Jumat, 08 April 2011

Resistensi Antibiotik Yang Menakutkan

Pasien yang datang ke praktek dokter dengan gejala flu ringan akibat mekanisme tubuh yang mulai rapuh, peralihan musim yang ekstrim, stres akibat banyaknya beban kerja yang harus ditangani dan kelelahan fisik yang mendera, sering mendapat resep antibiotik dari dokter yang menanganinya. Dari antibiotik level generik yang murahan sampai pada yang berlabel paten dengan harga yang menguras kantung pasien karena diresepkan oleh seorang spesialis.
Keadaan seperti ini banyak kita temui dalam praktek medis yang dilakukan oleh para dokter, padahal pendekatan seperti itu terkadang tidak berdasarkan rasionalisasi yang tepat. Alasannya sederhana, karena gejala flu apalagi yang ringan sebenarnya masih bisa diatasi dengan minum air putih saja, istirahat yang cukup dan konsumsi vitamin C yang adekuat serta memanajemen stres yang baik, tanpa perlu mengkonsumsi antibiotik.
Seorang mahasiswa pernah konsultasi kepada saya dengan menanyakan terapi yang harus diberikan dengan gejala yang menurut saya hanya berada pada level infeksi (virus) pada umumnya. Saya memberikan dua alternatif kepada dia, yaitu pertama, kalau menggunakan cara berpikir preventif (konsep orang public health) dan penyembuhan jangka panjang maka dia hanya perlu istirahat yang cukup saja, minum teh manis hangat, suplai vit.C dan minum air putih banyak kemudian bersabar menanti penyembuhan yang sebenarnya sudah Tuhan taruh di sana. Alternatif kedua, kalau dia mau menggunakan pola pikir kuratif dan penyembuhan jangka pendek, maka dia perlu mengkonsumsi obat berdasarkan simptom atau gejala yang dia alami. Sekarang pilihan tergantung pada mahasiswa tersebut, keputusan apa yang perlu dia ambil.
Hal ini juga sering saya terapkan pada pasien-pasien saya di tempat praktek sebagai tanggungjawab sosial saya untuk memberikan edukasi pada pasien tentang kenyataan sebenarnya yang mereka alami dan tindakan rasionalitas yang harus dia ambil. Saya sangat menyayangkan kalau antibiotik masih sering dipakai begitu luas di kalangan masyarakat tanpa mengetahui apa sebenarnya yang terjadi dengan fisiknya, sehingga antibiotik ini sering dikonsumsi seperti membeli permen di pinggir jalan dan dikonsumsi tanpa batas. Tidak tahukah kita bahwa dalam tubuh kita ini tersimpan begitu banyak obat-obat alamiah yang sering membombardir para agen-agen invasi seperti bakteri dan virus yang kerap menyerang kita? Menurut Deepak Chopra, seorang Internis, penulis buku-buku bestseller dan ilmuan medis; tubuh kita ini adalah apotik terbesar yang pernah ada. Saking hebatnya, tak satupun obat yang diproduksi oleh industri farmasi dan pabrik-pabrik obat di seluruh dunia yang bisa menyamai ketepatan penyembuhannya seperti cara kerja tubuh kita.
Akhir-akhir ini, banyak kasus di seluruh dunia di mana infeksi-infeksi sudah tidak dapat diatasi lagi dengan antibiotik. Ini sudah mencapai taraf yang mengkuatirkan. Setiap tahun di Uni Eropa lebih dari 25.000 orang meninggal setiap tahunnya akibat infeksi bakteri yang mampu melawan bahkan oleh antibiotik-antibiotik generasi terbaru sekalipun. Badan Kesehatan Dunia WHO mengatakan bahwa situasi ini sudah mencapai titik kritis.
Tanpa adanya upaya lebih jauh, masyarakat dunia akan menghadapi 'skenario mimpi buruk" akibat penyebaran infeksi yang tidak dapat diobati lagi, demikian menurut WHO.
Saya sering membiarkan tubuh saya melakukan upaya autorecovery artinya menyembuhkan dirinya sendiri pada saat saya sakit. Jarang sekali saya menggunakan obat-obatan medis kalau sakit hanya karena infeksi umum. Dan memang hanya dalam hitungan jam, penyakit yang saya alami hilang dengan sendirinya tanpa konsumsi obat. Mungkin terasa aneh pendekatan ini dipakai oleh seorang dokter yang selalu berbaur dengan obat-obatan. Hal ini saya lakukan karena konsep berpikir dan paradigma yang saya anut, sedikitnya keluar dari jalur berpikir kolega-kolega saya. Tak peduli apakah tindakan saya ini mendapat kecaman dan kritikan, menurut hemat saya ini adalah langkah urgen untuk menghindari dampak dari efek samping yang saya takutkan kalau menggunakan terapi yang tidak rasional, seperti yang sudah dikuatirkan oleh WHO di atas. Kenyataannya, hal tersebut sudah menjadi bumerang bagi dunia medis kita saat ini, karena resistensi antibiotik sudah mencapai titik kritis.
Pernah suatu ketika, saya mendapat respons yang kurang menyenangkan dari pasien saya, karena pada waktu itu menurut pertimbangan medis saya dia belum layak membutuhkan obat (khususnya antibiotik). Saya menjelaskan kepada pasien  (dan keluarganya) semua dampak akibat dari penggunaan antibiotik yang tidak rasional, tapi kelihatannya pasien ini tidak mau peduli dengan pendapat medis saya. Dia lebih menginginkan obat tersebut karena sering mengkonsumsi obat tersebut setiap kali datang ke dokter lain. Paradigma yang tertanam secara mendalam pada pikiran pasien bahwa setiap datang ke dokter akan mendapat antibiotik akan menjadi kerugian tersendiri bagi pasien tersebut. Zsuzsanna Jakab, WHO direktur wilayah Eropa mengatakan: "Antibiotik merupakan penemuan berharga, namun kita menggunakannya secara berlebihan dan menyalahgunakannya: saat ini banyak bakteri yang tidak berespon terhadap obat-obat tersebut.
Akibat dari penggunaan yang tidak bertanggungjawab ini akan mengacaukan keseluruhan tatanan kesehatan kita. Semoga kita sebagai praktisi medis dan kesehatan serta masyarakat cepat menyadari keadaan ini dan berupaya untuk mengejar penyembuhan alamiah tanpa merusak sistem biologimolekuler sel yang sudah tertata rapih dengan antibiotik.