnosa menderita salah satu penyakit paru, seorang Ibu sekitar 40-an tahun. Selain mempelajari asal-usul penyakit dan pengobatan yang diberikan, ada satu hal yang tentu saja paling menarik perhatian saya, yaitu riwayat sosialnya berkaitan dengan hubungan emosi pasien tersebut dengan keluarganya. Karena saya begitu dekat dengan si pasien, maka saya mulai memasuki rahasia yang sulit diceritakan oleh pasien kalau dia tidak merasa nyaman dengan dokternya. Saya mulai menguak apakah ada rahasia di balik penyakit ini dengan keterisolasian dari keluarganya. Pasien ini dengan nyaman menceritakan kepada saya kalau selama ini dia mengalami konflik bertahun-tahun dengan sesame saudaranya. Dan ini sudah cukup membuktikan kepada saya, apa yang sebelumnya dikatakan oleh Bapak Kedokteran Hipocrates yang mengatakan bahwa sebagian besar penyakit tuberculosis disebabkan karena stress. Tapi di bangsal, saya melihat pada catatan medis penderita dalam anamnesa riwayat sosialnya tidak pernah dicantumkannya persoalan-persoalan seperti itu. Entah apa itu terlupakan atau karena mereka terlalu memfokuskan pada kuman penyakitnya dan tidak mau mengorek lebih dalam masalah pribadinya.
            Secara tidak langsung, saya mengambil kesimpulan bahwa kebanyakan kita yang hidup di dunia medis merasa tidak enak membicarakan masalah seseorang, menganggap mereka sebagai individu yang bermasalah bukan pada tingkatan sel, jaringan atau organ tapi pada tataran kehidupan pribadinya. Pada awal abad ke-20, Sir William Osler, seorang raksasa dunia medis telah mengantisipasi ilmu kedokteran psikosomatik dengan mengumumkan, “perawatan tuberculosis lebih tergantung pada apa yang pasien miliki di dalam kepalanya daripada apa yang dia miliki di dalam dadanya”. Ilmu kedokteran psikosomatis (baik fisiologis maupun psikologis) memang mengakui peran pikiran dan emosi di dalam penyakit. Kenyataannya adalah bahwa penyakit seringkali merupakan produk dari pikiran, dan bukan “semuanya ada dalam pikiran”. Penyebab penyakit yang bersifat mental dan emosional menghasilkan efek fisik yang riil. Jika Anda merasa sakit, Anda benar-benar akan merasa sakit, tidak peduli apapun penyebabnya. Kadang-kadang tubuh Anda bereaksi dan Anda mungkin tidak sadar mengenai sensasi fisik apa pun.  Hipertensi seringkali mencerminkan kenyataan ini. Anda mengalami suatu reaksi fisik terhadap tekanan emosional. Anda mungkin mengetahui reaksi tubuh Anda hanya setelah mengukur tekanan darah Anda. Setiap emosi, dari tawa sampai kesedihan hingga ketakutan akan menimbulkan sebuah respons fisiologis. Tidak ada hal apapun seperti “semuanya hanya ada dalam pikiran Anda”. Ada komponen mental pada perasaan Anda dan reaksi fisik tubuh Anda. Diabaikannya hubungan antara pikiran dengan tubuh oleh ilmu kedokteran teknologi sebetulnya merupakan penyimpangan apabila ditinjau dari seluruh sejarah seni penyembuhan. Dalam ilmu kedokteran tradisional zaman kuno dan dalam praktek di Barat sejak awal jaman Hipocrates, kebutuhan untuk bekerja berdasarkan pikiran pasien senantiasa diakui. Sampai abad ke-19, penulis-penulis kedokteran jarang tidak mencatat pengaruh kesedihan, atau ketakutan terhadap munculnya dan hasil akhir suatu penyakit, dan mereka pun tidak mengabaikan efek penyembuhan yang ditimbulkan oleh kepercayaan, keyakinan dan kedamaian pikiran. Kebahagiaan lazim dianggap sebagai prasyarat bagi kesehatan. Namun, dokter di zaman modern memperoleh begitu banyak kekuasaan terhadap penyakit-penyakit tertentu melalui obat-obatan sehingga melupakan potensi kekuatan yang ada pada pasiennya.
Pikiran dan Pengobatan
            Sering di rumah sakit, orang yang datang untuk memeriksakan gejala penyakit yang dideritanya mengalami keadaan syok secara mental pada saat mendengar dokter memberitahukan hasil diagnosanya bahwa ia menderita penyakit yang mematikan. Belum cukup syok menimpanya, dokter sudah melanjutkan memprediksi berdasar statistik medis bahwa hidupnya kurang dari beberapa bulan. Dokter memberitahukan ini dengan ekspresi yang mantap, tanpa basa-basi layaknya memang seorang yang dilatih berpikir ilmiah. Pasien tambah syok dan tidak bisa berbuat apa-apa dengan vonis yang diberikan dokter itu. Ini adalah kejadian nyata yang sering terjadi di lingkungan kita, di mana kita selalu diperhadapkan dengan berbagai keputusan yang dapat mempengaruhi pikiran dan mental kita untuk menerima ini sebagai sesuatu yang menyakitkan atau membahayakan. Kesulitannya adalah apabila petugas medis mengabaikan reaksi emosional pasien-pasiennya, bahkan ketika mereka memeriksa kondisi fisik si pasien. Tiadanya kepedulian pada realitas emosi si pasien akan penyakitnya berarti tak menghiraukan bukti-bukti yang semakin menumpuk yang menunjukkan bahwa emosi dapat memainkan peran yang kadang-kadang amat berarti dalam mengatasi kekuatiran terhadap penyakit dalam arah menuju kesembuhan. Perawatan medis modern terlampau sering kehilangan kecerdasan emosi. Bahkan ditengarai di rumah sakit hampir sebagian besar pelanggaran yang dilakukan (malpraktek) oleh staf medis disebabkan ketidakmampuan membangun komunikasi yang baik dengan pasien dan keluarganya, sehingga banyak muncul tuntutan oleh mereka. Saya yakin, jika kita mampu membangun kedekatan emosi dengan pasien dan keluarganya, berkomunikasi dengan lebih terampil dengan mereka (bukan hanya trampil secara teknis), maka tidak aka nada banyak tuntutan dari pihak pasien yang merasa menjadi korban.
            Bagi pasien, setiap perjumpaan dengan perawat atau dokter berarti adanya peluang untuk memperoleh informasi yang menenangkan, rasa nyaman, dan pelipur lara atau apabila salah penanganan, berarti undangan untuk berputus asa. Tetapi, amat sering petugas medis tergesa-gesa atau tidak hirau akan beban stress pasien-pasiennya. Meskipun demikian, ada dokter dan perawat yang penuh kasih sayang, yang rela meluangkan waktu untuk menenteramkan dan memberitahu maupun melayani secara medis. Tetapi kecenderungan sekarang adalah diarahkannya dunia kedokteran menuju dunia profesional dimana tuntutan-tuntutan profesional membuat petugas medis kurang leluasa memberi perhatian atas kekuatiran pasien, atau sudah kelewat tertekan karena harus melakukan ini itu yang berkaitan dengan tuntutan-tuntutan tadi. Dengan meningkatnya kesulitan yang terjadi dalam sistem kesehatan akibat desakan keuangan, semuanya menjadi semakin memburuk.
Pesan dari Penyakit
            Psikolog Dr. Dennis Jaffe, yang menulis di dalam Healing From Within, mengajukan sebuah pertanyaan penting, “Apakah penyakit tertentu berhubungan dengan krisis kehidupan, jenis kepribadian atau emosi tertentu?” Ia melanjutkan, meskipun saya sudah sangat berhati-hati menghindar untuk mengumumkan hubungan ini sebagai cerminan kenyataan, para dokter telah mengetahui adanya hubungan antara emosi, kepribadian dan penyakit tertentu selama berabad-abad. Makin banyak penelitian belakangan ini yang memberikan dukungan pada hipotesis ini.” Sensasi fisik seperti gatal, menangis, ruam, rasa sakit, tekanan, orgasme dan senyum, semuanya merupakan bagian dari bahasa tubuh. Demikian juga penyakit. Selama ada penyakit, tubuh mengkomunikasikan apakah tindakan kita mengurangi atau menambah kesehatan kita.
            Milton Ward, dalam sebuah buku berjudul The Brilliant Function of Pain, menulis “rasa sakit bukanlah teror, itu sebenarnya adalah tenaga cemerlang kita sendiri, yang berfungsi untuk kepentingan kita, yang siap menuntun kita melalui kehidupan jika saja kita mau mendengarkan. Rasa sakit menyampaikan sebuah pesan yang kuat dari tubuh ke pikiran. Dengan cara ini, ia membantu mengkomunikasikan jalan menuju kesehatan. Penyakit adalah cara tubuh Anda berbicara kepada Anda, memberitahu Anda bahwa sesuatu sedang tidak berfungsi, menunjukkan kepada Anda dengan jelas dan kadang-kadang secara menyakitkan bahwa ada sesuatu yang salah. Sehebat apa pun seseorang dari segi fisik, apakah dia kaya, orang terkenal, pejabat dan memiliki semua materi  dengan berlimpah, tapi jika pikirannya terganggu (bukan hanya dalam arti gila) secara sosial dan individu, maka dipastikan Anda sedang menimbun racun dalam tubuh Anda yang tinggal menunggu waktu untuk berkembang menjadi penyakit fisik.